PROKLAMASI kemerdekaan Timor Timur oleh Fretilin ternyata hanya
10 hari umurnya. Hari Minggu 7 Desember, matahari tegak
terpancang di atas alun-alun kota Dili ketika pasukan rakyat
Timor yang anti-Fretilin menyerbu masuk ke bekas ibukota koloni
Portugis. Mereka dibantu oleh sukarelawan-sukarelawan Indonesia,
yang menurut keterangan pemerintah Indonesia sudah "sulit
ditahan untuk melindungi para penungsi kembali ke kampung
halamannya, serta membantu saudara-saudaranya membebaskan diri
dari penindasan dan teror Fretilin". Sedang menurut Menlu Adam
Malik, kehadiran pasukan Indonesia di sana adalah atas
permintaan UDT/Apodeti "untuk mencegah pertumpahan darah lebih
lanjut".
Jatuhnya Dili agaknya bukan surprise lagi. Makanya sebelum hari
Minggu 7 Desember itu, 3 pemimpin Fretilin sudah lari ke Lisabon
via Sydney, untuk selanjutnya mengadukan perkara mereka ke PBB.
Ketiganya itu adalah komandan militer Fretilin Rogerio Lobato,
kepala biro luar-negeri Ramos Horta dan kepala biro politik
Mar'i Alkatiri. Belum diketahui bagaimana nasib "Presiden"
Republik Demokrasi Rakyat Timor Xavier do Amaral serta PM-nya,
Nicolao dos Reos Lobato, saudara kandung Rogerio. Juga nasib
sandera-sandera Fretilin seperti Sekjen Apodeti Osorio Soares
dan wakil ketua UDT Monsinho, yang pernah diancam mau dibunuh
oleh Fretilin kalau Indonesia menyerbu Dili.
Suara Kissinger
Berita pembebasan ibukota Timor Timur dari tangan Fretilin itu,
memang sudah dinanti-nanti di Jakarta. Hari Jumat sebelumnya,
Menlu Adam Malik masih mengundang 8 Dubes negara sahabat untuk
menjelaskan "gawatnya" situasi di Timor itu bagi Indonesia. Jadi
diharapkan supaya mereka "tidak kaget" apabila Indonesia
melangkah setapak lebih maju dalam krisis itu. Dubes-Dubes yang
diundang antara lain dari AS, Soviet, Australia dan Selandia
Baru di samping negara-negara ASEAN. Pada saat yang sama, Menlu
AS Henry Kissinger di Istana Negara menjelang pergi, menyatakan
belum pernah menerima kawat Fretilin yang meminta jasa-jasa baik
AS agar Indonesia tidak campur tangan di Timor Timur.
Kawat serupa telah dilayangkan pula ke Peking. Tapi sebaliknya
dari pada memenuhi - permintaan Fretilin, "AS tidak mengakui
pernyataan kemerdekaan secara sefihak oleh Fretilin", ujar
Kissinger pada para wartawan yang mengerumuninya. Soal Timor,
adalah soal domestik Indonesia, begitu si juru pendamai
memberikan penegasan politik negaranya. Sedang pernyataan
politik terakhir dari fihak Indonesia menjelang pendudukan Dili,
datang dari Senayan. Menguatkan pernyataan pendapat Oka Mahendra
SH dan 103 kawan-kawannya, sidang pleno DPR-RI hari Sabtu 6
Desember kemarin mendesak pemerintah RI agar segera mengambil
langkah untuk memulihkan keamanan dan ketertiban di Timor Timur.
Itu merupakan "syarat mutlak" bagi penyelengaraan
langkah-langkah positif, untuk mengetahui kehendak rakyat Timor
Timur dalam penentuan nasibnya sen diri secara bebas, tertib,
aman dan damai.
Seperti dalam kejadian"proklamasi" Fretilin (TEMPO, 6
Desember), maka negara pertama yang menangapi perkembangan baru
di Dili itu adalah Portugal. Kali ini dengan mengunci pintu
Kedubes Portugal di lantai 23 Wisma Nusantara. Portugal yang
baru saja mempererat tali diplomatiknya dengan mengangkat status
kantor konsulatnya menjadi Kedutaan, hari Senin yang lalu
memutuskan sama sekali hubungan diplomatiknya dengan Indonesia.
Itu berarti Dubes Indonesia di Lisabon, Ben Mang Reng Say juga
segera harus angkat kaki dari ibukota Portugal yang belakangan
ini selalu panas. Menyusul pula kecaman Radio Peking - corong
resmi pemerintah RRT -- ke alamat pemerintah RI, sebagaimana
dikemukakan siaran radio VOA Senin lalu.
Mau Gerilya
"Kita sangat menyayangkan tindakan Portugal itu", kata Menlu
Adam Malik di Pejambon. "Mungkin mereka mendapatkan informasi,
dan menyangka kita yang masuk". Lantas soal bantuan sukarelawan
Indonesia itu? "Di sana kan juga ada bantuan", katanya menuding
ke alamat Fretilin dan pendukung-pendukungnya dari Australia.
Tambahnya pula: "kita sudah menyampaikan pada PBB, bahwa
Indonesia tidak akan melakukan invasi. Kita tidak ingin
mencampuri urusan sana, tapi rakyat di sana itu yang mau
integrasi dan minta bantuan kita". Alasan peniriman bantuan:
dengan adanya dua proklamasi (Fretilin dan yang anti-Fretilin)
sudah tidak ada lagi itu program dekolonisasi dan Memorandum
Roma. Menteri Malik juga tidak dapat menerima pernyataan sikap
RRT. Katanya: "sebagaimana kita dulu tidak mengutuk RRT waktu
mereka mengambil pulau Paracel, kita minta pengertian bahwa di
Timor itu ada rakyatnya yang ingin bergabung dengan Indonesia.
Dunia boleh protes, tapi kalau rakyat sana mau menerima, tidak
ada hak dunia untuk memprotes". Dan untuk memperoleh legalisasi
dari keinginan rakyat di sana, Indonesia segera akan mengadakan
penentuan pendapat rakyat di sana.
Lantas baaimana dengan Fretilin dan pendukung-pendukungnya yang
katanya mau gerilya? Seperti yang dikabarkan oleh Radio
Australia, Senin lalu ketiga pemimpin Fretilin yang sudah
berangkat ke Lisabon membatalkan rencananya untuk terus ke
markas PBB di Lake Success, New York. Kata Ramos Horta pada
wartawan di Lisabon: "kami akan langsung puang ke Timor
memimpin perang gerilya". Namun Menlu Adam Malik cukup optimis
bahwa pasukan anti-Fretilin mampu mengatasi babakan baru dalam
perang merebut Timor Timur itu. Katanya: "kita ini lahir dari
perang gerilya. Perang gerilya itu, seperti ikan dan air.
Gerilyawan itu ikannya, rakyat airnya. Bagaimana mereka mau
bergerilya, kalau rakyatnya sudah mau bergabung dengan
Indonesia?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini