BIAYA pendidikan di Indonesia memang mahal. Toh, tetap banyak
yang berusaha menyisihkan uang guna mengirimkan anaknya ke
sekolah. Bahkan sekolah yang ada sekarang tak cukup menampung
ledakan calon murid. Meski begitu, kalau saja anda mengirimkan
anak ke sekolah dengan tujuan -- semata-mata -- untuk memperoleh
manfaat ekonomis (bahwa nanti putera anda akan memperoleh
pekerjaan, apalagi dengan gaji besar) anda boleh kecewa. Paling
tidak itulah yang dikatakan dalam disertasi Simanhadi
Widyaprakosa, dosen pada Universitas Negeri Jember. Katanya,
imbal jasa pendidikan bagi tamatan SMA dan STM baru bisa
diperoleh setelah mereka bekerja 14 sampai 17 tahun. Mana tahan.
Disertasi yang membuat Simanhadi (bekas Pembantu Rektor I
Universitas Jember) memperoleh doktor pendidikan, Selasa awal
September lalu itu, berjudul Imbaljasa Pendidikan pada Tamatan
SMA dan STM di Jawa Timzr. Promotornya Prof. Dr. Imam Barnadib
dari IKIP Yogyakarta. Dipilihnya Ja-Tim sebagai contoh soal
karena "propinsi itu memiliki seperlima jumlah penduduk
Indoriesia seluruhnya, dan daerah tingkat I ini memiliki pula
kota yang mendekati metropolitan, kotamadya dan desa yang
terbelakang." Kurang lebih merupakan contoh gambaran negara kita
sekarang.
Baru Rintisan
Simanhadi hanya mendapat doktor dengan predikat "memuaskan".
Beberapa hal dalam disertasinya memang menimbulkan pertanyaan.
Misalnya: yang disebutnya biaya pendidikan hanyalah biaya SPP
(Sumbangan Pembangunan Pendidikan), biya alat-alat pendidikan,
dan semua uang yang diterima sekolah yang digunakan untuk
keperluan pendidikan. Sedang uang transpor dan biaya pakaian
seragam tak diperhitungkannya. "Kalau sampai menghitung biaya
tak langsung, variabelnya terlalu banyak. Dalam menghitung
imbaljasanya pun tak dihitung imbaljasa hasil omprengan," kata
Simanhadi kepada TEMPO.
Angka yang diperoleh dari penelitian 1977-1979 itu menunjukkan:
biaya pendidikan rata-rata untuk anak SMA herjumlah Rp 105.466
per tahun. Sedang untuk STM Rp 125.858. Lalu, dengan perhitungan
bahwa imbal jasa ekonomis mulai diterima "sewaktu
jumlahkumulatif gaji karyawan tamatan SLTA sama dengan jumlah
kumulatif gaji tamatan SLTP ditambah biaya pendidikan selama di
SLTA," disimpulkannya: tamatan SMA mulai mendapat imbal jasa
pada tahun kerjanya yang je-17 sedang tamatan STM pada tah.un
kerja ke-14.
Yang juga penting adalah kesimpulan yang lain: bahwa baik
tamatan SM maupun STM ternyata belum punya kepercayaan kepada
diri sendiri. Kepercayaan baru diperoleh mereka setelah bekerja
beberapa tahun. Juga mereka ternyata masih memerlukan penataran
untuk meningkatkan keterampilan. Dan hampir semua responden,
menurut disertasi, menunjuk sekolahnya sebagai sumber kelemahan
mereka. Mereka menunjuk "alat pelajaran, cara guru mengaar yang
kurang berwibawa dan kurang praktis"--sebagai biang keladi.
Ini memang hanya sebuah disertasi-yang oleh penulisnya sendiri
diakui "baru bersifat rintisan." Tapi masalah yang dipilihnya
(menurut Simanhadi dipilihkan oleh Prof. Sanusi dari IKIP
Bandung) cukup penting dalam dunia pendidikan. Ketua BP3K (badan
Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan), Prof.
Dr. Setijadi, mengomentari disertasi itu dengan mengatakan
kepada TEMPO, bahwa penelitian tentang imbal jasa pendidikan
memang perlu: "agar orangtua tahu berapa biaya yang harus
dikeluarkan untuk anaknya." Dan bagi pemerintah: "untuk
mengetahui biaya pendidikan seharusnya dialokasikan di mana."
BP3K sendiri sehenarnya sudah melakukan penelitiah tentang imbal
jasa pendidikan -- dan tak hanya terbatas pada tamatan SLTA,
tapi juga SD dan SLTP, dengan sampel yang merata di berbagai
daerah di Indonesia. Hasilnya memang agak berlainan dengan
disertasi Simanhadi. Misalnya: menurut penelitian BP3K, ternyata
responden mengakui bahwa sek-olah "memberikan pengajaran dan
disiplin yang baik." Sedang angka biaya pendidikan yang
diperoleh BP3K (penelitian itu dilakukan 1976), bagi SMA Rp
83.430, dan bi STM Rp 80.180.
Jadi lebih rendah. Padahal penelitiar BP3K, dipimpin oleh Ketua
Pusat Penelitian BP3K, Ny. Widodo, sudah juga memasukkan ke
dalam 'biaya pendidikan' itu uang transpor, uang saku/jajan,
uang untuk pesta sekolah, serta pakaian seragam dan sepatu. Dan
ternyata, lebih dari 35% biaya dipakai untuk pembelian pakaian
seragam dan sepatu.
Tapi bagaimana dengan orangtua murid sendiri? Benarkah mereka
begitu teliti sehingga benar-benar memperhitungkan perbandingan
biaya pendidikan dan imbal jasa yang akan diperoleh? Mendapat
pekerjaan setelah tamat sekolah saja, untuk masa sekarang,
rasanya sudah sangat beruntung, bukan?
"Untuk Indonesia barangkali memang begitu," jawab Setijadi akhir
minggu lalu, sehari sebelum menuju Paris untuk satu seminar
tentang pendidikan. Diberikannya contoh di negara maju, hal itu
sangat diperhitungkan. "Ada perhitungan besarnya gaji dengan
pembayaran kembali biaya pendidikan yang sering diperoleh dari
semacam ikatan dinas, " lanjutnya. "Juga sebagai data guna
menentukan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan,
penting."
Berhitung dengan angka saja, untuk satu hal yang tidak hanya
bersifat ekonomis, memang belum lengkap. Yan disebut imbal jasa
pendidikan tentunya bukan hanya berbentuk gaji. Bisa juga
berbentuk non-ekonomis, yang menurut Simanhadi "berupa efek
sosial-psikologis yang sangat kompleks yang hanya dapat diukur
secara normatif." Ini agaknya lebih menonjol lagi pada orangtua
yang memasukkan anak mereka ke madrasah atau pesantren--dengan
perhitungan bahwa kalaupun si anak tak dibolehkan jadi pegawai
negeri, mereka diharap bisa cari makan di tengah rakyat muslimin
sendiri.
Ny. Widodo pun mengakui imbal jasa non-ekonomis itu. Katanya
"Penelitian kita belum memperhitungkan keuntungan sosialnya,
yang tentunya itu keuntungan yang tak kecil pula."
Karena itu baik Simanhadi maupun Ny. Widodo belum berani
menyimpulkan, apakah imbal jasa pendidikan untuk Indonesia sudah
memadai atau masih harus diperbaiki. "Masih belum semua hal
terungkap. Masih memerlukan penelitian lebih lanjut," kata
Simanhadi. Lalu menurut Ny. Widodo: "Harus juga diadakan
penelitian pengaruh pengangguran terhadap imbal jasa itu. Dan
ini belum dilakukan.
Simanhadi lahir di Kulon Progo, Yogyakarta, 1932. Memperoleh
kesarjanaannya dari Fak. Pedagogi UGM 1961. Pernah bekerja
sebagai guru di SGB dan SMP. Sejak 1963 menjadi dosen di
Universitas Negeri Jember sampai sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini