Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Setelah Banjir Di Pidie

Gubernur Aceh bermaksud memindahkan 159 kepala keluarga korban banjir dari kabupaten Pidie. Daerah bengga, kecamatan langse tak aman ditinggali. Terjadi kericuhan penyaluran sumbangan untuk korban.

4 Juni 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUSIBAH banjir di Kabupaten Pidie (TEMPO, 8 Januari 1977) mulai dilupakan orang. Beberapa koran Medan yang sempat menerima sumbangan-sumbangan telah menutup dompetnya. Gubernur Muzzakir Walad sendiri bagai tak habis-habisnya memuji partisipasi kalangan pers ini. Bahkan sepulang gubernur ini dari melaporkan perkara air bah itu di Jakarta, buru-buru ia mengumpulkan para wartawan. Ia bertanya: bagaimana jalan keluar terbaik untuk menolong 159 kepala keluarga (kk), yaitu jumlah di antara sekian banyak korban yang setelah diteliti kehilangan samasekali harta milik mereka. Usul ini-itu tentu banyak terdengar dari kalangan kuli tinta. Tapi rupanya cerita tak perlu terlampau panjang. Sebab masalah pokoknya sekarang begini. Menurut penelitian sebuah tim geologi dari Bandung, daerah Bengga di lecamatan Tangse, di mana banjir paling banyak membuat derita, sudah tak aman lagi untuk ditinggali manusia. Beberapa lokasi pemindahan sudah disiapkan, seperti Penca, Paru dan Simeuluk. Tapi celakanya, penduduk yang menurut Gubernur Muzzakir semula sudah sangat bersemangat untuk pindah, tak mau beranjak dari kampung kelahiran yang sudah binasa karena banjir itu. Terdengar Imajiner Menteri PUTL Sutami sendiri ketika mengunjungi kawasan itu tak lama setelah malapetaka tadi, setuju agar para korban buru-buru dipindahkan ke tempat baru. Malahan Sutami menjanjikan sarana jalan dan pengairan akan cepat dibuat. Lebih dari itu bahkan Menteri ini juga memerintahkan stafnya agar jalan ke Bengga menuju Tangse buru-buru dirampungkan. Dan tentu saja semua ini disambut hangat oleh Gubernur Muzzakir, yang langsung saja menguraikan angka-angka kerugian. "Sekitar Rp 900 juta kerugian masyarakat langsung", ucap Muzzakir, "ditambah lagi sekitar Rp 2,4 milyar kerugian prasarana". Angka-angka itu kedengarannya imajiner, tambah sang gubernur. "Tapi itu kenyataan dan telah saya laporkan kepada Presiden", sambungnya pula. Tapi disebutnya pula angka-angka sumbangan yang terus mengalir. "Hingga sekarang jumlahnyal sudah Rp 60 juta yang lewat Pemerintah Daerah saja", tambah Kepala Direktorat Kesejahteraan Pemerintah Daerah Aceh Artinya belum terhitung bantuan yang langsung ke tangan penduduk dan Team Penanggulangan Bencana Kabupaten. Menurut Gubernur Muzzakir, ada pula sumbangan Presiden Soeharto untuk membangun perumahan sebanyak Rp 200.000 per-unit. Cerita Lain Tapi suara tak sedap bukannya tak terdengar terhadap kelancaran penyaluran sumbangan. Di Bengga ada terdengar keluhan bantuan yang mereka terima lebih sedikit dibanding tempat lain. "Tidak benar terjadi pembagian yang tak rata", bantah Gubernur Aceh. Yang mungkin terjadi, tambah Muzzakir, ada di antara korban yang menerima sumbangan langsung atas nama keluarga, kenalan atau rekan sekerja. Yaitu bantuan-bantuan spontan yang tak mungkin dikordinir oleh pihak Pemerintah Daerah ataupun Dinas Sosial. Namun ada cerita lain lagi. Salah satunya menyangkut 10 bal pakaian jadi sumbangan Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta. Tak tahu bagaimana, ketika suatu ketika terjadi kebakaran di rumah M. Nur Husein, pejabat Dinas Sosial Kabupaten Pidie, tahu-tahu 10 bal pakaian itu termasuk di antara barang-barang yang dikeluarkan masyarakat untuk diselamatkan dari telanan api. Entah bagaimana pula, salah satu bungkusan terbuka. Maka terlihatlah lembaran pakaian yang bermerek The Embassy of USA Jakarta. Tak salah lagi, mata penduduk membaca tulisan: bantuan untuk korban banjir Bengga. Bupati Pidie, Sayed Zakaria, mengakui hal itu sebagai keteledoran. Tapi katanya ia sudah berkali-kali menyuruh Nur Husein agar sumbangan itu disimpan di pendopo kabupaten. Namun pejabat Dinas Sosial itu punya alasan lain sehingga sang bupati mengalah. Apa alasan itu, tak disebutkan. Cerita lain ada pula. Terbetik kabar bahwa di kantor gubernur masih menumpuk beberapa bal kain sarung dan berjenis-jenis pakaian jadi sumbangan pengusaha-pengusaha Medan. Ketika hal ini ditanyakan, seorang pejabat di kantor gubernur mengingatkan akan perintah Gubernur Aceh bahwa bantuan kain maupun pakaian-pakaian lain dihentikan dulu. Alasannya, karena sumbangan yang mesti diterima oleh para korban banjir itu dipandang sudah cukup. Sebaliknya, kata pejabat itu, Muzzakir sendiri sedang berusaha mencari bantuan para pengusaha agar usaha memindahkan para korban ke tempat pemukiman baru cepat tercapai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus