BICARA tentang sedan Timor berarti bicara tentang banyak hal. Pertama-tama, Timor adalah realisasi sebuah impian besar—tentang mobil nasional—yang kandas ketika sedang menuju puncak kejayaannya. Dari segi bisnis, Timor adalah sebuah pemborosan besar-besaran yang sulit dicarikan pembenarannya, bahkan untuk sebuah impian besar sekalipun.
Kedua, Timor tampaknya dirancang sebagai "jawaban Indonesia" terhadap dominasi mobil-mobil asing yang diproduksi di sini dengan lisensi dan biaya mahal, ketergantungan yang begitu besar pada suku cadang impor, belum terhitung ruang gerak yang sengaja dipersempit untuk sebuah industri otomotif yang harus bisa bersaing dan berkembang. Singkat kata, oleh prinsipalnya, mobil-mobil yang dirakit di sini tak bisa diekspor, padahal daya serap pasar dalam negeri masih terbatas. Ketiga, Timor seolah-olah diniatkan sebagai koreksi (yang terlambat) untuk rancang bangun industri otomotif yang salah kaprah dan cuma menghasilkan sebuah industri perakitan yang tidak mandiri karena dipaksa untuk terus bergantung pada prinsipal luar negeri, sedangkan mobil yang dirakitnya di sini tak kunjung murah harganya.
Selanjutnya, Timor bisa dilihat sebagai manifestasi kebijakan yang diskriminatif karena mendapat fasilitas bebas bea masuk dan bebas PPn-BM, sementara merk-merk lain tidak mendapatkannya. Terakhir, harus diakui bahwa Timor merupakan manifestasi yang mencolok dari kegagalan pembangunan industri di bawah Orde Baru. Karena itu, Timor sekaligus merupakan pelajaran yang perlu dipahami betul sebelum pemerintahan Gus Dur akhirnya melanjutkan proyek dengan panji-panji "nasional" itu. Benar sekali, sebagai pasar yang besar, akan sangat ideal kalau Indonesia mampu memproduksi sendiri kendaraan roda empat yang diperlukannya. Tapi, di bawah tekanan globalisasi, juga karena ketidakmandirian kita dalam teknologi, sebuah proyek otomotif yang memerlukan biaya besar—kendati memang boleh diimpikan—tapi dengan ekonomi yang terpuruk, apa layak diprioritaskan?
Jawabnya, tetap layak diprioritaskan kalau utang PT Timor Putra Nasional (PT TPN) sebesar US$ 300 juta kepada pemerintah bisa direstrukturisasi untuk akhirnya dikembalikan. Demikian juga tunggakan utang pajak Rp 3,5 triliun. Para investor yang berminat tentu harus masuk melalui tender yang sepenuhnya transparan. Adapun fasilitas bebas bea masuk tak boleh lagi diandalkan karena ini merupakan distorsi yang ujung-ujungnya akan merusak semua. Akan halnya 10.000 unit Timor yang tersisa, seharusnya bisa dijual dengan harga miring. Tapi sesudah itu, bagaimana?
Beban utang dan tunggakan pajak, suntikan dana US$ 100 juta dan kaitannya dengan investor baru, juga pasar yang belum bisa dibaca gelagatnya, semua itu perlu dicermati, terutama karena telah ada kesepakatan melanjutkan proyek Timor. Kesepakatan itu sudah dicapai antara Presiden Abdurrahman Wahid—yang saat berkunjung ke Korea Selatan sempat meninjau pabrik KIA—dan Presiden Kim Dae-Jung. Memang, KIA, pemilik 30 persen saham Timor, kini dikuasai Hyundai. Tapi hal itu agaknya bukan masalah. Yang diperkirakan bisa jadi masalah justru kebijakan pemerintah dalam menyikapi Timor versi Gus Dur ini. Kalau utang PT TPN dikonversi menjadi saham pemerintah di perusahaan itu, bagaimana kiatnya agar uang tersebut tidak menguap seperti yang tiap kali terjadi di banyak debitur lain.
Tidak kurang penting adalah bagaimana caranya supaya pasar menyerap 10.000 unit Timor yang tersisa. Kuncinya barangkali adalah harga yang lebih murah, seperti yang juga dikemukakan Gus Dur. Tapi, sebelum sampai ke sana, perlu kunci yang lebih canggih untuk menyelamatkan proyek Timor, dan kunci itu terletak pada cara-cara yang secara bisnis tidak menyalahi aturan permainan dan secara politis bisa dikategorikan aman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini