Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Media Investigasi di Tubir Jurang

Jurnalisme berbasis investigasi mendapat serangan pasukan siber. Amerika Serikat menerapkan subsidi bagi media lokal.

4 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Situs konde.co. TEMPO/Ijar Karim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Media yang berbasis investigasi kerap menjadi sasaran serangan digital tak lama setelah memberitakan hal negatif soal aparatur negara.

  • Ancaman juga datang dari sisi ekonomi dan tuntutan kecepatan di era digital.

  • Perlu intervensi pemerintah seperti subsidi bagi media lokal di Amerika Serikat.

Konde.co, situs media alternatif yang giat melaporkan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, diretas pada Oktober 2022. Insiden ini terjadi menyusul liputan mereka soal kasus kekerasan yang melibatkan pegawai Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah di Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Konde.co mengalami serangan denial of service (DOS) yang menutup akses publik menuju situs web mereka. Ini merupakan serangan DOS kedua terhadap platform berita nonprofit tersebut sejak diluncurkan pada 2016.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka bukan target tunggal. Dua pekan sebelumnya, situs berita politik, Narasi, juga menjadi korban peretasan. Selain mengalami serangan DOS, akun pribadi sejumlah jurnalis Narasi diretas dan diawasi.

Situs berita digital seperti Konde.co, Project Multatuli (platform berita yang menginvestigasi kasus sosial dan politik yang dikelola jurnalis sekaligus aktivis sosial di Jakarta), serta Narasi muncul sebagai alternatif saat media arus utama tak berdaya menyajikan berita yang akurat dan kritis. Mereka mengisi ruang kosong di antara suburnya penyebaran jurnalisme clickbait, menjadi mata air pada masa krisis jurnalisme berkualitas di Indonesia yang tengah menjalani revolusi digital. Para akademikus menyebutnya jurnalisme nonprofit, media tanpa motif keuntungan yang membawa isu kepentingan publik.

Revolusi digital dapat dilihat sebagai berkah ataupun musibah. Keadaan ini menghadirkan transparansi yang lebih tinggi, memastikan kesetaraan pendapat dalam debat publik, memungkinkan hampir semua orang memiliki media atau menjadi wartawan tanpa batasan ekonomi dan geografi, serta memangkas birokrasi dalam pembuatan berita. Di sisi lain, revolusi digital melonggarkan tuntutan akan keahlian jurnalistik level atas serta membuka kendali politik-ekonomi bagi perilaku sosial-politik penggunanya, termasuk wartawan, dengan diawasi oleh dua kekuatan raksasa, yaitu pemerintah dan perusahaan besar dengan kepentingan pribadi.

Hasilnya, ruang digital tak lagi aman. Ruang ini dapat memicu konflik sosial, polarisasi politik, bahkan tindak terorisme. Jurnalis profesional yang bekerja di media yang kritis terpengaruh langsung dan kerap menjadi target pemantauan digital.

Kuasa hukum Narasi TV menunjukan berkas laporan terkait dugaan peretasan di Bareskrim, Mabes Polri, Jakarta, 30 September 2022. TEMPO/ Febri Angga Palguna

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers melaporkan, pada 2021, terdapat sedikitnya 125 jurnalis Indonesia menjadi korban kekerasan digital. Hal ini berkaitan dengan laporan mereka soal pandemi Covid-19 ataupun berita politik secara umum. Di era media konvensional, pelaku dapat diidentifikasi dengan mudah. Biasanya mereka merupakan petugas keamanan atau kelompok radikal. Namun, sekarang, pelaku hampir pasti anonim.

Sebelum 2010, kekerasan terhadap jurnalis terjadi di area publik, bisa berupa penyitaan alat peliputan, ancaman verbal, hingga pembunuhan. Setelah 2010, bentuk kekerasan itu berubah menjadi peretasan akun media sosial.

Dalam satu dekade terakhir, politisasi Internet dan komodifikasi media sosial memicu kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan pejabat negara atau pasukan siber yang disponsori negara. Seorang peneliti dari Australia mendapati pada pemilihan presiden 2014 dan 2019, baik Prabowo Subianto maupun Joko Widodo mengerahkan pasukan siber untuk menciptakan citra positif sekaligus menghalau persepsi negatif di media sosial.

Prabowo dan Jokowi saling serang. Pasukan siber mereka juga menyasar newsroom dan jurnalis yang mengkritik idola mereka. Majalah Tempo, dengan artikel-artikel investigasinya, berulang kali menjadi sasaran. Dari merundung wartawan sampai memanipulasi isi majalah itu, para laskar digital atau buzzer (pengguna media sosial yang dibayar untuk kepentingan politik calon presiden) tak henti-hentinya meluncurkan disinformasi untuk mengubur jurnalisme yang berkualitas—yang merupakan salah satu kebutuhan dasar warga Indonesia. 

Jurnalisme penjaga (watchdog journalism) di ambang kematian karena ekosistem berita digital berlandaskan kecepatan dan popularitas, bukan lagi akurasi. Hal ini berisiko membentuk masyarakat demokratis yang tercerai-berai.

Media menghadapi lebih banyak lagi serangan, terutama soal uang. Cuma segelintir orang yang paham betapa mahalnya biaya untuk menghasilkan berita bermutu. Minimnya pendanaan membuat jurnalisme berkualitas dan kesejahteraan wartawan terancam. Platform seperti Facebook dan Google tidak dapat dikendalikan oleh kantor-kantor berita Indonesia. Bagi jurnalisme nonprofit, yang bersandar pada idealisme dan tenaga sukarela, ada ancaman ketidaksinambungan. Intervensi pemerintah, juga penggalangan dana dan donasi perusahaan, merupakan kunci untuk mempertahankan jurnalisme bermutu demi kepentingan publik.

Untuk melindungi kebebasan pers, kantor berita berkualitas perlu diproteksi dari kenaikan biaya. Tanpa mekanisme ini, serangan digital dan keamanan jurnalis, baik secara fisik maupun ekonomi, seperti yang dialami Konde.co ataupun platform lainnya, akan terus terjadi. Platform-platform tersebut dibutuhkan oleh masyarakat yang terbuka dan berdaya, terutama saat menghadapi pemilihan presiden 2024.

Situs projectmultatuli.org yang berisi laporan dugaan pelecehan seksual. TEMPO/Nita Dian

Pertumbuhan media digital di Indonesia sejak 2010 tidak dibarengi dengan iklim dan kebijakan politik yang sehat. Organisasi media yang mendukung jurnalisme digital dan/atau jurnalisme nonprofit muncul di tengah sistem media otoriter baru yang memusuhi media alternatif.

Tak ada regulasi yang secara khusus melindungi keberadaan ataupun menjamin keberlangsungan media digital dan alternatif dalam menghadapi kekuatan politik. Sejak 1999, Indonesia bersandar pada Undang-Undang Pers yang hanya mengatur keberlangsungan pers secara umum dan cenderung menguntungkan media konvensional pendukung pemerintah, bukan media alternatif. Inisiatif untuk merevisi Undang-Undang Pers tidak didukung oleh media mainstream dan aktivis media, yang khawatir hasil perubahan malah akan memperburuk kondisi kebebasan pers.

Indonesia mengupayakan sejumlah inisitatif untuk menyelamatkan perusahaan media. Di Amerika Serikat, ada skema untuk memigrasikan ratusan media cetak yang berbasis investigasi dari lembaga komersial ke lembaga sosial alias nonprofit. Media lokal berhak mendapat subsidi dari pemerintah daerah, serta bantuan dari lembaga filantropi dan komunitas, melalui langganan sebagai bentuk apresiasi publik. Cara lain adalah memperkuat lembaga penyiaran lokal dan menyatukan mereka dengan media cetak lokal untuk meningkatkan kualitas jurnalisme lokal. Dana tahunan yang dialokasikan pemerintah Amerika untuk lembaga penyiaran publik lokal dapat dibagi dengan surat kabar setempat melalui kerja sama pembuatan berita.

Rencana penerbitan peraturan presiden tentang keberlanjutan media di Indonesia sejak 2021 dapat dilihat sebagai intervensi pemerintah untuk menjamin keberlanjutan jurnalisme yang baik demi kepentingan nasional.

Dengan demikian, perusahaan media dapat terus beroperasi dan memenuhi hak publik untuk mendapat informasi yang tepercaya serta kegiatan jurnalisme yang sehat. Keputusan tersebut bisa menjadi pintu masuk untuk menjaga jurnalisme yang baik, yang di era digital tak hanya dilayani oleh media arus utama, tapi juga media digital alternatif.

---

Artikel ini ditulis oleh Masduki, lektor kepala Departemen Komunikasi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Terbit pertama kali dalam bahasa Inggris di 360info dan diterjemahkan oleh Reza Maulana.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Reza Maulana

Reza Maulana

Bergabung dengan Tempo sejak 2005 setelah lulus dari Hubungan Internasional FISIP UI. Saat ini memimpin desk Urban di Koran Tempo. Salah satu tulisan editorialnya di Koran Tempo meraih PWI Jaya Award 2019. Menikmati PlayStation di waktu senggang.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus