SIDDHARTHA, akhirnya, belajar tentang hidup dari suara sungai.
Ia menyimak, ia mendengarkan....
Tapi baiklah cerita ini dimulai dengan sebuah introduksi.
Siddhartha kita tak lain berasal dari cerita Herman Hesse yang
termashyur itu seorang tokoh India yang mencari kesunyatan,
yang dikisahkan seorang novelis Jerman pemenang Hadiah Nobel
dengan liris tatkala sang pengarang mulai tertarik ke dunia
Timur pada usianya yang ke-5.
Siddharta, demikian kisahnya, bermula sebagai seorang yang
resah. Ia sebenarnya anak tampan seorang Brahmin. Terdorong oleh
hasratnya menyempurnakan rohani, ia pun meninggalkan tempat
ayahnya dan pergi ke hutan. Disertai Govinda, sahabatnya, ia
ingin menjadi seorang Samana. la ingin jadi pertapa pengembara
yang kurus dan dibakar terik, dan hanya bercawat.
Dan ia memang menjadi Samana. Keinginannya untuk mengosongkan
diri dari haus mimpi, kenikmatan dan duka, hasratnya untuk
mematikan "Diri", ia laksanakan. Tapi cuma tiga tahun. Ia tak
puas. Ia tinggalkan juga kehidupan sebagai Samana, karena
Nirwana toh tak didapat. Dan ia pergi mencari Budha Gotama, di
dekat kota Savathi.
Tapi dengan Budha Gotama pun kemudian Siddhartha tak bisa
tenang. Akhirnya. ia tahu, seperti dikemukakannya kepada sang
Budha sendiri, bahwa "tak seorang pun menemukan penyelamatan
dengan ajaran." Itulah sebabnya ia memutuskan untuk pergi,
"bukan untuk mendapatkan doktrin yang lain dan yang lebih baik,
sebab saya tahu itu tak ada, tapi untuk meninggalkan semua
doktrin dan semua guru dan untuk mencapai tujuan saya, sendirian
-- atau mati."
Dari situ Siddhartha mulai berangkat, dan terpaksa meninggalkan
sahabatnya, Govinda, yang memilih untuk tinggal menjadi murid
sang Budha. Dari situlah Siddhartha kemudian menyadari ketika
ia sampai di suatu tempat yang rimbun, buat pertama kalinya
disaksikannya betapa dunia tidak terasa pahit. Alam sangat
indah, aneh, misterius. la mulai kehidupan baru.
Dan dalam novel Hesse yang pendek ini -- melalui bahasa yang
agak seret dibebani renungan dan keinginan untuk syahdu --
kemudian dikisahkan bagaimana Siddhartha bergaul dengan Kamala,
sang pelacur yang cantik, yang jadi gurunya dalam bercinta dan
hidup praktis. Bagaimana pula Siddhartha menjadi saudagar, lalu
menjadi penjudi dan akhirnya hidup bersama Vasudeva, seorang
tukang perahu yang butahuruf, sederhana tapi luhur budi.
Di situlah akhirnya ia belajar dari suara sungai. "Bukankah
sungai itu punya bermacam-macam suara, kawanku? Tidakkah ia
memiliki suara seorang raja, seorang pendekar perang, suara
seekor lembu jantan, burung malam, suara wanita yang tengah
hamil dan pria yang mendesah?" Siddhartha mulai tahu apa
maknanya kebisuan.
Maka ketika akhirnya Govinda, sahabatnya, menjumpainya kembali
dalam usia yang telah lanjut, Siddhartha pun berkata "Satu hal
mengesan padaku, Govinda: kebijaksanaan tak dapat
dikomunikasikan.... Pengetahuan dapat dikomunikasikan, tapi
kebijaksanaan tidak. Kita dapat menemukannya, hidup dengannya,
diperkuat olehnya, menciptakan keajaiban melaluinya, tapi kita
tak dapat menkomunikasikan dan mengajarkannya."
Bagi Siddhartha, segala sesuatu yang difikirkan dan dikemukakan
dalam katakata selalu jadi tinggal separuh kebenaran, kekurangan
totalitas dan kelengkapan.
MAKA di akhir buku, antara Sidhartha yang menolak ajaran,
dengan Govinda ang menemukan ajaran dalam petuah sang Budha,
terjadi pertemuan kembali. Siddhartha meminta Govinda mencium
jidatnya. Dan Govinda menciumnya. Airmatanva tetes. Ia kembali
bersatu dengan sahabatnya masa kanak itu--di ujung hidup.
Beberapa detik yang silam didengarnya sendiri ucapan Siddhartha
tentang sang Budha " Tidak dalam kata atau fikiran aku
menganggapnya sebagai orang besar, tapi dalam perbuatan dan
hidupnya."
Siddhartha, atau Herman Hesse mungkin berlebihan. Tapi memang
banyak perselisihan terjadi dan kebohongan dipaparkan, lewat
kata, kata, kata ....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini