BAMBANG Handojo, Djoko Soewito, Taros, dan Gunawan tampak lesu. "Kami merasa disudutkan oleh pemberitaan media massa. Banyak hal yang tidak benar dalam laporan koran-koran," ujar Djoko. Djoko dan kawan-kawan termasuk kelompok yang belakangan ini ramai diberitakan: 800 buruh PT United Can Company yang dipecat langsung oleh Menteri Tenaga Kerja Sudomo. Menurut Sudomo, tindakan yang "baru pertama kalinya dalam sejarah Departemen Tenaga Kerja" ini dilakukan karena para buruh menyandera 19 karyawan staf. "Tindakan itu saya ambil sebagai pencegahan kemungkinan anarki yang dapat meluas pada buruh-buruh di perusahaan lainnya di Indonesia," kata panglima Kopkamtib itu. Tindakan Sudomo ini segera mengundang perbedaan pendapat. "Tindakan Pak Domo itu menurunkan martabatnya sendiri. Mungkin maksud Pak Domo itu baik: memberi peringatan kepada para tenaga kerja agar jangan main hakim sendiri. Namun, yang dilakukannya menurut saya berlebihan. Seorang menteri tidak ada wewenang sedikit pun untuk memecat tenaga kerja," kata pengacara terkemuka Adnan Buyung Nasution. Tapi Sekjen Depnaker Sutopo Yuwono membantah. "Jangan dikira kami ini koboi-koboian. Yang memecat para karyawan itu perusahaannya, dengan persetujuan Menteri," ujarnya. Memang Sudomo pernah menjanjikan pada 1985 ini tidak ada PHK (pemutusan hubungan kerja). "Tidak berarti kalau tidak ada PHK lalu orang seenaknya saja. Yang salah, sih, tetap salah," tambah Sutopo. Yang terjadi memang itu: pemecatan ratusan buruh itu dilakukan pimpinan PT United Can Company Ltd., yang disetujui P 4 P (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat) pada 14 Mei 1985. Namun, PT UCC tetap di wajibkan memberikan uang pesangon terhadap karyawan sesuai dengan masa kerja mereka. Keputusan ini diperkuat Surat Menaker 25 Juni 1985 yang dialamatkan kepada pimpinan pusat SBLK (Serikat Buruh Logam dan Keramik), yang menolak pembatalan atau penundaan keputusan P 4 P tersebut. Kemelut di PT UCC, perusahaan yang memproduksi berbagai kemasan kaleng dan berlokasi di Tangerang, dimulai sejak akhir 1984. Menurut laporan perusahaan pada Depnaker, sejak 19 Oktober sampai 7 November, para buruh melakukan slowdown sehubungan dengan tuntutan kenaikan upah. Tapi menurut pihak buruh kemelut terjadi sejak Desember 1984, setelah SB (serikat buruh) setempat menuntut perusahaan untuk menyesuaikan dasar perhitungan upah lembur dengan SK Menaker No. 72/1984. Menurut para buruh, upah lembur sesuai dengan SK tadi dihitung berdasarkan gaji pokok, tunjangan jabatan, nilai catu, dan tunjangan kemahalan, sedangkan di PT UCC hanya didasarkan pada gaji pokok. Akhir Desember 1984, presiden direktur PT UCC, Reza Suhadi, mengumumkan persetujuannya untuk menyesuaikan diri dengan SK Menaker tersebut, tapi di saat yang sama ia menghapuskan sistem tunjangan jabatan yang besarnya sampai 50 % dari gaji pokok. Pihak buruh menolak, dan SBLK basis PT UCC mengadukan hal ini pada Menaker, 3 Januari 1985. Keresahan buruh timbul setelah muncul dua surat tanggapan yang agak berbeda dari Depnaker. Yang pertama dari Direktur Bina Norma Perlindungan Tenaga Kerja Heroe Soekotjo yang mengisyaratkan bahwa SK Menaker Nomor 72 itu tidak mengarah pada penghapusan tunjangan jabatan. Yang kedua dari Dirjen Bina Hubungan Ketenagakerjaan dan Pengawasan Norma Kerja, H.B. Manan, yang menilai tindakan pimpinan PT UCC menghapuskan tunjangan jabatan itu "tidak salah". Lalu terjadilah insiden itu. Pada 12 Februari 1985 Asisten Manajer Personalia PT UCC Mansjur memerintahkan pencabutan pengumuman SBLK basis PT UCC yang mengutip UU No. 22/1957, yang antara lain melarang majikan dan buruh yang tengah menyelesaikan perselisihan melakukan perbuatan yang bersifat pembalasan, termasuk hubungan dan syarat kerja. Esoknya, 13 Februari, terjadilah unjuk perasaan sekitar 800 buruh yang menuntut agar Mansjur mengundurkan diri. Konon, saat itu terdengar teriakan seperti "Bunuh Mansjur", "Usir Mansjur", dan "Mansjur PKI". Sebulan setelah itu perusahaan menskors 11 pengurus SB yang dianggap memotori demonstrasi tadi. Akibatnya, pada 14 Maret terjadi lagi demonstrasi menuntut pencabutan pemecatan sementara 11 rekan mereka. Saat itulah "penyanderaan" itu terjadi. Sebanyak 19 karyawan staf UCC, termasuk enam tenaga kerja asing, dilaporkan disandera para buruh. "Itu tidak benar," kata Djoko Soewito menyanggah. "Mereka terpaksa menunggu karena mobil mereka terhalang massa sehingga tidak bisa keluar. Itu isu yang menyudutkan kami," tambahnya. MASSA buruh kabarnya baru bisa dibubarkan tengah malam, setelah polisi tiba. Perusahaan kemudian diliburkan selama 10 hari. Kelompok 11 diperiksa Kodim Jakarta Barat. Demonstrasi ketiga terjadi pada 1 Mei: para karyawan menuntut agar 11 orang yang telah disetujui pemecatannya oleh P 4 P dipekerjakan kembali. Esoknya pada para karyawan dibagikan formulir surat pernyataan bersedia bekerja dengan batas waktu tengah malam. Hampir 600 karyawan dianggap terlambat menyerahkannya hingga perusahaan kemudian mem-PHK-kan 695 buruh lagi. Berbagai tindakan para buruh itulah yang dianggap menjurus anarki. Menurut perusahaan, jam kerja yang hilang akibat kemelut ini 265.650 jam, dengan kerugian materiil lebih dari Rp 2,1 milyar. Kini ratusan buruh yang dipecat terpencar-pencar, sebagian pulang kampung, dan banyak yang terjun ke sektor informal. Djoko, Bambang, dan Taros membuka usaha perbengkelan motor dan mobil yang diberi nama yang mengingatkan nasib mereka: "PHK Motor Service" di Jakarta Barat. Mereka tetap menganggap pemecatan terhadap mereka tindakan sewenang-wenang. Toh mereka tidak mengecam tindakan Menaker Sudomo. "Kami 'kan orang lemah, mana berani melawan menteri," kata mereka lesu. Susanto Pudjomartono Laporan Didi Prambadi & Moebanoe Moera (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini