Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sembunyi-Sembunyi Deklarasi Talangsari

Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan mendorong penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia berat melalui jalur di luar pengadilan. Meminta Kejaksaan Agung dan Komnas HAM melakukan gelar perkara.

22 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejumlah korban peristiwa Talangsari 1989 melakukan audiensi di gedung Komnas HAM, Jakarta, 4 Maret lalu. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUJUH jam menunggu sejak pukul sembilan pagi hingga empat sore, tamu yang dinanti Suroso tak kunjung datang. Hari itu, Rabu, 20 Februari lalu, Kepala Dusun Talangsari ini bermaksud menerima sejumlah pejabat dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan di rumahnya di Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Labuhan Ratu, Lampung Timur. “Saya diminta Pak Camat menyambut kedatangan tamu dari Kemenkopolhukam. Katanya mau kunjungan lapangan ke sini,” ujar Suroso, Kamis, 21 Maret lalu.

Rupanya, para pejabat itu tak mampir ke Desa Talangsari, tapi ke kantor Pemerintah Kabupaten Lampung Timur. Di sana, mereka mengadakan “deklarasi damai” korban peristiwa Talangsari. Suroso tak mengetahui ada acara tersebut. “Saya merasa dikelabui karena tidak ada pemberitahuan apa pun. Saya baru tahu acara itu malamnya dari media,” katanya.

Meletus pada 7 Februari 1989, peristiwa Talangsari termasuk kasus pelanggaran hak asasi manusia berat yang diselidiki Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Pada Juli 2008, Komnas HAM menyimpulkan serangan aparat terhadap kelompok Warsidi yang dituduh ingin mendirikan negara Islam di Dusun Talangsari tersebut menyebabkan sedikitnya 130 orang tewas. Komnas HAM juga menyebutkan 53 orang ditahan dan mengalami penyiksaan. Sebanyak 77 orang diusir dari kampung.

Menurut Komnas HAM, peristiwa Talangsari memenuhi kualifikasi pelanggaran hak asasi manusia berat sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan patut dibawa ke pengadilan. Tapi, setelah 30 tahun peristiwa itu berlalu, kasusnya masih mengambang. Kejaksaan Agung terus mengembalikan berkas penyelidikan ke Komnas HAM dengan alasan kurang alat bukti.

Di kantor Pemerintah Kabupaten Lampung Timur, acara “deklarasi damai” peristiwa Talangsari dihadiri perwakilan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, pemerintah daerah, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Lampung Timur. Tapi korban peristiwa Talangsari malah tak tampak. Ketua Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung, Edi Arsadad, mengatakan acara tersebut melukai korban.

Deklarasi itu menyatakan sejumlah poin, antara lain pelaku, korban, dan keluarga korban menyepakati peristiwa Talangsari tidak diungkit-ungkit lagi. Poin lain menyebutkan pemerintah telah membangun infrastruktur, memberdayakan ekonomi, dan memenuhi hak-hak dasar korban dan keluarga.

Surat pernyataan ditandatangani Asisten Deputi Koordinasi Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Rudy Syamsir, yang juga merupakan Wakil Ketua Tim Terpadu Penanganan Pelanggaran Hak Asasi Manusia; Wakil Bupati Lampung Timur Zaiful Bokhari; serta Camat Labuhan Ratu Umar Dani. Warga Talangsari bernama Supriyadi juga membubuhkan paraf di dokumen itu.

Edi Arsadad mengatakan deklarasi tersebut sama sekali tak melibatkan korban peristiwa Talangsari dan Komnas HAM. “Deklarasi ini sepihak dan sembunyi-sembunyi,” ujarnya.

Sehari sebelum deklarasi, Edi memang dikontak seseorang yang mengaku sebagai anggota staf Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pria itu meminta Edi mengumpulkan korban Talangsari dengan alasan pemerintah akan memeriksa mereka untuk suatu alasan. Di ujung percakapan telepon, pria tersebut juga menanyakan tuntutan para korban. Edi menjawab bahwa korban ingin kasus Talangsari dibawa ke pengadilan. “Supaya mendapat keadilan,” katanya.

Keesokan harinya, tak ada kabar lagi dari si penelepon. Padahal Edi sudah menunggu seharian di rumah bersama sejumlah korban. Di sebuah media, ia membaca berita bahwa pada hari itu ada “deklarasi damai”.

Supriyadi, warga Talangsari yang menandatangani pernyataan deklarasi, mengatakan acara tersebut memang tak mengikutkan korban. Menurut dia, deklarasi hanya mengulang kembali pernyataan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lampung Timur Nomor 170/3/2/XII/SK/DPRD-TM/2000 tentang Peristiwa Talangsari, yang menyebutkan kasus itu telah ditutup. “Ini supaya kondisi lebih kondusif karena di sini sudah simpang-siur,” ujarnya.

Camat Labuhan Ratu Umar Dani mengaku tak mengetahui bakal ada acara deklarasi. Ia mengatakan hanya menerima informasi tentang kedatangan tamu dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. “Jadi kami bersiap-siap saja,” ucapnya.


 

Deklarasi itu menyatakan sejumlah poin, antara lain pelaku, korban, dan keluarga korban menyepakati peristiwa Talangsari tidak diungkit-ungkit lagi. Poin lain menyebutkan pemerintah telah membangun infrastruktur, memberdayakan ekonomi, dan memenuhi hak-hak dasar korban dan keluarga.

 


 

Wakil Bupati Lampung Timur Zaiful Bokhari mengatakan rencana deklarasi baru tercetus beberapa saat sebelum acara. Awalnya, Zaiful hanya menerima kabar akan ada kunjungan dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Lampung Timur ke kantornya. Pagi sebelum acara, mereka berbincang mengenai keadaan di Dusun Talangsari. Menganggap dusun tersebut tak kondusif untuk disambangi, peserta pertemuan bersepakat menggelar “deklarasi damai”. “Jadi ini spontan pada hari-H. Berdasarkan saran dan masukan dari berbagai pihak, akhirnya disepakati dan kami fasilitasi,” ujar Zaiful.

Anggota Komnas HAM, Choirul Anam, menilai “deklarasi damai” tersebut sebagai upaya pemerintah mengarahkan penyelesaian peristiwa Talangsari, yang merupakan kasus pelanggaran hak asasi berat, ke jalur non-yudisial atau di luar pengadilan. Indikasinya, sehari sebelum acara, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menyurati Jaksa Agung Muhammad Prasetyo.

Dalam suratnya, Wiranto menyatakan pemerintah akan tetap melanjutkan penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi berat secara non-yudisial. Sedangkan di jalur yudisial, Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan mendorong Kejaksaan Agung dan Komnas HAM melakukan gelar perkara dengan menghadirkan ahli yang relevan. “Untuk mencari solusi yang pasti,” kata Wiranto dalam surat tersebut.

Pelaksana Tugas Deputi III Bidang Koordinasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Yoseph Puguh membenarkan ada surat tersebut. Tapi, menurut dia, itu bukan berarti kementeriannya mengarahkan penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi berat ke jalur di luar pengadilan. Menurut Yoseph, surat itu bentuk dari koordinasi antarlembaga belaka. “Kami ini kementerian koordinator, jadi tugasnya mengkoordinasi kalau ada yang macet,” tuturnya.

Ihwal “deklarasi damai” peristiwa Talangsari, Yoseph mengatakan acara tersebut diadakan berdasarkan inisiatif warga Talangsari. “Kalau yudisial terkendala alat bukti, masak mau dipaksakan? Kalau begitu, ini akan terus berulang, digoreng terus sampai kapan pun,” ujarnya.

Menurut Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM, yang juga Ketua Tim Terpadu Penanganan Pelanggaran HAM, Mualimin Abdi, membawa kasus pelanggaran hak asasi berat ke jalur non-yudisial merupakan salah satu ikhtiar pemerintah untuk menyelesaikan perkara. Setelah pemilihan umum 17 April mendatang, Mualimin menargetkan penyelesaian kasus hak asasi manusia di Aceh dan Papua dengan melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat. “Kalau sekarang, pasti dituduh ini-itu lagi,” katanya.

DEVY ERNIS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Devy Ernis

Devy Ernis

Bergabung dengan Tempo sejak April 2014, kini staf redaksi di Desk Nasional majalah Tempo. Memimpin proyek edisi khusus perempuan berjudul "Momen Eureka! Perempuan Penemu" yang meraih penghargaan Piala Presiden 2019 dan bagian dari tim penulis artikel "Hanya Api Semata Api" yang memenangi Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Alumni Sastra Indonesia Universitas Padjajaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus