Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA pucuk surat berturut-turut diantarkan tukang pos ke kediaman almarhum Munir Said Thalib di Jalan Bukit Berbunga, Kelurahan Sidomulyo, Kota Batu, Jawa Timur, Agustus lalu. Surat tanpa pengirim itu menyampaikan pesan penting kepada sang penghuni. "Isinya agar Suciwati tidak terus-menerus mengungkit kasus kematian misterius suaminya," ujar seorang saksi mata yang mengetahui kejadian itu. Munir tewas diracun pada 7 September 2004.
Dalam surat itu tertulis, jika peristiwa tersebut terus dipersoalkan, yang akan rugi adalah Suciwati dan Yosepha Hera Iswandariāistri Pollycarpus Budihari Priyanto, terpidana kasus pembunuhan Munir. Terakhir, sang pengirim meminta Suci memaafkan kesalahan Polly. Surat "teror" itu tak dihiraukan oleh semua penghuni rumah.
Ahad pekan lalu, sehari setelah peringatan sembilan tahun pembunuhan Munir, 7 September 2013, sejumlah orang tak dikenal masuk ke rumah Suciwati. Pelaku membuka gembok pintu gerbang dan mencongkel pintu rumah. Sebuah komputer jinjing, kamera digital, dan sepeda statis raib digondol.
Pelaku sempat mengacak-acak buku dan dokumen di meja kerja Suciwati, tapi tidak menyentuh perhiasan emas, televisi, dan sepeda motor meski kunci dan surat tanda nomor kendaraan masih tergantung. Saat kejadian itu, Suciwati sedang di Jakarta. Meski banyak data yang hilang, Suci menyimpan cadangan file di memori eksternal.
Kepala Kepolisian Sektor Batu Ajun Komisaris Slamet Riyadi mengaku telah mengumpulkan bukti awal dan keterangan sejumlah saksi. Tapi ia menolak menjelaskan hasil penyelidikan, termasuk motif pencurian. "Belum ada motif, apalagi pelaku," kata Slamet. Menurut dia, rumah Munir tidak berada di wilayah rawan kejahatan. Suciwati menolak mengaitkan hubungan surat kaleng dengan pencurian. "Menceritakan teror hanya akan menebarkan teror," ucapnya.
IDE mendirikan museum pendidikan hak asasi manusia pertama kali datang dari Suciwati. Perempuan 45 tahun itu mengatakan barang pribadi sang suami sangat banyak dan selama ini hanya menumpuk. Di antara ratusan peninggalan pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) ini yang paling banyak adalah buku, foto, dan lukisan.
Buku Munir umumnya tentang sastra, biografi, hukum, dan sejarah. "Barang terlalu banyak, untuk apa?" kata Suciwati. Di rumah besar itu, dia tinggal bersama dua anaknya, Alif Allende dan Diva Suukyi.
Suciwati kemudian melontarkan gagasan itu kepada beberapa pegiat hak asasi yang selama ini berjuang bersama menuntut penuntasan pembunuhan Munir. Dia ingin menjadikan rumah itu sebagai museum mengenang Munir sekaligus menjadi pusat pendidikan HAM. "Saya ingin rumah ini lebih berarti, tak sekadar tempat tinggal," ujarnya.
Bersama rekan-rekannya, Suci mengumpulkan barang-barang Munir semasa hidup. Di antaranya koleksi buku pribadi Munir serta dokumentasi kampanye HAM dan kasus-kasus yang pernah dibela Munir. Untuk membantu proses pengumpulan barang yang akan dipamerkan di museum, Suciwati menjalin kerja sama dengan berbagai pihak di Jakarta dan Jawa Timur.
Dia kemudian mengajak bergabung Andi Achdian, pakar sejarah yang membidani pembangunan Museum Polri 2009. Andi adalah karib Munir. Mereka pernah bersama-sama bekerja di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Pada 2004, Andi pernah sekantor dengan Suciwati di Yayasan TIFA.
Andi segera mendesain dan menata rumah tinggal menjadi museum modern. Suciwati mencari dukungan sahabat Munir di Malang, Surabaya, dan Jakarta guna mencari dana. Bertempat di Kedai Tempo Utan Kayu, Jakarta, 21 Agustus 2013, penyanyi Glenn Fredly dan Tompi, aktivis Melanie Subono, artis Happy Salma, ekonom Faisal Basri, serta Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan berkumpul menggalang dana. Malam itu terkumpul sumbangan Rp 110 juta.
Bantuan mengalir dari berbagai pihak. Kementerian Hukum dan HAM menyumbang dokumen perjalanan sejarah HAM Indonesia dan materi kampanye Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia. Sejumlah media cetak dan televisi memasok dokumen foto dan film tentang perjuangan Munir.
Sahabat Munir lalu membentuk Perkumpulan Munir, yang menyiapkan pendirian museum. Perkumpulan itu disahkan Pengadilan Negeri Malang pada Juni 2013. Awalnya sempat muncul pro-kontra perihal museum itu. Beberapa sahabat khawatir Munir dikultuskan. Namun kekhawatiran itu ditepis karena cita-cita pendirian museum adalah menyebarkan nilai-nilai HAM. Museum itu akhirnya diberi nama Omah Munir, yang berarti rumah Munir.
Sejumlah relawan Perkumpulan Munir terus berburu barang-barang koleksi tambahan yang akan dipamerkan. Di antaranya koleksi yang mungkin dimiliki teman sekolah Munir; teman kuliah di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang; sesama aktivis Himpunan Mahasiswa Islam; serta koleksi semasa Munir berkarier sebagai pegiat HAM di Malang, Surabaya, dan Jakarta. Barang yang telah terkumpul antara lain foto kecil Munir dan foto menjelang ia berangkat ke Belanda. Juga baju yang dipakai saat Munir terbunuh. Setiap temuan barang Munir selalu dipresentasikan kepada Suciwati. Ditargetkan November nanti semua koleksi sudah lengkap terkumpul.
Menurut Luthfi J. Kurniawan, pemimpin Perkumpulan Munir, Omah Munir tidak menggunakan istilah museum untuk menghindari kesan seram, tak terawat, dan suramānasib yang menimpa banyak museum di Tanah Air. Adapun Omah Munir dirancang dengan konsep museum modern. "Nanti ibu-ibu sampai anak TK bisa mencerna isinya," katanya.
Bentuk asli rumah keluarga Munir dipertahankan agar terkesan alami. Tak ada perubahan besar lanskap. Yang ada hanya renovasi agar lebih terbuka. Sebagian bangunan bakal dipugar, ditata sesuai dengan konsep ruang pamer. Dua kamar tidur bakal diubah menjadi perpustakaan.
Ruang tamu disulap menjadi ruang pamer, diorama, dan koleksi audiovisual yang merekam perjalanan Munir dan sejarah HAM Indonesia. Kolam ikan di sudut rumah juga akan dijadikan ruang pamer. Di dasar kolam bakal dipajang gambar Munirāsaat air kolam tenang, gambar aktivis yang hilang terang terlihat. Menurut Luthfi, "Tepat di hari kelahiran Munir, 8 Desember nanti, Omah Munir resmi diluncurkan."
Setri Yasra, Agus Supriyanto, Eko Widianto (Batu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo