Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Ada Yang Kosong Tapi Tetap Berlebih Kalau Mereka Gagal Masuk sekolah

Keterbatasan daya tampung lulusan sekolah di Indonesia antara lain karena faktor urbanisasi & favoritisme kursus ketrampilan yang bermutu menjadi laris & pemerintah pun membuka SMP Terbuka. (pdk)

2 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AGAK aneh memang kalau Pangkopkamtib ikut berbicara tentang masalah pendidikan. Pertengahan Mei lalu, di gedung Jakarta Theatre, Laksamana Sudomo mengatakan tiga aspek penyebab keresahan para orangtua mencarikan sekolah anaknya takut anaknya tak mendapat sekolah, hanya mendaftar ke sekolah tertentu (favorit) dan soal suap-menyuap. Tidak mengherankan. Seperti kata seorang pejabat teras Kanwil Dep. P&K Padang, "ledakan anak sekolah tiap tahun terus meningkat. " Dalam buku 'Statistik Persekolahan' yang dikeluarkan oeh BP3K (Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan) bisa dilihat usaha pemerintah mengatasi ledakan itu. Prosentase yang tertampung di SLTP dan SLTA terus meningkat. Tahun lalu, misalnya, lulusan SD yang tertampung SLTP ada 70% lebih. Ini naik sekitar 5% dari tahun sebelumnya. Dan tahun ini diperkirakan bisa menampung 72% lebih. Tapi seperti yang dikatakan Dr. Setijadi, Kepala BP3K, "prosentase itu rata-rata nasional." Maksudnya, tidak setiap daerah daa tampung itu kurang. Ada juga yang lebih. Di Talawi dan Talu, dua kecamatan di kawasan Sumatera Barat, misalnya, dulunya ada satu SMP dan satu SLTP kejuruan, untuk 150 - 200 anak yang harus ditampung. Jadi, ya, mubazir. Untung yang berwenang di sana bijaksana. Tahun lalu SLTP kejuruan yang dilebur jadi SMP dipindah ke daerah lain. Hanya saja di kota-kota besar pada umumnya daya tampung SLTP dan SLTA memang kurang. Mungkin karena kesadaran pentingnya sekolah di kotakota besar tinggi. Yang jelas, urbanisasi dari daerah sekitar kota besar ikut andil mengecilkan daya tampung sekolah-sekolah di kota. "Lha, kota itu ibarat gadis cantik," kata seorang Bali asal Kecamatan Mengwi yang hijrah ke Denpasar. "Selalu menjadi incaran," sambungnya. Kecuali soal urbanisasi, di kota ada lagi masalah sekolah favorit. Sebagian besar anak -- dan juga orangtuanya-pinginnya hanya sekolah tertentu saja. Misalnya SMAN I di Solo yang selalu kebanjiran lulusan SMP. Toh mereka cukup punya alasan kuat. Kata seorang ibu, Ny. Mulyani Harsono, yang meskipun rumahnya jauh dari SMAN I tapi anaknya disekolahkan juga ke sekolah tersebut: "Habis, sekolah itu yang paling duluan ada di kota ini. Jadi mutunya terjamin. Lulusannya juga banyak yang jadi." Dan sambung anaknya pula: "Begini, SMA I itu namanya sudah dicatat oleh UI, ITB dan Gama. Kalau tidak percaya silakan cek. Yang di UI, II B atau Gama yang darl Solo tentu anak SMA 1." Mungkin benar, mungkin tidak. Yang terang, dalam pemilihan sekolah ternyata diperhitungkan juga k-laknya kalau hendak meneruskan ke tingkat yang lebih tinggi. Perhitunan kelanjutan pendidikan itulah rupanya salah satu sebab kuat munculnya sekolah-sekolah favorit yang negeri maupun swasta. Seorang pegawai tinggi Sekretariat Negara di bilangan Kebayoran Baru Jakarta, tahun lalu memindahkan anaknya yang naik kelas tiga dari SMPN ke sebuah SMP swasta tapi favorit. Alasannya "Biar nanti kalau mau masuk SMA gampang." Usaha Kanwil-Kanwil untuk mengatasi hal tersebut tidaklah kurang. Di Jakarta sejak 1975 diadakan sistim rayonisasi. Setelah empat tahun berjalan ada juga membawa kebaikan. Seorang bapak yang tahun ini seorang anaknya lulus SMP tenang-tenang saja. "Sekolah sudah diurus dari SMP-nya." katanya. "Saya nggak khawatir apa-apa. Anak saya narnpaknya juga tenang-tenang saja, kok." Sementara Amir Ali, Kakanwil P&K Sumatera Barat, selalu berusaha memutasikan guru-guru SLTP dan SLTA di wilavahnya agar perbedaan pamor sekolahsekolah tidak terlalu menyolok. Ini memang yang juga disarankan BP3K dalam usaha memeratakan mutu sekolah. Sementara itu untuk mengatasi ledakan lulusan SD dan SLTP rupanya para Kakanwil pusing juga. "Sulit," kata Suratno, Kepala Penerangan Kanwil P&K Jawa Timur. Untuk Surabaya tahun ini hanya bisa ditambah satu SMP dan satu SMA. Juga ada rencana meambah sekolah siang. Masalahnya kemudian, bukan soal mencari guru, tapi dari mana didapat uang untuk membayar gurunya. Maka harapan dilimpahkan kepada sekolah-sekolah swasta. Brotomulyo, Kakanwil P&K Kalimantan Selatan menghimbau masyarakat untuk membuka sekolah swasta. Caranya? Dipersilakan menggunakan sekolah-sekolah yang ada pada siang hari, asal "uang masuk dan uang sekolah jangan terlalu memberatkan orangtua." Pemerintah pun juga sudah memikirkan ini: agar sekolah swasta bisa menampung ledakan anak sekolah tanpa harus terlalu berat membebani orangtua murid. Antara lain dengan mengangkat beberapa guru sekolah swasta menjadi pegawai negeri. Dcngan begitu beban sekolah swasta menggaji guru agak ringan, dan pada gilirannya beban orangtua murid pun diringankan juga. Dan sekaligus menambah pamor sekolah swasta agar masyarakat tak ragu mengirimkan anaknya yang tak tertampung di sekolah negeri ke sekolah swasta. "Cara ini meringankan pemerintah," kata Setijadi. "Ibarat kalau harus menambah sekolah negeri biayanya satu, dengan membantu sekolah swasta dengan cara begitu biayanya hanya setengahnya. " "Dalam Pelita III ini pemerintah memang merubah pandangan terhadap sekolah swasta," kata seorang staf ahli Dep. P&K. "Dulu pemerintah hanya berusaha membimbing, sekarang sekolah swasta dipandang sebagai partnerjuga yang sekali-sekali pantas dibantu." Di Yogyakarta kebijaksanaan Kanwilnya lain lagi. Menurut Sajar Soeprapto, Kepala Penerangan Kanwil P&K Yogyakarta, "asal tidak semua minta masuk SLTP dan SLTA negeri, semua akan tertampung." Selain itu diputuskan pula untuk menambah kapasitas lokal belajar. Kalau selama ini satu kelas hanya diperkenankan menampung 40 murid, tahun ini diperbolehkan sampai 50 murid. Bahkan Pondok Pesantren Tebu Ireng di daerah Jombang, Jawa Timur, mendirikan sekolah umum sejak lima tahun yang lalu: sebuah SMP dan SMA. Bermula dari satu kelas, sekolah tersebut kini mempunyai empat kelas I. Menurut Muhsin, Sekretaris Pusat Data pesantren tersebut, dibuka sekolah umum tersebut karena mereka melihat kenyataan betapa besar anak-anak lulusan SD dan SLTP yang tak tertampung di SLTP dan SLTA yang ada. Ini juga karena para orangtua yang memasukkan anak-anaknya ke Madrasah Ibtidaiyah Tebu Ireng, kemudian menginginkan anaknya masuk sekolah umum. Alasannya, seperti yang diceritakan oleh Muhsin "Supaya anak-anak mempunyai dasar agama yang kuat terlebih dahulu, baru kemudian masuk skolah umum ." Yang agak disesalkan oleh Muhsin ialah bantuan pemerintah yang kurang pas. Sekolah umum pesantren tersebut membutuhkan guru-guru ilmu pengetahuan alam dan sosial. Tapi "justru satu-satunya bantuan guru dari pemerintah adalah guru agama." Apa pemerintah tidak tahu kalau pesantren itu gudangnya guru agama? Yang perlu dikemukakan lagi, ialah rencana pemerintah untuk mengadakan ujian negara kembali mulai 1981 nanti. "Untuk mengetahui mana sekolah yang perlu ditingkatkan mutunya," kata Setijadi. Hal ini termasuk dalam usaha pemerataan mutu sekolah. Mengapa pemerintah tak mendirikan saja sekolah-sekolah sebanyak mungkin? Baik dari Dep. P&K, dari BP3K maupun beberapa Kanwil P&K, didapat jawaban sama "Kecuali biaya besar dan sulit mencari guru, mencari tanahnya sudah sulit." Tapi cara-cara mengatasi ledakan anak-anak sekolah' yang telah disebulkan itu semua, rupanya bertolak dari sekolah-sekolah yang ada di kota. Bagaimana mengatasi ledakan lulusan SD di desa-desa? Mulai tahun pelajaran baru tahun ini di lima daerah akan dibuka SMPT (SMP Terbuka) sebagai proyek perintisnya (lihat box). Sistim sekolah inilah nanti yang diharap menyerap ledakan lulusan SD nanti, yang diperkirakan akan besar sekali, sebab SD-SD Inpres tahun 1980 mendatang sudah akan mulai meluluskan murid-muridnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus