Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Seperti penyu

Kehidupan para nelayan di tanjung benoa sangat sulit, karena alat penangkap ikan yang masih tradisi onal. mereka kemudian banting stir menangkap penyu yang juga mengundang turis. (ds)

21 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALAM di ujung Bali bagian selatan memang alam yang bruntal. Tanahnya tandus, kering, gersang, berkarang dan sejenis itulah. Bagi Tanjung Benoa, desa pantai di ekor selatan Bali ini lebih bernasib sial lagi. Ia terisolir oleh karang yang tinggi terjal. Hingga praktis satu-satunya jalan keluar dari desa ini adalah laut. Menyeberang 30 menit dengan sampan yang disewa Rp 50 per kepala sampailah di Pelabuhan Benoa. Dari sini tentulah mudah mau ke mana bemo dan bis umum tidak sulit. Desa Tanjung Benoa yang dibatasi karaNg dan laut ini awal tahun 1976 ini bernasib baik. KEluar sebagai Desa nelayan juara dalam perlombaan Desa nelayan se Bali yang diselenggarakan oleh Dinas Perikanan Bali. Juara I juga diraih oleh Koperasi Nelayan Astitining Samudra desa Tanjung Benoa. Maka hadiah yang diterimanya pun bertumpuk-tumpuk. "Tapi tidak terlalu melegakan benar. Masa depan kami masih remang-remang", kata I Made Jarta, Kelihan Dinas Tanjung Benoa yang jugs Ketua Koperasi Nelayan "Astitining Samudera" kepada TEMPO. Ternyata masalah yang menyebabkan kehidupan nelayan Tanjung Benoa remang-remang tak ada lain dari saingan yang semakin gencar dilakukan oleh lapal-kapal penangkap ikan modern yang bermukim di Pelabuhan Benoa. Kapal yang bermodal joint venture dengan pihak asing itu bagaikan hantu yang menakutkan saja menurut nelayan Tanjung Benoa. "Kami minta uluran tangan pemerintah. Kami tidak minta banyak, cukup untuk membeli alat-alat penangkap ikan yang lebih sesuai", ujar I Made Jarta. Ternyata banyak penduduk yang belum memiliki alat penangkap ikan. Bagi yang tidak punya alat-alat untuk menyambung hidupnya itu, maka terpaksa memilih jalan sewa. Cuma bukan dengan uang, tetapi dari hasil tangkapan ikan di laut. I Made Jarta memberikan contoh begini. Nelayan yang tidak punya jukung (sampan) bisa menyewa milik juragan dengan istilah dalam bahasa Bali nandu. Artinya, si penyewa jukung itu begitu menginjakkan kaki di pasir selesai bertaruh di laut begitu perlihatkan hasil tangkapan kepada juragan. Dan hasil ini di bagi dua: juragan dan sang penyewa. Kalau tangkapan banyak, sang juragan berseri-seri wajahnya, sementara sang nelayan penyewa jukung tadi dengan pasrah saja mengikhlaskan jerih payahnya dilalap juragan. Kalau tangkapan sedikit? Nelayan yang menandu serba salah dan agak dipersulit untuk menyewanya di lain waktu. Bukan itu saja kegetiran nelayall Tanjung Benoa. Dengan alat serba minim dan menurut istilah mereka sangat tradisionil, mau tak mau mereka harus memperhitungkan faktor waktu. Angin bukan saja mempengaruhi gerak layar sampannya tapi juga mempengaruhi paceklik tidaknya dalam musim barat (Nopember - April) mereka tidak berani mengarungi Samudra Indonesia terlalu jauh. Ini artinya cuma berani menangkap ikan karang di sekitar pantai. Beruntunglah sekarang, nelayan ini punya obyekan baru, istilah Made Jarta banting stir. Masih soal menangkap, tapi bukan ikan melainkan penyu. Operasinya beralih ke pantai Blambangan (Jawa Timur), Kangena, Lombok, Sumbawa, Flores, dan ada yang sampai Toli-toli (Sulawesi). Penyu yang ditangkap biasanya kecil-kecil dipelihara dalam sebuah kandang. Setelah besar baru dijual. Atau jika kepepet perlu uang segera, nelayan itu bisa menjual secara lelang kepada Koperasi Astitining Samudra. Barangkali di sinilah fungsi koperasi tersebut, hingga Dinas Perikanan Bali tidak salah memberikan juara I untuk katagori Koperasi Nelayan. Jika musim timur (Mei - Oktober) panen pun tiba. Mengarungi Samudra Indonesia masih minim jika hanya dapat 25 Kg ikan dari jenis kunyitan, tenggiri, susut. Kalau nasib baik tak jarang sampai 50 Kg ikan dijala. Problema pun menyusul, ke mana ikan itu dijual. Koperasi tidak mampu membeli dalam jumlah besar karena keuangan yang tipis. Dijual ke kota Denpasar dengan naik sampan, naik bemo terlalu membuang waktu walaupun masih mendingan ketimbang disadap tengkulak. Maka tugas para ibu-ibu yang menjual ikan itu ke Denpasar. Subuh mereka berangkat, dan sebelum matahari bertengger ibu nelayan ini sudah menjajakan ikannya di Pasar Pagi Pemedilan Denpasar. Pulangnya, tidak membawa uang, tetapi beras, minyak dan sayur. "Anak saya tak pernah minta uang, paling-paling minta oleh-oleh krupuk atau manisan", ujar seorang ibu dalam sampan. Penduduk Tanjung Benoa yang 1763 jiwa itu memang sebagian besar nelayan. Walau demikian setiap 2 minggu sekali membersihkan kampung dengan serentak. Ibu yang tabah di tempat sepi ini menceritakan air minum penduduk sudah mulai dimasak, sebagian besar punya sumur. Sampah dibakar. Kampung nelayan itu bersih. Yang menjadi masalah adalah buang air besar. Kalau niat itu datang, penduduk pergi ke pantai. Setelah buat lobang agak lumayan mereka pun berak. Habis itu ditutup dengan pasir. "Seperti penyu bertelur" kata Widhiasih ketawa. Adakah mereka tolol? "Tidak" kata Widhiasih, sambil menambahkan, "mereka mengerti kesehatan". Masalahnya mereka tidak ada uang untuk membuat WC, maklum kehidupannya yang pas-pasan. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Univ. Udayana yang diterjunkan di desa itu pernah memelopori buat WC cemplung, tetapi masyarakat kurang betah karena baunya tidak scdap. "Ternyata sistim gali lubang tutup lubang seperti penyu bertelur sangat praktis", kata Widhiasih. Kini ada kekuatiran baru di Desa nelayan terbaik seantero Bali ini. Terutama menghinggapi para muda-mudinya yang tergabung dalam rukun muda-mudi. Masalahnya cuma barang sepele saja adanya desas desus Tanjung Benoa akan dilibatkan dalam kancah kepariwisataan. Di Tanjung Benoa akan dikembangkan, dibangun hotel, begitu kata desas desus. Akan dibawa ke mana penduduk desa nelayan yang taraf pendidikannya rendah itu? Itulah kekuatiran mereka. Kekuatiran yang nampaknya sangat tidak beralasan, karena sampai saat ini belum ada niat pemerintah mempariwisatakan Desa Nelayan Tanjung Benoa, walau semua orang mengakui keindahan pantainya yang berpasir putih. Barangkali kekuatiran itu karena mulai adanya turis-turis yang nyelonong ke Tanjung Benoa melihat kandang penyu yang khas. Memang, kandang penyu itu menarik untuk dilihat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus