TIDAK ada gading yang tak retak, tak ada sidang yang tak 100% kompak. Juga, ternyata, sidang Golkar. Sidang pleno pertama, di Balai Sidang Senayan, Jakarta, Jumat pagi pekan lalu, misalnya. Rapat belum berlangsung lama. Saat itu pimpinan sementara Munas IV Golkar, Sudharmono, memberi kesempatan para peserta untuk menanggapi rancangan peraturan tata tertib. Peraturan itu berlaku untuk Munas yang berlangsung lima hari, dan dibuka oleh Presiden Soeharto, Kamis malam pekan lalu. Dalam kesempatan itu, Djoko Suwindi, utusan DPD Golkar Jakarta, mengusulkan agar pasal 37 ayat 2 dari rancangan tata tertib yang disiapkan panitia diperbaiki. Pasal itu menyebutkan bahwa formatir diberi mandat penuh untuk menyusun komposisi dan personalia DPP dan dalam melaksanakan tugasnya berkonsultasi dengan Ketua Dewan Pembina. Kata "penuh" di pasal itu, menurut Djoko, sebaiknya dihapus. Ini bisa diartikan bahwa peserta di floor masih berhak mempersoalkan kepengurusan DPP yang disusun formatir. Tampaknya, beberapa peserta lain mendukung Djoko. Sudharmono pun meminta A.E. Manihuruk, ketua panitia pengarah Munas, untuk menjelaskan arti yang terkandung dalam pasal itu. Selesai, pimpinan sidang diambil alih lagi oleh Sudharmono. Setelah memberi komentar bahwa persoalan itu ternyata tidak prinsipiil, ia menanya hadirin, "Intinya, Saudara percaya penuh kepada formatir yang Saudara tunjuk atau tidak?" Terdengar suara serempak, "Percaya." Dengan cepat Sudharmono mengetukkan palu ke meja. Mungkin ia tak melihat bahwa, bersamaan dengan ramainya teriakan "percaya", Basofi Soedirman, Ketua DPD Golkar Jakarta, mengangkat tangannya. Tapi palu telah berdentam, soal telah dianggap beres. Mengapa Basofi tunjuk tangan? Pimpinan Golkar dari Jakarta yang juga Wagub DKI Jakarta itu mengatakan, ia ingin dapat penjelasan apakah jawaban "setuju" itu datang dari peserta atau peninjau. Sebab, berbeda dengan peserta, peninjau tak punya hak suara. "Kelihatannya yang menjawab itu 'kan hanya peninjau," katanya. Ia juga ingin tanya apakah persetujuan itu dimaksudkan untuk seluruh materi yang dipersoalkan atau sekadar menjawab pertanyaan pimpinan sidang yang terakhir yang menyebutkan, "percaya atau tidak pada formatir". "Tapi ya sudahlah," ujar Basofi. Basofi mungkin tak mau lebih jauh bicara. Tapi Letjen. Harsudiono Hartas, salah seorang peserta sidang, berpendapat lebih tegas. Pimpinan sidang berwewenang mengetuk palu, dan kata pun putus, tapi, menurut Hartas, keputusan itu mestinya merupakan hasil musyawarah seluruh anggota sidang. Untuk itu, katanya pula, peserta harus diberi kesempatn berbicara. Padahal, menurut Hartas pula, yang juga Kepala Staf Sospol ABRI, teriakan "setuju" tadi tidak mewakili seluruh peserta. "Itu kan pressure group," katanya. Akhirnya, seperti kata pepatah lagi, kepala sama berbulu, pendapat berlainan. Tapi dengan itulah suasana Munas Golkar kali ini agak lain dari yang sudah-sudah. Arena ini tak lagi diwarnai cuma oleh paduan suara "setuju" dan ketukan palu. Hasil demokratisasi, barangkali, atau yang lain. Memang baru kali inilah Musda didahulukan dari Munas. Dengan pembalikan proses itu, diharapkan suara dari bawah akan tertampung di dalam Munas, sebagai lembaga tertinggi organisasi. Tentu ada risikonya. Bisa dilihat apa yang terjadi di komisi A yang membahas Anggaran Dasar dan Rumah Tangga. Sidang komisi itu berlangsung di Wisma Karya, Senayan. Di sana para peserta berebutan untuk bicara sekalipun usulnya cuma minta perubahan titik-koma yang ada dalam rancangan. Seorang pengurus DPP sempat kesal, "Ya, begini ini. Maunya demokratis dan tidak dicampuri DPP, jadinya malah kacau." Tapi ada juga peserta yang menggugat hal-hal penting. Misalnya perkara syarat pimpinan Golkar. Dikatakan bahwa untuk itu seorang harus cukup lama jadi anggota Golkar. Berapa lama? Setidaknya lima daerah tingkat I (Sul-Sel, Kal-Tim, Kal-Bar, Yogyakarta, dan Riau) menganggap jangka waktu yang tercantum di dalam rancangan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga terlalu lama. Rancangan itu memang memuat ketentuan baru bahwa seseorang baru bisa dipilih menjadi pimpinan Golkar tingkat II, komisaris, dan pembantu komisaris, bila telah berjuang terus-menerus di Golkar sekurang-kurangnya lima tahun. Sedang untuk dipilih menjadi pimpinan daerah tingkat I dan DPP Golkar, masa keanggotaan itu melonjak menjadi 10 tahun. Suara hanya dari beberapa daerah itu tentu masih belum cukup kuat untuk mengubah rancangan itu secara berarti. Terbukti sidang komisi akhirnya menggolkan rancangan itu, dengan sedikit perubahan. Yang dihapuskan itu ialah kewajiban lima tahun yang semula dalam rancangan dikenakan untuk pembantu komisaris. Maka, sejumlah nama, nampaknya, bakal ditabrak persyaratan baru ini. Sebutlah nama Ketua PB NU Abdurrahman Wahid serta tokoh ormas itu lainnya seperti Syaiful Mujab dan Sjah Manaf. Ketiganya sekarang anggota MPR dari F-KP, setelah ramai-ramai penggembosan PPP oleh sejumlah tokoh NU dalam kampanye pemilu yang lalu. "Peraturan itu akan menyebabkan orang dari kelompok lain enggan berpindah ke Golkar. Waktu itu kan terlalu lama. Kalau saya sendiri sih tidak kecewa. Saya ini kan sudah 57 tahun, dan sudah tidak berambisi lagi," kata Sjah Manaf. Pendatang baru lainnya adalah Nurcholish Madjid dan Fahmi Idris. Cak Nur melihat bila peraturan itu diterapkan begitu saja akan menyebabkan Golkar yang mestinya terbuka akan menjadi kaku "Toh kader kan bisa mematangkan diri di luar Golkar?" kata cendekiawan itu. Ia malah khawatir dengan ketentuan baru ini Golkar akan didominasi oleh "kelompok tertentu" saja. Fahmi Idris bingung menghitung masa keanggotaan yang 10 tahun itu. Bekas Komandan Laskar Ampera Arief Rachman Hakim itu sudah menjadi anggota DPR-GR dari Fraksi Karya pada 1967. Ia tak pernah pula masuk partai politik. Tapi ia baru mendaftar secara resmi di Golkar, Maret 1984. "Kan baru periode kepengurusan sekaran ini ada pendaftaran anggota Golkar," katanya. Kalau masa keanggotan dihitung sejak saat pendaftaran itu, menurut Fahmi, anggota Golkar di seluruh Indonesia tak ada yang sudah mencapai masa 10 tahun itu. Tampaknya, begitu. Tokoh SOKSI dan Ketua DPP Golkar, Oetojo Oesman, misalnya, mengantungi kartu anggota bertahun 1983. Sebab, memang saat itulah Golkar mulai mendaftar anggota dan membagi-bagi kartu anggota. Namun, menurut Oetojo sendiri, hal itu tak akan menghambat. Seseorang bisa menunjukkan kapan ia mulai aktif di Golkar, siapa pimpinannya, teman-temannya, dan sebagainya. Baru melalui pendidikan kader kelak, kata Oetojo, tak ada lagi orang yang tahu-tahu sudah adi pemimpin. Dan Golkar tak lagi membutuhkan para kader "lompat pagar", atau pindah dari organisasi lain ke Golkar. Juga ketentuan 5 dan 10 tahun itu, menurut Oetojo Oesman, tak berlaku untuk anggota ABRI. "Dalam tugasnya ABRI itu sudah mengikuti perkembangan Golkar. Karena itu, biasanya yang jadi pengurus Golkar itu anggota ABRI yang berasal dari Sospol atau komandan teritorial," katanya. Moerdopo, ketua kelompok kerja yang menyiapkan rancangan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga itu, lebih tegas. Ia berpendapat ABRI dan Golkar itu adalah satu keluarga besar. Jadi, ketika seseorang menjadi anggota ABRI aktif, ia sudah dengan sendirinya menjadi Golkar. Hanya saja, ada ketentuan: anggota ABRI yang masuk memimpin Golkar harus lebih dahulu menjalani masa pensiun. Organisasi politik lain di Indonesia tentu tak punya privilese macam itu. Juga kekuatan seperti itu. Pada pemilu tahun lalu, partai ini meraih suara mayoritas mutlak, dengan memenangkan 73% lebih pemilih. Dari 500 kursi DPR, 299 dikuasai fraksinya, F-KP. Dengan 32 juta lebih anggota -- 28 juta sudah mengantungi kartu anggota dan 10 juta di antaranya merupakan kader -- maka saat ini Golkar sudah sulit ditandingi saingannya, PPP ataupun PDI. Apalagi, Golkar masih mendapat dukungan birokrasi dan ABRI -- yang biasa disebut "tiga jalur dalam keluarga besar Golkar". Hal itu tak berapa jauh berbeda dengan ketentuan yang berlaku bagi tentara Meksiko bila menjadi pengurus Partido Revolucionario Institudo (PRI), partai yang sudah 59 tahun berkuasa di negara Amerika Latin itu. (Lihat perbandingan dengan Meksiko). Toh PRI bukan bandingan yang persis dari Golkar. Dalam pemilu Juli tahun lalu, partai itu cuma mampu mengumpulkan 50% dari sekitar 19 juta suara yang masuk. Di sini Golkar terus naik, dan jelas lebih rapi -- hasil kerja Sudharmono dan pengurus lainnya selama lima tahun ini. Tanda kerapian, misalnya: pada saat berakhirnya kepengurusan kali ini, di kas masih tersisa dana Rp 7 juta lebih, di samping Rp 3 juta dana DPP yang dipinjamkan tanpa bunga pada DPD-DPD tingkat I. Bagi Golkar, itu tentu jumlah kecil. Selama lima tahun ini organisasi ini mampu menghimpun dana sekitar Rp 27 milyar sekalipun penarikan iuran dan anggota mandek. "Itu berkat sumbangan pengusaha donatir Golkar dan simpatisan lainnya," kata A.E. Manihuruk, Ketua DPP Golkar. Ini yang tak terjadi di masa kepemimpinan yang lalu, di bawah Amir Murtono. Tapi Golkar yang membesar -- dan berpengaruh -- punya risiko. Ia jadi satu organisasi yang jadi arena perebutan sengit untuk ke atas, baik buat ide maupun buat karier pribadi. Sinyalemen dan tuduhan di sekitar itu akhir-akhir ini mengeras. Di Payakumbuh, misalnya, bekas Ketua DPD Golkar setempat dinyatakan oleh Laksusda "terbukti terlibat G-30-S/PKI golongan B". Soal itu mulai terbongkar Maret lalu dan sejak itu Datuk Syamsir Alamsyah gelar Datuk Majo Indo Nan Mamangun, 50 tahun, dipecat dari Ketua F-KP di DPRD dan Ketua DPD Golkar setempat. Ia Ketua PNI Payakumbuh pada 1965. Tapi ia duduk dalam panitia ulang tahun PKI dan, menurut keterangan resmi, turut mempersiapkan pembentukan Dewan Revolusi di daerahnya setelah terjadi G-30-S di Jakarta. Kemudian ia ke Jakarta dan berhasil memperoleh surat tidak terlibat G-30-S dari Kelurahan Cempaka Putih, Jakarta. Lalu ia pulang kampung, 1970, dan mulai berkecimpung di Golkar. Sejak keterangan pers yang dikeluarkan Komandan Korem Sumatera Barat, Kolonel Afifuddin Thaib, 17 Oktober yang lalu itu, Golkar Payakumbuh pun sibuk: menarik ribuan kartu anggota yang sudah diedarkan dan ditandatangani oleh Datuk Syamsir. Empat hari kemudian, di Palembang, Kahumas Laksusda Sumbagsel, Letkol. A. Satar Jaelani, menyiarkan keterangan pers pula bahwa dari hasil pemeriksaan yang dilakukan Laksusda, ternyata, bekas bendahara Golkar Sumatera Selatan, Ahmad Syabrun Carepeboka, 56 tahun, "terlibat PKI golongan B2". Ia pernah menjadi Ketua II CGMI Cabang Malang, 1958-1961. Tapi ia sendiri menamatkan kuliah di FKIP Bandung. Ia pernah diperiksa Pepelrada Jaya, 22 Januari 1966, tapi pada 20 Juli 1966 dibebaskan tanpa syarat. Carepeboka mendapat surat dari perorangan, pejabat, dan Golkar Jawa Barat, yang menyatakan dirinya tak terlibat PKI. Dengan modal itu ia menjadi bendahara Golkar Sumatera Selatan periode 1983-1988. Juga pengusaha kayu ini sempat menjadi Ketua Kadin Sum-Sel 1978-1980, Ketua Majelis Perkayuan Sum-Sel, 1978-1986, dan namanya sempat dipersiapkan menjadi calon Golkar dalam Pemilu 1987. Ketika itulah masa lalunya dibongkar. Ia urung jadi calon, malah berurusan dengan Laksusda. Di Golkar sendiri peristiwa ini cukup punya gema. Yang tampaknya cukup menyentak adalah pernyataan yang diberikan Sudharmono kepada wartawan, Selasa pekan lalu. Ketika itu Wakil Presiden ini membantah desas-desus dan surat kaleng yang menuduh ia terlibat pemberontakan PKI di Madiun di tahun 1948 dan pernah menjadi anggota Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) yang kiri dan merah itu. Sudharmono justru mengatakan, ia, tentara yang tergabung dalam Divisi Ronggolawe, ikut menumpas pemberontakan PKI itu. Pernyataan ini segera disambut para eks Ronggolawe lainnya. Maayor Jenderal (Purn.) Slamet Danusudirdjo, bekas teman sepasukan Sudharmono, misalnya, menyebutkan atas pertanyaan TEMPO bahwa memang Sudharmono termasuk anggota pasukan yang menggebuk pemberontak PKI di Pati dan sekitarnya. Slamet Danusudirdjo dan Sudharmono sama-sama bertugas di pasukan T (tjadangan) Divisi Ronggolawe yang terbentuk Juli 1947. Ia ketika itu sudah kelas tiga SMA sedang Sudharmono kelas tiga SMP. Tapi di pasukan mereka sama-sama dapat pangkat letnan dua. Meski di aman revolusi itu mereka terkadang sering berpisah, mereka tetap tak putus hubungan. Karena itu, ia yakin tidak mungkin Sudharmono jadi anggota Pesindo. Lagi pula, ia tahu betul bahwa Sudharmono adalah seorang yang antikomunis."Kami semua di Ronggolawe adalah antikomunis, karena sesepuh dan pendidik kami, Pak Djatikusumo itu, antikomunis," kata pensiunan ABRI yang jadi novelis dengan nama samaran "Si Pandir Kelana" itu. Bekas Komandan Divisi Ronggolawe Djatikusumo memperkuat keterangan itu. Di awal berdirinya Golkar, menurut Djatikusumo, Sudharmono sudah jadi salah seorang pengurus. Ketua Umum Sekber Golkar waktu itu, Soeprapto Sokowati, adalah bekas anggota Divisi Ronggolawe yang mengenal Sudharmono. "Artinya, bagaimana mungkin Sokowati membiarkan Sudharmono bergabung di Golkar yang amat anti-PKI itu bila memang ia pernah terlibat di Madiun?" tanya Djatikusumo. Perkara masa lalu Sudharmono ini sudah lama agaknya dibisik-bisikkan. Juni yang lalu, Menteri Kehakiman Ismail Saleh, juga salah seorang bekas Ronggolawe, pernah pula mengungkapkan kepada TEMPO bahwa pada saat pemberontakan Madiun pecah, ia turut berjalan kaki dari Purwodadi menuju Pati, Jawa Tengah, di malam hari, untuk mengejar pasukan PKI yang lari ke jurusan Pati. Pemimpin mereka adalah Letnan Sudharmono, kini Wakil Presiden. Munas agaknya jadi ikut ramai karena masalah "masa lalu" seperti itu. Antara lain karena itulah rupanya di dalam Anggaran Dasar dan Rumah Tangga yang disusun Munas, para calon anggota akan mengalami proses skrining sebelum diterima menjadi calon anggota. Skrining terutama ditujukan terhadap para calon anggota yang "berindikasi PKI maupun gerakan ekstrem lainnya". Tapi syaratnya mungkin agak lunak dibanding untuk jadi anggota ABRI: di sini tak berlaku apa yang disebut "bersih lingkungan", yakni ketentuan bahwa keluarga seseorang, termasuk mertuanya, harus tak terlibat PKI. Paling tidak, itu menurut keterangan Sudharmono menjelang Munas. "Pembersihan" itu tampaknya dianggap perlu, karena kursi kepengurusan di Golkar kian berharga. Bahkan ada teori bahwa Ketua Umum Golkar kelak akan jadi presiden mendatang. Sudharmono sendiri juga mengatakan, wakil presiden tak mesti berasal dari ketua umum Golkar. "Siapa saja yang memenuhi syarat dan didukung Golkar sebagai kekuatan politik terbesar," katanya. Dengan pemisahan itu di malam pembukaan Munas, Kamis pekan lalu, Sudharmono mengumumkan ia "tak menyiapkan diri" untuk dipilih jadi Ketua Umum Golkar. Pintu pun terbuka lebar buat Wahono, 63 tahun, bekas Gubernur Jawa Timur itu. Bagaimana nanti kepengurusan Wahono? Pengurus DPP Golkar kali ini menampilkan sekitar separuh wajah baru. Di barisan ketua terlihat Brigjen. (Purn.) Soegeng Widjaja dan ada lagi Kolonel (Purn.) dr. R. Suhadi di barisan Wakil Sekjen. Keduanya adalah anggota Fraksi ABRI di DPR. Di banyak daerah pun kader dari jalur A (yakni dari ABRI) tampaknya amat kuat hingga sering dipilih di forum Musda. Di antara mereka bahkan masih dalam dinas aktif beberapa saat sebelum terpilih. Misalnya Brigjen. (Purn.) Basofi Soedirman, Ketua DPD Golkar Jakarta. Juga Gembong Soeprodjo, Sekretaris DPD Golkar tingkat II Surabaya, yang sebelumnya adalah Kepala Staf Kodim Surabaya Selatan. Berbareng dengan itu, sejumlah nama "kawakan", misalnya R. Sukardi (Wakil Ketua DPR) dan bekas Ketua KONI Gatot Suwagio, tak terlihat lagi. Mereka ini orang yang sudah berkecimpung sejak masa-masa awal Golkar. Tapi, selain mereka, ada beberapa tokoh yang terbilang masih relatif muda yang tak tampak lagi. Misalnya Wakil Sekjen Oka Mahendra dan Sudarmadji, juga bendahara Zarlons Zaghlul. Belum ada keterangan resmi apa yang telah dan akan terjadi dengan mereka. A.E. Manihuruk, tokoh tua yang bisa bertahan, tampaknya enggan membicarakan soal ini. Soal usia, misalnya, katanya, tak merupakan kriteria untuk para calon pengurus Golkar. Bagi Sudharmono, yang penting kepengurusan itu harus mencerminkan kesinambungan. Berapa persen perbandingan tua dengan muda, "Itu terserah Golkar sendiri," katanya kepada pers Minggu malam yang lalu. Para pemilih Golkar dalam pemilu memang banyak yang mengharap, agar suara dari dalam Golkar sendiri -- terutama yang dari bawah -- yang menentukan. Amran Nasution, Diah Purnomowati, Rustam F. Mandayun, Tri Budianto Soekarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini