AGAK aneh memang kalau Pangkopkamtib ikut berbicara tentang
masalah pendidikan. Pertengahan Mei lalu, di gedung Jakarta
Theatre, Laksamana Sudomo mengatakan tiga aspek penyebab
keresahan para orangtua mencarikan sekolah anaknya takut anaknya
tak mendapat sekolah, hanya mendaftar ke sekolah tertentu
(favorit) dan soal suap-menyuap. Tidak mengherankan. Seperti
kata seorang pejabat teras Kanwil Dep. P&K Padang, "ledakan anak
sekolah tiap tahun terus meningkat. "
Dalam buku 'Statistik Persekolahan' yang dikeluarkan oeh BP3K
(Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan)
bisa dilihat usaha pemerintah mengatasi ledakan itu. Prosentase
yang tertampung di SLTP dan SLTA terus meningkat. Tahun lalu,
misalnya, lulusan SD yang tertampung SLTP ada 70% lebih. Ini
naik sekitar 5% dari tahun sebelumnya. Dan tahun ini
diperkirakan bisa menampung 72% lebih. Tapi seperti yang
dikatakan Dr. Setijadi, Kepala BP3K, "prosentase itu rata-rata
nasional."
Maksudnya, tidak setiap daerah daa tampung itu kurang. Ada juga
yang lebih. Di Talawi dan Talu, dua kecamatan di kawasan
Sumatera Barat, misalnya, dulunya ada satu SMP dan satu SLTP
kejuruan, untuk 150 - 200 anak yang harus ditampung. Jadi, ya,
mubazir. Untung yang berwenang di sana bijaksana. Tahun lalu
SLTP kejuruan yang dilebur jadi SMP dipindah ke daerah lain.
Hanya saja di kota-kota besar pada umumnya daya tampung SLTP dan
SLTA memang kurang. Mungkin karena kesadaran pentingnya sekolah
di kotakota besar tinggi. Yang jelas, urbanisasi dari daerah
sekitar kota besar ikut andil mengecilkan daya tampung
sekolah-sekolah di kota. "Lha, kota itu ibarat gadis cantik,"
kata seorang Bali asal Kecamatan Mengwi yang hijrah ke Denpasar.
"Selalu menjadi incaran," sambungnya.
Kecuali soal urbanisasi, di kota ada lagi masalah sekolah
favorit. Sebagian besar anak -- dan juga orangtuanya-pinginnya
hanya sekolah tertentu saja. Misalnya SMAN I di Solo yang selalu
kebanjiran lulusan SMP. Toh mereka cukup punya alasan kuat. Kata
seorang ibu, Ny. Mulyani Harsono, yang meskipun rumahnya jauh
dari SMAN I tapi anaknya disekolahkan juga ke sekolah tersebut:
"Habis, sekolah itu yang paling duluan ada di kota ini. Jadi
mutunya terjamin. Lulusannya juga banyak yang jadi." Dan sambung
anaknya pula: "Begini, SMA I itu namanya sudah dicatat oleh UI,
ITB dan Gama. Kalau tidak percaya silakan cek. Yang di UI, II B
atau Gama yang darl Solo tentu anak SMA 1." Mungkin benar,
mungkin tidak. Yang terang, dalam pemilihan sekolah ternyata
diperhitungkan juga k-laknya kalau hendak meneruskan ke tingkat
yang lebih tinggi.
Perhitunan kelanjutan pendidikan itulah rupanya salah satu
sebab kuat munculnya sekolah-sekolah favorit yang negeri maupun
swasta. Seorang pegawai tinggi Sekretariat Negara di bilangan
Kebayoran Baru Jakarta, tahun lalu memindahkan anaknya yang naik
kelas tiga dari SMPN ke sebuah SMP swasta tapi favorit.
Alasannya "Biar nanti kalau mau masuk SMA gampang."
Usaha Kanwil-Kanwil untuk mengatasi hal tersebut tidaklah
kurang. Di Jakarta sejak 1975 diadakan sistim rayonisasi.
Setelah empat tahun berjalan ada juga membawa kebaikan. Seorang
bapak yang tahun ini seorang anaknya lulus SMP tenang-tenang
saja. "Sekolah sudah diurus dari SMP-nya." katanya. "Saya nggak
khawatir apa-apa. Anak saya narnpaknya juga tenang-tenang saja,
kok."
Sementara Amir Ali, Kakanwil P&K Sumatera Barat, selalu berusaha
memutasikan guru-guru SLTP dan SLTA di wilavahnya agar perbedaan
pamor sekolahsekolah tidak terlalu menyolok. Ini memang yang
juga disarankan BP3K dalam usaha memeratakan mutu sekolah.
Sementara itu untuk mengatasi ledakan lulusan SD dan SLTP
rupanya para Kakanwil pusing juga. "Sulit," kata Suratno, Kepala
Penerangan Kanwil P&K Jawa Timur. Untuk Surabaya tahun ini hanya
bisa ditambah satu SMP dan satu SMA. Juga ada rencana meambah
sekolah siang. Masalahnya kemudian, bukan soal mencari guru,
tapi dari mana didapat uang untuk membayar gurunya.
Maka harapan dilimpahkan kepada sekolah-sekolah swasta.
Brotomulyo, Kakanwil P&K Kalimantan Selatan menghimbau
masyarakat untuk membuka sekolah swasta. Caranya? Dipersilakan
menggunakan sekolah-sekolah yang ada pada siang hari, asal "uang
masuk dan uang sekolah jangan terlalu memberatkan orangtua."
Pemerintah pun juga sudah memikirkan ini: agar sekolah swasta
bisa menampung ledakan anak sekolah tanpa harus terlalu berat
membebani orangtua murid. Antara lain dengan mengangkat beberapa
guru sekolah swasta menjadi pegawai negeri. Dcngan begitu beban
sekolah swasta menggaji guru agak ringan, dan pada gilirannya
beban orangtua murid pun diringankan juga. Dan sekaligus
menambah pamor sekolah swasta agar masyarakat tak ragu
mengirimkan anaknya yang tak tertampung di sekolah negeri ke
sekolah swasta. "Cara ini meringankan pemerintah," kata
Setijadi. "Ibarat kalau harus menambah sekolah negeri biayanya
satu, dengan membantu sekolah swasta dengan cara begitu biayanya
hanya setengahnya. "
"Dalam Pelita III ini pemerintah memang merubah pandangan
terhadap sekolah swasta," kata seorang staf ahli Dep. P&K. "Dulu
pemerintah hanya berusaha membimbing, sekarang sekolah swasta
dipandang sebagai partnerjuga yang sekali-sekali pantas
dibantu."
Di Yogyakarta kebijaksanaan Kanwilnya lain lagi. Menurut Sajar
Soeprapto, Kepala Penerangan Kanwil P&K Yogyakarta, "asal tidak
semua minta masuk SLTP dan SLTA negeri, semua akan tertampung."
Selain itu diputuskan pula untuk menambah kapasitas lokal
belajar. Kalau selama ini satu kelas hanya diperkenankan
menampung 40 murid, tahun ini diperbolehkan sampai 50 murid.
Bahkan Pondok Pesantren Tebu Ireng di daerah Jombang, Jawa
Timur, mendirikan sekolah umum sejak lima tahun yang lalu:
sebuah SMP dan SMA. Bermula dari satu kelas, sekolah tersebut
kini mempunyai empat kelas I. Menurut Muhsin, Sekretaris Pusat
Data pesantren tersebut, dibuka sekolah umum tersebut karena
mereka melihat kenyataan betapa besar anak-anak lulusan SD dan
SLTP yang tak tertampung di SLTP dan SLTA yang ada.
Ini juga karena para orangtua yang memasukkan anak-anaknya ke
Madrasah Ibtidaiyah Tebu Ireng, kemudian menginginkan anaknya
masuk sekolah umum. Alasannya, seperti yang diceritakan oleh
Muhsin "Supaya anak-anak mempunyai dasar agama yang kuat
terlebih dahulu, baru kemudian masuk skolah umum ."
Yang agak disesalkan oleh Muhsin ialah bantuan pemerintah yang
kurang pas. Sekolah umum pesantren tersebut membutuhkan
guru-guru ilmu pengetahuan alam dan sosial. Tapi "justru
satu-satunya bantuan guru dari pemerintah adalah guru agama."
Apa pemerintah tidak tahu kalau pesantren itu gudangnya guru
agama?
Yang perlu dikemukakan lagi, ialah rencana pemerintah untuk
mengadakan ujian negara kembali mulai 1981 nanti. "Untuk
mengetahui mana sekolah yang perlu ditingkatkan mutunya," kata
Setijadi. Hal ini termasuk dalam usaha pemerataan mutu sekolah.
Mengapa pemerintah tak mendirikan saja sekolah-sekolah sebanyak
mungkin? Baik dari Dep. P&K, dari BP3K maupun beberapa Kanwil
P&K, didapat jawaban sama "Kecuali biaya besar dan sulit mencari
guru, mencari tanahnya sudah sulit."
Tapi cara-cara mengatasi ledakan anak-anak sekolah' yang telah
disebulkan itu semua, rupanya bertolak dari sekolah-sekolah yang
ada di kota. Bagaimana mengatasi ledakan lulusan SD di
desa-desa?
Mulai tahun pelajaran baru tahun ini di lima daerah akan dibuka
SMPT (SMP Terbuka) sebagai proyek perintisnya (lihat box).
Sistim sekolah inilah nanti yang diharap menyerap ledakan
lulusan SD nanti, yang diperkirakan akan besar sekali, sebab
SD-SD Inpres tahun 1980 mendatang sudah akan mulai meluluskan
murid-muridnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini