Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Sesudah Pintu Tertutup

Masih banyak kemungkinan lain kecuali melanjutkan sekolah. Bahkan telah banyak yang melihat kursus sebagai jalan pintas mencari pekerjaan. Toh, ada juga yang berkeras melihat sekolah

2 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA harapan memang hanya satu-satunya, ialah meneruskan sekolah, kita semua memang berhak resah dan pesimis. Tapi ternyata tidak. Bahkan ada seorang pemuda lulusan SMA yang kemudian menyadari tak berfungsinya STTB-nya dan perlunya memiliki satu keterampilan khusus. Kemudian dia masuk ke satu kursus dan sekarang hidup sukses: mendapat pekerjaan di sebuah bengkel dengan gaji lumayan, Rp 60 ribu sebulan. Kesadaran bahwa di luar jalan sekolah masih banyak jalan lain, kini memang menggembirakan. Paling tidak itulah yang dicatat J. Canny, 50 tahun, Direktur Lembaga Pendidikan Teknik Prakarya Internasional di Bandung. Menurut direktur lembaga yang bergerak di bidang kursus-kursus keterampilan itu, "melimpahnya remaja lulusan SD sampai SLTA yang tidak tertampung, berpengaruh baik pada perkembangan kursus-kursus keterampilan." Lembaga Prakarya tersebut didirikan sejak 1952. Setiap angkatan lama kursus tiga bulan. Dengan sistim begitu, setahunnya rata-rata lembaganya bisa menampung 500-600 siswa. Ada sepuluh jenis kursus yang dibukanya, antara lain: kursus bengkel mobil, motor diesel, radio dan transistor, kursus las. DI desa Noyotakan, Pekalongan sebuah Kursus Menjahit Nani, didirikan sejak tahun 1970 oleh suami-isteri Ahmad Dahlan. sejak 1974 telah diakui Kantor P & K setempat dan berhak mengeluarkan ijasah lokal karena prestasi-prestasinya. Bahkan seorang lulusannya yang kemudian membuka kursus menjahit di Madiun, dengan 125 siswa, sempat mendapat bantuan Kantor P & K Madiun berupa mesin jahit. Kursus Menjahit Nani mencatat 529 orang yang pernah menjadi siswanya. Sekarang ada 230 siswa yang belajar di situ. Sebagian besar terdiri dari jebolan SLTP dan SLTA, tapi tak kurang juga yang hanya jebolan SD. Bahkan ada yang masih buta aksara. Hebatnya, kursus ini juga mengundang remaja dari kota tetangga Pekalongan -- Brebes sampai Batang -- sehingga mereka yang bukan dari Pekalongan itu terpaksa mencari pondokan. Dari uang kursus -- untuk putera Rp 900 dan puteri Rp 800 sebulan-suami isteri tersebut bisa mengantongi sekitar Rp 100 ribu sebulannya. Lumayan. Dan yang unik, di samping pelajaran jahit-menjahit, juga diberikan pelajaran etika dan Pancasila. Yang memberikan pelajaran ini memang pejabat pemerintah: Penilik Kantor P & K Pekalongan Timur. Di Bandung masih ada juga Yayasan Patriot yang mendirikan Pendidikan Teknik Detroit. Pada mulanya, 1952, kursus Yayasan Patriot ini untuk menampung para veteran. 1974, dengan timbulnya keresahan masyarakat akan meledaknya anak-anak sekolah yang tak tertampung, dibuka juga kursus untuk para remaja. Setiap tiga bulan sekali, kursus ini menerima 120 remaja lulusan SLTP dan SLTA untuk kursus berbagai keterampilan teknik. Sedang yang dari SD disalurkan ke kursus mengemudi mobil. Peminatnya melimpah, "sayang kapasitas terbatas," kata Rahadian Mangku, 50 tahun, pimpinan Yayasan Patriot. Yang diharapkan Rahadian sekarang adalah uluran pemerintah berupa subsidi seperti halnya yang diberikan kepada beberapa sekolah swasta. "Kami ini 'kan juga meringankan beban pemerintah untuk menanggulangi pengangguran," tuturnya. Toh, kini ia cukup bangga ijazah keluaran yayasannya telah diresmikan oleh Kantor Dep Nakertrans Bandung. Di Kisaran, Sum-Ut, FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia) Kisaran, sejak 1977 mendirikan kursus menjahit khusus puteri. Ini memang dikhususkan bagi anak-anak buruh di daerah itu yang putus sekolah. Dengan bantuan dari AAFLI (Lembaga Buruh Bebas Asia-Amerika) kursus ini bisa berjalan lancar. Tanpa kewajiban membayar uang masuk, hanya uang kursus Rp 300 per bulan, sampai bulan Mei ini telah meluluskan 90 siswa. Sebagian besar memang hanya lulusan SD, sisanya remaja putus sekolah SLTP dan SLTA. Mereka semua memang tersalur, bahkan tidak bisa melayani permintaan perusahaan penjahit di Kisaran sendiri. Ny. Harun, pengusaha perusahaan penjahit besar di Kisaran, hanya berhasil mendapatkan seorang lulusan kursus FBSI tersebut, padahal dia butuh tiga orang penjahit. Ada juga semacam kursus "amatir", artinya tak begitu teratur, hasil gagasan S. Tanto yang putus sekolah SMA. Sebenarnya keluarganya masih mampu membiayainya -- keluarga ini pengusaha batik di Solo. Hanya menggantang asap dan begadangan setiap malam, entah dari mana datangnya, timbul hasrat si Tanto ini membatik. Bukan seperti yang dikerjakan tukang-tukang batik di perusahaan ayahnya, tapi membatik semau Kue. Eh, tak tahunya, ada turis Australia yang tertarik. Batik Tanto yang "awut-awutan" kata ayahnya, dibeli si turis. MELIHAT kemungkinan yang lebih besar, Tanto dan teman-temannya membentuk sanggar Candik Ayu. Kegiatannya mengadakan semacam kursus gratis bagi yang mau belajar membatik "bebas" begitu istilahnya. Kursus ini tanpa biaya, hanya peserta diharap membawa peralatan sendiri. Ini cerita lima tahun lalu, 1974. Hasilnya? "Dulu bayangan saya akan menjadi kuli bangunan. Setelah ikut kursus di Candik Ayu bisa bekerja begini," tutur Winarto yang memiliki ijasah SMA. Kini penghasilannya rata-rata Rp 2 ribu sehari. Wardi, juga lulusan Candik Ayu, sudah bekerja di sebuah perusahaan batik. "Sekarang saya berani pacaran," ceritanya. "Dulu, berhenti sekolah, tak punya kerja, rasanya tak uunya harga diri." Dia sekarang berhasil memiliki sebuah sepeda motor. Dan bukan sedikit remaja lulusan Candik Ayu yang kemudian bekerja di perusahaan batik besar seperti Perusahaan Batik Keris dan Semar di Solo. Di Kabupaten Serang, Jawa Barat Kantor P & K rupanya pagi-pagi telah memperhitungkan adanya anak-anak yang tak tertampung sekolah. Di tiap Kecamatan ada kursus keterampilan: mengelas, montir radio, perikanan, peternakan, pertukangan dan masih ada beberapa jenis lagi. Menurut catatan di Kantor Kanwil P & K Serang, sudah 200 siswa yang lulus dan mendapat pekerjaan di berbagai tempat. Tak dijelaskan di mana. Baru-baru ini tercatat 6 ribu pendaftar yang menunggu tes, terdiri dari lulusan SD sampai yang sudah sarjana penuh. Padahal menurut perkiraan Kantor Kanwil P & K Serang, sekitar 4 ribu lulusan SD dan 1500 lulusan SLTP tidak akan tertampung di SLTP dan SLTA yang ada. Barangkali yang perlu ditingkatkan ialah kerja sama antara Kantor Ditjen Bina Guna Serang dengan perusahaan-perusahaan yang ada di kawasan tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus