Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Imbal jasa, setelah sekolah

Disertasi doktor pendidikan simanhadi widyaprakosa menyatakan imbaljasa pendidikan pada tamatan sma & stm di ja-tim diperoleh setelah bekerja 14-15 thn. bp3k pernah meneliti untuk seluruh indonesia.(pdk)

22 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BIAYA pendidikan di Indonesia memang mahal. Toh, tetap banyak yang berusaha menyisihkan uang guna mengirimkan anaknya ke sekolah. Bahkan sekolah yang ada sekarang tak cukup menampung ledakan calon murid. Meski begitu, kalau saja anda mengirimkan anak ke sekolah dengan tujuan -- semata-mata -- untuk memperoleh manfaat ekonomis (bahwa nanti putera anda akan memperoleh pekerjaan, apalagi dengan gaji besar) anda boleh kecewa. Paling tidak itulah yang dikatakan dalam disertasi Simanhadi Widyaprakosa, dosen pada Universitas Negeri Jember. Katanya, imbal jasa pendidikan bagi tamatan SMA dan STM baru bisa diperoleh setelah mereka bekerja 14 sampai 17 tahun. Mana tahan. Disertasi yang membuat Simanhadi (bekas Pembantu Rektor I Universitas Jember) memperoleh doktor pendidikan, Selasa awal September lalu itu, berjudul Imbaljasa Pendidikan pada Tamatan SMA dan STM di Jawa Timzr. Promotornya Prof. Dr. Imam Barnadib dari IKIP Yogyakarta. Dipilihnya Ja-Tim sebagai contoh soal karena "propinsi itu memiliki seperlima jumlah penduduk Indoriesia seluruhnya, dan daerah tingkat I ini memiliki pula kota yang mendekati metropolitan, kotamadya dan desa yang terbelakang." Kurang lebih merupakan contoh gambaran negara kita sekarang. Baru Rintisan Simanhadi hanya mendapat doktor dengan predikat "memuaskan". Beberapa hal dalam disertasinya memang menimbulkan pertanyaan. Misalnya: yang disebutnya biaya pendidikan hanyalah biaya SPP (Sumbangan Pembangunan Pendidikan), biya alat-alat pendidikan, dan semua uang yang diterima sekolah yang digunakan untuk keperluan pendidikan. Sedang uang transpor dan biaya pakaian seragam tak diperhitungkannya. "Kalau sampai menghitung biaya tak langsung, variabelnya terlalu banyak. Dalam menghitung imbaljasanya pun tak dihitung imbaljasa hasil omprengan," kata Simanhadi kepada TEMPO. Angka yang diperoleh dari penelitian 1977-1979 itu menunjukkan: biaya pendidikan rata-rata untuk anak SMA herjumlah Rp 105.466 per tahun. Sedang untuk STM Rp 125.858. Lalu, dengan perhitungan bahwa imbal jasa ekonomis mulai diterima "sewaktu jumlahkumulatif gaji karyawan tamatan SLTA sama dengan jumlah kumulatif gaji tamatan SLTP ditambah biaya pendidikan selama di SLTA," disimpulkannya: tamatan SMA mulai mendapat imbal jasa pada tahun kerjanya yang je-17 sedang tamatan STM pada tah.un kerja ke-14. Yang juga penting adalah kesimpulan yang lain: bahwa baik tamatan SM maupun STM ternyata belum punya kepercayaan kepada diri sendiri. Kepercayaan baru diperoleh mereka setelah bekerja beberapa tahun. Juga mereka ternyata masih memerlukan penataran untuk meningkatkan keterampilan. Dan hampir semua responden, menurut disertasi, menunjuk sekolahnya sebagai sumber kelemahan mereka. Mereka menunjuk "alat pelajaran, cara guru mengaar yang kurang berwibawa dan kurang praktis"--sebagai biang keladi. Ini memang hanya sebuah disertasi-yang oleh penulisnya sendiri diakui "baru bersifat rintisan." Tapi masalah yang dipilihnya (menurut Simanhadi dipilihkan oleh Prof. Sanusi dari IKIP Bandung) cukup penting dalam dunia pendidikan. Ketua BP3K (badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan), Prof. Dr. Setijadi, mengomentari disertasi itu dengan mengatakan kepada TEMPO, bahwa penelitian tentang imbal jasa pendidikan memang perlu: "agar orangtua tahu berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk anaknya." Dan bagi pemerintah: "untuk mengetahui biaya pendidikan seharusnya dialokasikan di mana." BP3K sendiri sehenarnya sudah melakukan penelitiah tentang imbal jasa pendidikan -- dan tak hanya terbatas pada tamatan SLTA, tapi juga SD dan SLTP, dengan sampel yang merata di berbagai daerah di Indonesia. Hasilnya memang agak berlainan dengan disertasi Simanhadi. Misalnya: menurut penelitian BP3K, ternyata responden mengakui bahwa sek-olah "memberikan pengajaran dan disiplin yang baik." Sedang angka biaya pendidikan yang diperoleh BP3K (penelitian itu dilakukan 1976), bagi SMA Rp 83.430, dan bi STM Rp 80.180. Jadi lebih rendah. Padahal penelitiar BP3K, dipimpin oleh Ketua Pusat Penelitian BP3K, Ny. Widodo, sudah juga memasukkan ke dalam 'biaya pendidikan' itu uang transpor, uang saku/jajan, uang untuk pesta sekolah, serta pakaian seragam dan sepatu. Dan ternyata, lebih dari 35% biaya dipakai untuk pembelian pakaian seragam dan sepatu. Tapi bagaimana dengan orangtua murid sendiri? Benarkah mereka begitu teliti sehingga benar-benar memperhitungkan perbandingan biaya pendidikan dan imbal jasa yang akan diperoleh? Mendapat pekerjaan setelah tamat sekolah saja, untuk masa sekarang, rasanya sudah sangat beruntung, bukan? "Untuk Indonesia barangkali memang begitu," jawab Setijadi akhir minggu lalu, sehari sebelum menuju Paris untuk satu seminar tentang pendidikan. Diberikannya contoh di negara maju, hal itu sangat diperhitungkan. "Ada perhitungan besarnya gaji dengan pembayaran kembali biaya pendidikan yang sering diperoleh dari semacam ikatan dinas, " lanjutnya. "Juga sebagai data guna menentukan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan, penting." Berhitung dengan angka saja, untuk satu hal yang tidak hanya bersifat ekonomis, memang belum lengkap. Yan disebut imbal jasa pendidikan tentunya bukan hanya berbentuk gaji. Bisa juga berbentuk non-ekonomis, yang menurut Simanhadi "berupa efek sosial-psikologis yang sangat kompleks yang hanya dapat diukur secara normatif." Ini agaknya lebih menonjol lagi pada orangtua yang memasukkan anak mereka ke madrasah atau pesantren--dengan perhitungan bahwa kalaupun si anak tak dibolehkan jadi pegawai negeri, mereka diharap bisa cari makan di tengah rakyat muslimin sendiri. Ny. Widodo pun mengakui imbal jasa non-ekonomis itu. Katanya "Penelitian kita belum memperhitungkan keuntungan sosialnya, yang tentunya itu keuntungan yang tak kecil pula." Karena itu baik Simanhadi maupun Ny. Widodo belum berani menyimpulkan, apakah imbal jasa pendidikan untuk Indonesia sudah memadai atau masih harus diperbaiki. "Masih belum semua hal terungkap. Masih memerlukan penelitian lebih lanjut," kata Simanhadi. Lalu menurut Ny. Widodo: "Harus juga diadakan penelitian pengaruh pengangguran terhadap imbal jasa itu. Dan ini belum dilakukan. Simanhadi lahir di Kulon Progo, Yogyakarta, 1932. Memperoleh kesarjanaannya dari Fak. Pedagogi UGM 1961. Pernah bekerja sebagai guru di SGB dan SMP. Sejak 1963 menjadi dosen di Universitas Negeri Jember sampai sekarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus