Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sanksi Administratif Jaksa Penerima Suap

Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mencopot Sekretaris Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Sesjam Datun), Chairul Amir. Bisa aktif lagi sebagai jaksa setelah dua tahun.

1 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Suasana Gedung Kejaksaan Agung RI di jalan Sultan Hasanuddin, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu, 28 Agustus 2019. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sekretaris Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Sesjam Datun), Chairul Amir, dikenai sanksi administrasi.

  • Dia menyalahgunakan wewenang sebagai jaksa dan diduga menerima suap Rp 500 juta.

  • ICW menilai seharusnya dilakukan penyelidikan tindak pidana korupsi.

JAKARTA — Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mencopot Chairul Amir dari jabatan Sekretaris Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Sesjam Datun). Hasil pemeriksaan inspeksi kasus oleh Pengawasan Kejaksaan Agung menyatakan Chairul terbukti menyalahgunakan wewenang lantaran menjadi mafia kasus dan diduga menerima suap Rp 500 juta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, mengatakan Chairul terbukti melanggar disiplin tingkat berat. Sanksi administratif dijatuhkan berdasarkan hasil penyelidikan internal Kejaksaan pada 27 April lalu. “Melanggar Pasal 7 ayat 4 huruf c tentang hukuman disiplin dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil,” ujar Leonard kepada Tempo, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia menjelaskan, jaksa Chairul dicopot dari jabatan struktural sesuai dengan ketentuan pasal tersebut. Artinya, status Chairul sebagai jaksa dan aparat sipil negara masih melekat atau tidak diberhentikan. Leonard mengatakan Chairul dibebaskan dari tugasnya selama dua tahun. Setelah masa hukuman dilewati, Leonard melanjutkan, jaksa Chairul dapat kembali aktif dalam jabatan struktural di Kejaksaan Agung. Syaratnya, harus mendapat persetujuan tertulis dari Jaksa Agung. Leonard tidak menjelaskan alasan Kejaksaan Agung tidak menjerat Chairul dengan tindak pidana korupsi, meski dinyatakan terbukti menyalahgunakan wewenang dan diduga menerima suap.

Pencopotan jaksa Chairul bermula dari laporan pengacara Jaka Maulana ke Kepolisian Daerah Metro Jaya pada Maret lalu. Jaka menuding Chairul menipu kliennya, Serly Kuganda, 52 tahun. Jaka juga melaporkan pengacara bernama Natalia Rusli. Namun pelaporan tersebut belum ditindaklanjuti oleh kepolisian.

Kasus ini bermula ketika anak Serly Kuganda, Christian Halim, ditahan Kepolisian Daerah Jawa Timur karena kasus penipuan dan penggelapan investasi tambang nikel pada November 2020. Warga Sidoarjo, Jawa Timur, itu diperkarakan oleh Christeven Mergonoto. Serly kemudian melobi jaksa Chairul melalui Natalia Rusli agar dapat menangguhkan penahanan anaknya. Saat itu, jaksa Chairul menjabat Sekretaris Jaksa Agung Pidana Umum (Sesjam Pidum).

Natalia berjanji dapat menangguhkan penahanan Christian melalui bantuan Chairul. Syaratnya, Serly harus menyetor Rp 500 juta. Uang diserahkan ke Natalia secara tunai dalam bentuk pecahan US$ 100 dengan total sekitar US$ 34.675 ribu.

Jaka, pengacara Serly Kuganda, menyatakan kliennya sempat bertemu dengan Chairul untuk membicarakan penangguhan penahanan. Kenyataannya, Natalia justru meminta tambahan uang senilai Rp 1 miliar. Duit itu untuk mengurangi masa hukuman dalam sidang tuntutan. Namun permintaan itu ditolak korban. "Kami mengharapkan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan mau mengawasi jalannya kasus ini," ujar Jaka, kemarin.

Jaka berharap Chairul dikenai sanksi lebih berat daripada hukuman disiplin. Dia juga meminta Kejaksaan berkomitmen mengusut permainan kasus yang terjadi di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Dia menyebutkan persoalan yang dialami kliennya adalah salah satu bentuk masifnya makelar kasus dengan menawarkan penangguhan penahanan.

Adapun jaksa Chairul sempat membantah atas tuduhan menipu dan menerima suap. Meski begitu, dia membenarkan pernah bertemu Serly ketika menjabat Inspektur IV Pengawasan Kejaksaan Agung. Saat itu, Serly melaporkan bahwa anaknya dikriminalisasi. "Saya sampaikan, buat saja laporan pengaduan secara resmi ke Kejaksaan," ujar Chairul.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. TEMPO/M Taufan Rengganis

Menanggapi hal ini, peneliti dari Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, merasa janggal atas sanksi terhadap jaksa Chairul yang terbukti menyalahgunakan wewenang. Apalagi Chairul disebut menerima uang Rp 500 juta. "Tindakan awal harusnya bukan pemeriksaan administrasi, melainkan menyelidiki dugaan tindak pidana suap," ujar Kurnia.

Kurnia mengatakan penyelidikan tindak pidana korupsi harus dilakukan karena jaksa Chairul diduga kuat menerima uang dari Serly. Setelah penyelidikan berjalan, Kejaksaan Agung bisa memberi sanksi administratif berupa pencopotan. Menurut Kurnia, kasus jaksa Chairul hanya satu dari banyak kasus suap dan korupsi yang menyeret para jaksa. Beberapa waktu lalu, jaksa Pinangki Sirna Malasari divonis bersalah oleh pengadilan karena terbukti menerima suap dari terpidana kasus korupsi Joko Tjandra.

ANDITA RAHMA | AVIT HIDAYAT
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Sukma N Loppies

Sukma N Loppies

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus