ALAM di ujung Bali bagian selatan memang alam yang bruntal.
Tanahnya tandus, kering, gersang, berkarang dan sejenis itulah.
Bagi Tanjung Benoa, desa pantai di ekor selatan Bali ini lebih
bernasib sial lagi. Ia terisolir oleh karang yang tinggi
terjal. Hingga praktis satu-satunya jalan keluar dari desa ini
adalah laut. Menyeberang 30 menit dengan sampan yang disewa Rp
50 per kepala sampailah di Pelabuhan Benoa. Dari sini tentulah
mudah mau ke mana bemo dan bis umum tidak sulit.
Desa Tanjung Benoa yang dibatasi karaNg dan laut ini awal tahun
1976 ini bernasib baik. KEluar sebagai Desa nelayan juara
dalam perlombaan Desa nelayan se Bali yang diselenggarakan oleh
Dinas Perikanan Bali. Juara I juga diraih oleh Koperasi Nelayan
Astitining Samudra desa Tanjung Benoa. Maka hadiah yang
diterimanya pun bertumpuk-tumpuk. "Tapi tidak terlalu melegakan
benar. Masa depan kami masih remang-remang", kata I Made Jarta,
Kelihan Dinas Tanjung Benoa yang jugs Ketua Koperasi Nelayan
"Astitining Samudera" kepada TEMPO.
Ternyata masalah yang menyebabkan kehidupan nelayan Tanjung
Benoa remang-remang tak ada lain dari saingan yang semakin
gencar dilakukan oleh lapal-kapal penangkap ikan modern yang
bermukim di Pelabuhan Benoa. Kapal yang bermodal joint venture
dengan pihak asing itu bagaikan hantu yang menakutkan saja
menurut nelayan Tanjung Benoa. "Kami minta uluran tangan
pemerintah. Kami tidak minta banyak, cukup untuk membeli
alat-alat penangkap ikan yang lebih sesuai", ujar I Made Jarta.
Ternyata banyak penduduk yang belum memiliki alat penangkap
ikan. Bagi yang tidak punya alat-alat untuk menyambung
hidupnya itu, maka terpaksa memilih jalan sewa. Cuma bukan
dengan uang, tetapi dari hasil tangkapan ikan di laut. I Made
Jarta memberikan contoh begini.
Nelayan yang tidak punya jukung (sampan) bisa menyewa milik
juragan dengan istilah dalam bahasa Bali nandu. Artinya, si
penyewa jukung itu begitu menginjakkan kaki di pasir selesai
bertaruh di laut begitu perlihatkan hasil tangkapan kepada
juragan. Dan hasil ini di bagi dua: juragan dan sang penyewa.
Kalau tangkapan banyak, sang juragan berseri-seri wajahnya,
sementara sang nelayan penyewa jukung tadi dengan pasrah saja
mengikhlaskan jerih payahnya dilalap juragan. Kalau tangkapan
sedikit? Nelayan yang menandu serba salah dan agak dipersulit
untuk menyewanya di lain waktu.
Bukan itu saja kegetiran nelayall Tanjung Benoa. Dengan alat
serba minim dan menurut istilah mereka sangat tradisionil, mau
tak mau mereka harus memperhitungkan faktor waktu. Angin bukan
saja mempengaruhi gerak layar sampannya tapi juga mempengaruhi
paceklik tidaknya dalam musim barat (Nopember - April) mereka
tidak berani mengarungi Samudra Indonesia terlalu jauh. Ini
artinya cuma berani menangkap ikan karang di sekitar pantai.
Beruntunglah sekarang, nelayan ini punya obyekan baru, istilah
Made Jarta banting stir. Masih soal menangkap, tapi bukan ikan
melainkan penyu. Operasinya beralih ke pantai Blambangan (Jawa
Timur), Kangena, Lombok, Sumbawa, Flores, dan ada yang sampai
Toli-toli (Sulawesi). Penyu yang ditangkap biasanya kecil-kecil
dipelihara dalam sebuah kandang. Setelah besar baru dijual.
Atau jika kepepet perlu uang segera, nelayan itu bisa menjual
secara lelang kepada Koperasi Astitining Samudra. Barangkali di
sinilah fungsi koperasi tersebut, hingga Dinas Perikanan Bali
tidak salah memberikan juara I untuk katagori Koperasi Nelayan.
Jika musim timur (Mei - Oktober) panen pun tiba. Mengarungi
Samudra Indonesia masih minim jika hanya dapat 25 Kg ikan dari
jenis kunyitan, tenggiri, susut. Kalau nasib baik tak jarang
sampai 50 Kg ikan dijala. Problema pun menyusul, ke mana ikan
itu dijual. Koperasi tidak mampu membeli dalam jumlah besar
karena keuangan yang tipis. Dijual ke kota Denpasar dengan naik
sampan, naik bemo terlalu membuang waktu walaupun masih
mendingan ketimbang disadap tengkulak. Maka tugas para ibu-ibu
yang menjual ikan itu ke Denpasar. Subuh mereka berangkat, dan
sebelum matahari bertengger ibu nelayan ini sudah menjajakan
ikannya di Pasar Pagi Pemedilan Denpasar. Pulangnya, tidak
membawa uang, tetapi beras, minyak dan sayur. "Anak saya tak
pernah minta uang, paling-paling minta oleh-oleh krupuk atau
manisan", ujar seorang ibu dalam sampan.
Penduduk Tanjung Benoa yang 1763 jiwa itu memang sebagian besar
nelayan. Walau demikian setiap 2 minggu sekali membersihkan
kampung dengan serentak. Ibu yang tabah di tempat sepi ini
menceritakan air minum penduduk sudah mulai dimasak, sebagian
besar punya sumur. Sampah dibakar. Kampung nelayan itu bersih.
Yang menjadi masalah adalah buang air besar. Kalau niat itu
datang, penduduk pergi ke pantai. Setelah buat lobang agak
lumayan mereka pun berak. Habis itu ditutup dengan pasir.
"Seperti penyu bertelur" kata Widhiasih ketawa. Adakah mereka
tolol? "Tidak" kata Widhiasih, sambil menambahkan, "mereka
mengerti kesehatan". Masalahnya mereka tidak ada uang untuk
membuat WC, maklum kehidupannya yang pas-pasan. Mahasiswa
Fakultas Kedokteran Univ. Udayana yang diterjunkan di desa itu
pernah memelopori buat WC cemplung, tetapi masyarakat kurang
betah karena baunya tidak scdap. "Ternyata sistim gali lubang
tutup lubang seperti penyu bertelur sangat praktis", kata
Widhiasih.
Kini ada kekuatiran baru di Desa nelayan terbaik seantero Bali
ini. Terutama menghinggapi para muda-mudinya yang tergabung
dalam rukun muda-mudi. Masalahnya cuma barang sepele saja adanya
desas desus Tanjung Benoa akan dilibatkan dalam kancah
kepariwisataan. Di Tanjung Benoa akan dikembangkan, dibangun
hotel, begitu kata desas desus. Akan dibawa ke mana penduduk
desa nelayan yang taraf pendidikannya rendah itu? Itulah
kekuatiran mereka. Kekuatiran yang nampaknya sangat tidak
beralasan, karena sampai saat ini belum ada niat pemerintah
mempariwisatakan Desa Nelayan Tanjung Benoa, walau semua orang
mengakui keindahan pantainya yang berpasir putih. Barangkali
kekuatiran itu karena mulai adanya turis-turis yang nyelonong ke
Tanjung Benoa melihat kandang penyu yang khas. Memang, kandang
penyu itu menarik untuk dilihat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini