Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) meminta pemerintah tak bertindak sendirian dalam merencanakan pengaturan harga uji usap (swab) Covid-19. Sekretaris Jenderal ARSSI Ichsan Hanafi berharap pemerintah mengajak pengelola rumah sakit berunding supaya kebijakan itu dapat menguntungkan semua pihak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami berharap diajak berunding dulu. Pemerintah harus mendiskusikan hal ini dengan pihak rumah sakit dan juga pihak ketiga, yaitu laboratorium," ujar Ichsan kepada Tempo, kemarin.
Ichsan berdalih, harga tes di rumah sakit selama ini mahal karena waktu tunggu hasil tes di laboratorium yang cukup lama, sekitar 3-5 hari. Sementara itu, dia mencatat, tren permintaan pemeriksaan secara mandiri terus meningkat seiring dengan pemulihan aktivitas ekonomi.
Sejauh ini, kata Ichsan, manajemen rumah sakit berkongsi dengan pihak ketiga untuk memeriksa spesimen pasien. Kemitraan harus dilakukan karena hanya sebanyak 36 dari total 1.800 anggota ARSSI yang memiliki fasilitas pemeriksaan sendiri. Tak banyak rumah sakit yang mau membeli fasilitas pemeriksaan karena harganya mahal. Pengoperasian mesin polymerase chain reaction juga membutuhkan standar keamanan tinggi serta petugas yang bersertifikat.
Karena itu, dia menganggap pengaturan harga tes akan sulit dilaksanakan tanpa pembahasan bersama pihak laboratorium. Jika kebijakan dirasa rasional, Ichsan mengatakan lembaganya siap mendukung rencana pemerintah.
Rencana pengaturan harga tes diumumkan juru bicara Satuan Tugas Penanganan Wabah, Wiku Adisasmito, pekan lalu. Menurut Wiku, harga tes yang mahal membuat masyarakat berkeberatan melakukan pemeriksaan secara mandiri.
Direktur Rumah Sakit Sentra Medika Depok Paulus Lanjar Sugiyanto mengemukakan bahwa lembaganya tak mengambil keuntungan berlebihan untuk jasa pemeriksaan Covid-19. Saat ini, RS Sentra Medika mematok jasa uji usap sebesar Rp 1,35 juta per orang. Sekitar 90 persen dari tarif, kata Lanjar, digunakan untuk membayar pemeriksaan spesimen yang dilakukan laboratorium. Sisanya digunakan untuk ongkos pengangkutan sampel, viral transport medium, dan bahan habis pakai lainnya. "Ini bukan lahan mencari untung," ujar Lanjar.
Sejauh ini, kata dia, tak banyak warga yang melakukan pemeriksaan secara mandiri. Menurut Lanjar, selain harga yang mahal, waktu tunggu hasil tes keluar cukup lama, yakni 5-7 hari.
Di RS Al Islam Bandung, uji usap juga dilakukan oleh pihak ketiga. Menurut Kepala Bidang Informasi dan Pemasaran RS Al Islam Guntur Septapani, lembaganya mematok tarif tes mandiri sebesar Rp 2 juta per orang. Hasil tes keluar sekitar empat hari setelah pengambilan sampel.
Sejauh ini, kata dia, hanya ada sekitar lima orang yang datang untuk uji usap setiap hari. Jumlah itu jauh lebih sedikit ketimbang jasa tes cepat berbasis antibodi yang mencapai 30 orang per hari. "Pelayanan dilakukan dengan drive-thru," kata Guntur.
Guntur mengatakan harga tes bisa jauh lebih murah jika pemerintah memberi subsidi untuk pengadaan peralatan pemeriksaan di rumah sakit hingga ongkos pemeriksaan di laboratorium.
Selain karena kemitraan dengan pihak ketiga, ongkos uji usap di rumah sakit bisa semakin tinggi karena sistem paket. Misalnya, Rumah Sakit Umum Bunda Margonda, Depok, yang menetapkan paket uji usap dari Rp 1,5 juta per orang. Tarif itu bisa lebih mahal jika pemeriksaan sepaket dengan pemeriksaan dokter ataupun pemeriksaan radiologi melalui CT scan. Fasilitas ini bisa melayani pemeriksaan 60 pasien setiap hari. "Paling sedikit 40 orang per hari," kata Manajer Medis RSU Bunda Margonda, Lediana.
Kepala Laboratorium Mikrobiologi Universitas Indonesia Pratiwi Sudarmono mengatakan pemerintah perlu mempertimbangkan ongkos pemeriksaan molekuler yang dilaksanakan pihak laboratorium sebelum mengatur harga tes. Saat ini, lembaganya hanya mematok ongkos pemeriksaan sebesar Rp 1,2 juta. Tarif tersebut mencakup biaya pengadaan reagen, ekstraksi RNA (asam ribonukleat), bahan habis pakai, pembuangan limbah, reagen, pemeliharaan alat, serta jasa medis untuk analis dan dokter. "Kami hanya mengambil margin tak sampai Rp 100 ribu untuk setiap pemeriksaan," kata dia.
Kepala Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo enggan menjelaskan wacana pengaturan harga. "Silakan tanya ke Kementerian Kesehatan," kata dia.
Sementara itu, Kementerian Kesehatan belum menjawab pertanyaan ihwal detail rencana ini.
EGI ADYATAMA | ROBBY IRFANY
28
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo