DALAM perayaan Skaten Pebruari lalu, gamelan Kyai Sekati
diangkut dari keraton Yogyakarta ke mesjid Agung. Salah satu
gong besar putus talinya dan jatuh. Alamat apa? mungkin tidak
apa-apa, meskipun ada yang menghubungkannya dengan kejadian
Sabtu pekan lalu. Seusai sidang Kabinet Paripurna terakhir,
diumumkan bahwa Hamengkubuwono "dengan tulus ikhlas dan tanpa
pengaruh dari siapapun juga memutuskan untuk tidak lagi menerima
pencalonan menjadi wakil Presiden."
Pengumuman Sabtu itu mengakhiri desas-desus yang telah beredar
di Jakarta sejak akhir tahun lalu mengenai rencana Sultan untuk
tak mau dicalonkan lagi sebagai wapres. Sudah lama kesehatan
Sultan jadi alasan dari rencana ini, setelah dua kali ia dirawat
di Boston Amerika Serikat untuk operasi matanya. Kata-kata
perpisahan wakil Presiden Hamengkubuwono 66 tahun, yang
dibacanya sendiri pada Sidang Kabinet Paripurna tanggal 11 Maret
menyebutkan "keputusan ini saya ambil di antara lain dengan
menggunakan pertimbangan mengenai kesehatan saya dewasa ini."
Tapi di samping itu, Sultan menyebut "pertimbangan lain setelah
saya renungkan dengan dalam-dalam," ialah adanya "ra'sa tanggung
jawab di mana tumbuhlah suatu keinginan di dalam jiwa saya untuk
memberikan bhakti yang lebih besar dan lebih efektif kepada
negara dan bangsa." Hal ini, katanya hanya dapat ia laksanakan
bila ia melepaskan diri dari hambatan resmi yang melekat pada
kedudukan Wakil Presiden."
Kalimat lain dari pernyataan Sultan ialah "Setelah mengambil
keputusan ini, saya merasa masih cukup mampu dan karena itu
tetap bersedia, apabila dikehendaki, untuk membantu dalam
kelanjutan usaha pemhangunan nasional di negara kita." Sultan
juga menyebutkan, bahwa "seperti juga Bapak Presiden, saya
senantiasa mendengarkan pula dan meresapkan di hati saya
suara-suara rakyat yang menginginkan keadilan sosial yang lebih
memuaskan dan lebih mantap menjamin kehidupan rakyat yang
hahagia dan sejahtera tanpa tekanan lahir maupun batin."
Acara "pamitan" Sultan Sabtu pekan lalu itu berlangsung dengan
"sedikit haru," kata Menpen a.i. Sudharmono. Sidang kabinetnya
sendiri berlangsung hanya sekitar duapuluhan menit sesudah acara
santap siang bersama atas undangan Presiden Soeharto yang baru
kembali dari gedung DPR/MPR di Senayan. "Atas permintaan Bapak
Presiden" para wartawan foto kemudian mengabadikan Presidcn dan
Wapres seusai santap siang sebagai kenang-kenangan.
Hatta
Sultan tidak bersedia lagi dicalonkan sebagai Wapres. Ia tak
mengundurkan diri. Ini agak berbeda dengan peristiwa tahun 1956
ketika Moh. Hatta mengundurkan diri sebagai Wapres karena merasa
tidak cocok dengan kebijaksanaan Presiden Soekarno waktu itu.
Berbagai reaksi segera timbul setelah pengumuman keputusan
Sultan itu. Yang jelas masyarakat yang sebelumnya diramaikan
dengan membanjirnya dukungan untuk pencalonan kembali Jenderal
Soeharto dan Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Presiden dan
Wapres cukup dibuat kaget. Tapi semua orang menghormatinya.
"Saya salut atas keputusan Sri Sultan itu. Itu prinsipiil
sekali. Dan yang harus diperhatikan ialah pesan-pesannya yang
tak terucap dalam pernyataan juga harus dilaksanakan," kata
Sarwono Kusumaatmadja, anggota fraksi Karya Pembangunan di
DPR-MPR, pada TEMPO.
Nuddin Lubis, Ketua fraksi PP menganggap keputusan Sultan
sebagai suatu hal yang cukup mengejutkan. Ia menganggap sebagai
seorang tokoh besar, siKap Sultan Hamengkubuwono IX itu tentunya
mempunyai alasan-alasan yang cukup lengkap dipertimbangkan.
Selain mengucapkan "salut," Suryadi dari fraksi PDI mengharapkan
agar sikap semacam itu jadi semacam konvensi nasional.
Maksudnya, "pada saat pejabat secara moral dan etik harus
mengundurkan diri, maka ia melakukannya."
"Sultan memang sudah tidak mungkin mengemban tugas yang seberat
itu. Beliau benar-benar sakit. Itu biasa terjadi pada setiap
orang," kata Amir Murtono ketua DPP Golkar. Ia menafsirkan
kesediaan Sultan untuk "membantu dalam kelanjutan usaha
pembangunan nasional" sebagai kesediaan Sultan untuk memberikan
dukungan, tidak dalam bentuk formil, kepada pemerintah.
Menteng
"Lowongnya" jabatan Wapres sesudah 23 Maret ini segera
menghidupkan pembicaraan tentang siapa yang akan mendampingi
Presiden Soeharto sebagai calon Wapres untuk pemilihan
Presiden/Wapres di SU MPR sekarang ini.
Syarat "harus bisa bekerja sama dengan Presiden" agaknya jadi
syarat utama bagi jabatan Wapres. Buat Golkar, sebagaimana
dinyatakan oleh Amir Murtono, ada juga beberapa persyaratan
lain. Misalnya, orangnya harus dari Golkar, integritas
nasionalnya bisa dijamin dan mengerti benar-benar
masalah-masalah dalam dan luar negeri.
Presiden Soeharto sendiri mengingini seorang "sipil" untuk
jabatan Wapres ini. Semua persyaratan ini menciutkan kemungkinan
siapa yang bisa memenuhinya, dan nama yang paling santer disebut
adalah Adam Malik, anggota ketiga dari triumvirat 1966
Soeharto-Hamengkubuwono-Adam Malik. Ia dapat dikatakan memenuhi
semua persyaratan yang diwajibkan walau bisa saja orang
berkeberatan atas kemungkinan pencalonan Adam Malik sebagai
Wapres.
Bahwa Golkar jelas mencalonkan Adam Malik dapat dilihat dari
pernyataan selanjutnya dari Amir Murtono pada pers, yang
menegaskan bahwa pengganti Sri Sultan adalah tokoh Golkar yang
tak diragukan integritasnya. "Umurnya di tas saya, menguasai
bukan saja masalah dalam negeri tapi juga luar negeri. KTP-nya
dari Jakarta Pusat dan kecamatannya ...." Ia tak melanjutkan.
Para wartawan yang segera berteriak "Menteng, pak" (daerah
tinggal Adam Malik). Amir Murtono tertawa terbahak-bahak.
Adam Malik sendiri kabarnya setuju atas tawaran itu. Beberapa
hari sebelum 'minggu tenang', kepada TEMPO ia memang belum
memastikan tentang hal itu. Tapi kabarnya Sultan berpesan
padanya agar Malik menerima bia diminta untuk menggantikannya.
Kalau sampai Adam Malik terpilih sebagai calon Wapres, akibat
berantainya adalah lowongnya kursi Ketua DPR/MPR Dan ini
membuat rembugan diluar acara-acara resmi SU MPR lebih seru,
walau suara-suara pihak pemerintah cenderung pada nama tokoh PP
Idham Chalid. Belum diketahui sikap fraksi-fraksi, termasuk
Fraksi PPP sendiri.
Dan bagaimana tentang rencana Sultan? Menurut suatu sumber
Sultan tidak merencanakan untuk kembali ke Yogya dan akan tetap
di Jakarta. Belum jelas apa yang dimaksudnya dengan "bhakti yang
lebih besar dan lebih efektif kepada negara dan bangsa." Tapi
apabila ucapan itu keluar dari mulut seorang tokoh seperti
Sultan, tak seorangpun yang akan meragukan pengabdiannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini