Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Saat Parang Mengganti Pensil

Pemerintah tak mampu menyisihkan dana untuk membangun 149 sekolah yang terbakar. Untuk sementara, disusun tiga tahap program rehabilitasi.

20 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Eka, bocah yang mestinya duduk di kelas empat SD, kini lebih sering luntang-lantung di jalan-jalan Kota Ambon. Setiap kali terjadi kerusuhan, sosok Eka yang mungil mudah ditemui di tengah kelompoknya. Sorot matanya garang, dengan parang terhunus di tangan. Eka tidak sendiri. Puluhan anak terjungkir-balik nasibnya, seperti dia. Masa bermain dan belajar bagi Eka raib begitu saja, berganti dengan haru-biru petualangan yang dimahkotai ''agenda pembunuhan". Pemandangan yang mencemaskan ini mendorong pemerintah untuk segera menyusun program rehabilitasi. Langkah pertama dirintis putri sulung Gus Dur, Alisa Qortrunnanda Munawarah. Bersama tim Departemen Pendidikan dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Rabu lalu Alisa datang ke Maluku dengan membawa rencana tiga tahap. Pertama rehabilitasi sosial, kemudian rehabilitasi mental, lalu pengentasan kemiskinan. Jika tiga tahap ini berjalan mulus, akan disusul program pembangunan 149 sekolah yang terbakar. Tapi, sebelum rencana besar itu terlaksana, di beberapa tempat proses belajar-mengajar tetap berjalan. Para aktivis Pelajar Islam Indonesia, misalnya, menjadi guru sukarela pada kelas belajar alternatif di sembilan lokasi. Mereka berhasil menghimpun 900 anak jalanan yang dipungut dari sudut-sudut Kota Ambon. Sebuah papan tulis digunakan bersama untuk dua atau tiga tingkatan kelas. Dengan memanfaatkan rumah yang ditinggal mengungsi oleh pemiliknya, sekolah darurat itu dilakukan tiga jam dalam sehari. Di rumah kosong yang lain, diselenggarakan apa yang disebut sekolah rakitan. Sekolah ini merupakan gabungan guru dan siswa dari beberapa sekolah. Hal ini terpaksa dilakukan karena sekolah asal mereka berada di wilayah kelompok yang memusuhinya sehingga mereka tak berani menyeberang. Kini mereka kembali ke program belajar-mengajar dengan jam belajar layaknya sekolah biasa. Selain itu, ada sekolah darurat yang terbentuk di tempat-tempat pengungsian. Paling sedikit ada 12 lokasi pengungsi di Maluku yang menjalankan cara ini. Tentu saja tanpa kursi, meja, atau alat peraga. Cukuplah dengan selembar tripleks hitam tergantung di dinding, proses belajar mengajar pun sudah dapat dilakukan. Dengan beberapa alternatif tersebut, apakah proses belajar bisa lancar? Ternyata semangat dan niat baik saja tidak cukup. Rupanya, jumlah tenaga pengajar sangat kurang. Sampai pekan lalu, hampir 600 guru di Maluku telah mengajukan permohonan pindah ke daerah lain, sedangkan ''ribuan tenaga guru lagi sudah mengungsi ke daerah asalnya," kata Luky Patiasina dari Kanwil Maluku. Untuk mencari guru pengganti, sulit sekali. Mereka yang mengungsi ke luar daerah tampaknya lebih beruntung. Departemen Pendidikan mewajibkan sekolah-sekolah di sekitar tempat pengungsian untuk menggemukkan kelasnya. Kelas yang biasanya diisi 30 anak kini boleh diisi 60 hingga 80 anak. Anak-anak ini tak perlu menunjukkan bukti apa pun dari sekolah asal. ''Kalau mereka mengaku kelas empat, ya, langsung dimasukkan saja ke kelas empat," kata Menteri Pendidikan Yahya Muhaimin. Namun, tidak semuanya bisa segera lancar. Ada sekolah yang mengharuskan anak pengungsi membayar uang masuk. Hal ini dialami Yurni, pengungsi asal Tobelo yang kini berada di kamp pengungsian di Makassar, Sulawesi Selatan. Agar anaknya bisa masuk SD, ia harus membayar Rp 150.000. Padahal, pungutan apa pun tegas-tegas dilarang oleh Departemen Pendidikan. ''Terpaksa saya gadaikan kalung untuk membayar uang masuk," kata Yurni. Masalah yang hampir sama dialami anak pengungsi dari Aceh. Soal guru, misalnya, sepanjang tahun lalu, di Aceh, 95 guru tewas dibunuh. Dari yang masih hidup, 570 guru lebih suka meninggalkan Tanah Rencong. Kekurangan ini oleh Kanwil Pendidikan Aceh akan ditutup dengan mendatangkan guru dan melengkapi sarana belajar di lokasi penampungan. Masalahnya, apa ada yang mau? Lalu, apa yang sudah dilakukan pemerintah pusat bagi 30.000 anak pengungsi ini? Departemen Pendidikan mempersalahkan keterbatasan anggaran pendidikan—cuma 7 persen dari APBN—yang ternyata banyak tersedot untuk biaya rutin pendidikan. Hal ini tak langsung dibenarkan oleh Yahya Muhaimin, yang menyatakan bahwa anggaran pendidikan bagi pengungsi banyak ditambal dari dana jaring pengaman sosial. Jadi, jangan berharap sekolah-sekolah yang terbakar akan segera diganti. ''Enggak mudah itu, brur," kata Indradjati Sidhi, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah. Kondisi keuangan negara memang amat sangat tidak menunjang. Sekalipun begitu, pekan lalu Komisi VI DPR sepakat menolak anggaran pendidikan yang dialokasikan pemerintah, semata-mata karena jumlahnya jauh dari memadai. Dengan anggaran semiskin itu, belum tentu Eka mau mengganti parangnya dengan pensil. Juga, kecil kemungkinan Indonesia bisa mencegah terjadinya lost generation—''bencana nasional" yang sudah dikhawatirkan sejak dua tahun berselang. Agung Rulianto, Yusnita Tiakoly, Friets Kerlely (Ambon), Tomi Lebang (Makassar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus