Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Proses pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru atau PPDB di sejumlah wilayah Indonesia diwarnai adanya indikasi kecurangan. Berbagai modus dilakukan agar calon siswa baru bisa diterima di sekolah favorit melalui zonasi PPDB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akibatnya, muncul suara kekecewaan masyarakat atas pelaksanaan sistem zonasi PPDB 2023. Untuk itu, berikut ini sejumlah polemik dalam zonasi PPDB yang telah dirangkum Tempo:
1. Jual beli kursi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PPDB jalur zonasi tingkat Sekolah Menengah Pertama SMP 2023 di Karawang diduga diwarnai dengan tindakan jual beli kursi. Seorang warga Kecamatan Karawang Timur menyampaikan adanya kegiatan transaksional saat PPDB SMP jalur zonasi.
Ia mengaku harus mengeluarkan uang sekitar Rp 3 juta agar anaknya bisa masuk ke SMP negeri di Karawang. Hal itu terpaksa dilakukan agar anaknya bisa sekolah di wilayah Karawang Barat. "Biaya atau tarifnya lumayan, istilahnya itu beli kursi," kata salah satu orang tua siswa yang tak mau namanya disebut.
2. Domisili tidak sesuai KK
Wali Kota Bogor, Bima Arya mengungkapkan sejumlah kecurangan masyarakat dalam mendaftar PPDB jalur zonasi. Salah satunya adalah domisili yang tidak sesuai dengan Kartu Keluarga (KK).
Misalnya pada saat Bima Arya mengecek ke Gang Selot dan Jalan Kantor Batu, Kelurahan Paledang, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor yang tak jauh dari SMPN 1 Kota Bogor dan SMAN 1 Kota Bogor. Ditemukan ada beberapa rumah yang dicantumkan sebagai alamat tinggal, tapi ternyata tidak ditemukan nama anak calon siswa tinggal di rumah tersebut, "Adapula yang koordinatnya dekat, tetapi ketika mendaftar alamatnya jauh gitu ya, jadi saya kira ini betul-betul ada permainan," kata Bima.
3. Manipulasi KK
Tak hanya menemukan domisili calon siswa yang tidak sesuai KK, Bima Arya menemukan berbagai modus lain untuk mengakali PPDB sistem zonasi. Saat melakukan verifikasi, Bima Arya juga menemukan nama calon siswa yang beralamat di sebuah kontrakan kosong dan kos-kosan kosong ataupun kosan yang dihuni oleh para pekerja.
Atas kecurangan yang terjadi, Bima Arya akan mendiskualifikasi siswa yang diumumkan lolos PPDB, namun diduga hasil titip identitas di KK terdekat zonasi atau KK palsu. Kemudian kecurangan PPBD tingkat SMA akan diteruskan kepada kantor Cabang Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat.
4. Siswa miskin tidak terakomodasi
Kepala Perwakilan Ombudsman Jawa Tengah Siti Farida menyatakan bahwa siswa-siswa dari keluarga kurang mampu tidak terakomodasi dengan baik dalam PPDB SMA di wilayah tersebut. Seharusnya para siswa tidak mampu diberikan kuota minimal 20 persen di setiap sekolah, namun pelaksanaan pemenuhan kuota tersebut tidak mencapai hasil yang maksimal.
Sebagai contoh, ada sekolah yang kuota siswa miskinnya 72 kursi, tetapi hingga pendaftaran ditutup ternyata hanya ada lima orang yang mendaftar. "Jadi, mereka ini (siswa miskin) tidak terdaftar dalam aplikasi PPDB. Semestinya, mereka kan terdaftar karena mereka punya KIP (Kartu Indonesia Pintar), masuk PKH (Program Keluarga Harapan)," kata Siti.
5. Rumah masuk zonasi tapi tidak diterima
Persoalan lain juga ditemukan dalam PPDB SMP di Pekanbaru. Ada calon peserta didik yang rumahnya dekat dari sekolah, namun tidak diterima, sedangkan yang jarak rumahnya jauh malah lolos. Menindaklanjuti hal tersebut, Kepala Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru Abdul Jamal mengaku akan melakukan klarifikasi ke sekolah.
"Kalau ada laporan anak yang jaraknya jauh, sedangkan yang dekat dari sekolah malah tidak lolos tentu kita tindak lanjuti. Kita akan lakukan klarifikasi ke sekolah," ujar Abdul.
Tidak hanya di Pekanbaru, masalah siswa yang tidak diterima padahal jarak rumahnya dekat terjadi di Bogor. Saat melakukan verifikasi, Bima Arya menerima aduan seorang ibu yang mengaku tinggal di dekat dengan SMAN 1 Kota Bogor, namun anak sang ibu yang sempat berada di urutan atas PPDB jalur zonasi tiba-tiba tersisih.
Bima pun akan melakukan pemeriksaan terhadap Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) serta Dinas Pendidikan untuk mengaudit sistem penentuan koordinat dan verifikasi kartu keluarga. "Kami akan melakukan audit terhadap Disdik dan Disdukcapil untuk menanggapi keluhan dari masyarakat," kata dia.
6. Penyebaran sekolah tidak merata
Kepala Ombudsman Perwakilan Provinsi Nusa Tenggara Timur Darius Beda Daton mengatakan penerapan sistem zonasi PPDB di NTT belum berjalan dengan efektif. Hal ini terjadi karena adanya ketidakmerataan penyebaran sekolah di setiap wilayah. Bahkan, ada beberapa kecamatan yang tidak memiliki SMA sehingga calon siswa harus ke kecamatan lain.
"Jadi penyebaran sekolah belum merata akan menjadi persoalan tersendiri karena daya tampung sekolah maksimal 12 kelas dengan jumlah siswa per kelas 36 orang. Jika jumlah siswa melebihi kapasitas dan tak mau ke sekolah swasta maka jadi persoalan juga," ujar Darius.
Sebagai informasi, sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) adalah sistem yang menentukan wilayah atau zona geografis tertentu untuk pembatasan pendaftaran dan penempatan siswa di sekolah-sekolah. Tujuan dari sistem ini adalah untuk mempercepat proses pemerataan dalam sektor pendidikan.
RIZKY DEWI AYU
Pilihan Editor: Disdik Ingatkan Sekolah Tak Main PPDB Jalur Belakang