Para seniman Yogya beramai-ramai menentang rencana pembongkaran gedung Senisono karena dinilai punya nilai sejarah. ADA atraksi baru yang menarik bagi masyarakat Yogyakarta, sejak pekan lalu. Di plaza di depan galeri Senisono, yang bersebelahan dengan Istana Presiden Gedung Agung dan tepat berhadapan dengan Monumen 1 Maret, sejak 10 April lalu sekelompok mahasiswa dan seniman Yogya melakukan "perkemahan kebudayaan". Untuk itu, sebuah kemah mereka dirikan di halaman Senisono. Mereka yang menamakan diri Dewan Kesenian Muda Yogyakarta (DKMY) itu melakukan apa yang mereka sebut "Aksi Cinta Kasih". Mereka main ketoprak, kuda kepang, baca puisi, atau berjingkrak-jingkrak menyanyi dengan lirik lagu seenaknya, asal ada kata "Pertahankan Senisono" di dalamnya. Tiga spanduk mereka bentangkan, satu di antaranya berbunyi "Biarkan Senisono Tegak Berdiri". Mereka juga menyelenggarakan diskusi dengan sejumlah tokoh seniman dan budayawan. "Dari diskusi ini kami akan menyusun pernyataan untuk disampaikan pada DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta," ujar Brotoseno, juru bicara DKMY. Sutradara Eros Djarot dan musikus Setiawan Djodi, yang kebetulan ada di Yogya dan ikut hadir di diskusi itu, berjanji akan menemui Mensesneg Moerdiono untuk membicarakan soal Senisono. Para seniman Yogya kini memang bak kebakaran jenggot setelah mendengar rencana pembongkaran Senisono. Percikan pertama muncul tatkala dalam acara buka puasa di Kanwil Deppen Provinsi DIY, awal April silam, Kakanwil PU DIY Soeripto Koesoemowinoto mengungkapkan bahwa pembongkaran gedung Senisono dan pembangunan gedung penggantinya bisa dimulai karena anggarannya telah tersedia dari dana DIP 1991/1992 sebesar Rp 600 juta. Mendengar itu, para seniman Yogya gempar. Hampir semuanya menentang rencana pembongkaran itu. Apalagi setelah beredar isu: alasan pembongkaran itu karena pertimbangan keamanan, karena Senisono bersebelahan dengan Istana Presiden. Menurut para seniman Yogya, Senisono punya nilai sejarah. Senisono dan kantor bersama PWI Yogya, LKBN Antara, dan BP3U Deppen yang bersebelahan, pada zaman Belanda merupakan kompleks gedung Societeit de Vereneging yang didirikan pada 1822. Sultan Hamengku Buwono IV waktu itu menjadi pelindung panitia pembangunannya, sekaligus penyedia tanah. Societeit waktu itu jadi tempat para elite Belanda bersenangsenang. Waktu Jepang masuk pada 1942, gedung itu berganti nama menjadi Balai Mataram. Jepang keok, dan di Yogyakarta Proklamasi Kemerdekaan disiarkan di gedung KNI lantai atas, yang kini jadi kantor PWI Yogya. Senisono pernah digunakan juga untuk Kongres Pemuda I pada 1945. Antara 1952 dan 1965 Balai Mataram dijadikan gedung bioskop. Baru pada 1968 pengelolaan Senisono diserahkan Wali Kota Yogya Soedjono A.Y. kepada seniman Yogya, yang kemudian membentuk Yayasan Senisono. Sejak itu banyak kegiatan kebudayaan dilakukan di situ, pameran lukisan, pentas drama, atau baca puisi. "Sebelum sakit, Affandi sering sekali merenung di Senisono," kata Ny. Suliantoro Sulaiman, ketua pengurus harian Gallery Senisono. Mungkin karena itu budayawan Yogya Y.B. Mangunwijaya tidak setuju pada pembongkaran Senisono. Nilai historis sebuah bangunan, katanya, terkait dengan waktu dan tempat. Jadi, tidak bisa dipindah-pindah. "Mana mungkin Borobudur dipindah ke Jakarta, walau secara teknologi itu mungkin," katanya. Melihat Senisono sebagai tumpukan batu yang bisa dienyahkan begitu saja, lalu dibangun di tempat lain, adalah suatu tindakan yang tidak mencerminkan penghargaan pada peradaban dan kebudayaan. "Itu tindakan yang tidak berbudaya, istilah lembut dari tidak beradab," katanya. Menurut Ny. Suliantoro, awal 1990 ia didatangi beberapa arsitek dari Jakarta, yang mengaku ingin meneliti gedung Senisono ini. Tindak lanjutnya, menurut dosen Fakultas Filsafat UGM ini, dia diundang ke kantor Pemda Provinsi DIY di Kepatihan. "Di Kepatihan itu kami membicarakan Kawasan Kebudayaan Yogya, termasuk rencana pembongkaran Senisono," ujarnya. Pertemuan di Kepatihan ini, katanya, macet karena usaha Pemerintah untuk membongkar kawasan Senisono dan sekitarnya ditentang pengelola Senisono, pengurus PWI Cabang Yogyakarta, juga para seniman dan budayawan Yogyakarta. Kini, keadaan gedung Senisono ini memprihatinkan, dindingnya kusam. Atapnya bocor. Namun, tiap bulan Pemda memberi subsidi Rp 75.000 yang digunakan untuk membayar listrik. Meski punya nilai sejarah, menurut Kepala Biro Humas dan Protokol Pemda DIY Sudomo Sunaryo, gedung milik pemerintah ini belum memperoleh SK Menteri P & K untuk dikategorikan sebagai bangunan yang dilindungi berdasar Monumenten Ordonnantie. Ide pembongkaran kawasan Senisono, menurut Sudomo, datang dari Presiden Soeharto. Bermula ketika Pak Harto melihat Benteng Vredeburg, yang terletak persis di depan Gedung Agung itu, selesai dipugar dan kelihatan rapi. Tapi, kata Sudomo, ketika Pak Harto memandang ke arah selatan, di seputar Senisono kok kelihatan kumuh. Saat itulah menurut Soedomo, Pak Harto minta kawasan itu dibenahi. Dasar pembenahan kawasan itu adalah surat Mensesneg kepada Menteri PU tentang rencana pengembangan kawasan Malioboro dan penampungan kegiatan Senisono. Surat No. B 665/M. Sesneg/3/1990 tanggal 12 Maret 1990 itu antara lain menyebutkan: Menurut petunjuk Bapak Presiden, agar dilakukan kegiatan renovasi terhadap gedung Militair Societeit. Surat itu memang tidak secara eksplisit mengatakan Militair Societeit sebagai ganti Senisono. Namun, mengingat perihal surat Mensesneg itu tentang Senisono, logikanya Militair Societeit itu adalah ganti Senisono. Pembongkaran gedung Senisono, menurut Ketua Bappeda DIY Bondan Hermanislamet, erat kaitannya dengan renovasi kawasan Malioboro. Kawasan Senisono termasuk juga gedung PWI Cabang Yogya dan bekas gedung Kanwil Deppen di Jalan K.H. Ahmad Dahlan, akan dibongkar. Hanya bagian lengkung dari panggung Senisono tetap dipertahankan. Selanjutnya di lokasi itu akan dibuat taman. Bersamaan dengan pembongkaran Senisono, Gedung Militair Societeit yang ada di belakang Benteng Vredeburg juga diperbaiki. Kawasan yang persis di samping Pasar Beringharjo itu ditetapkan sebagai kawasan kebudayaan, yang nantinya untuk menampung kegiatan Senisono. Menurut Mensesneg Moerdiono, yang pernah tinggal di Yogya pada 1953-1955 dan sering nontoni di bioskop Senisono ("Antara lain saya nonton film The Outlaw yang dibintangi Jane Russel"), gedung Senisono memang akan dibongkar. Bukan demi keamanan seputar kawasan Istana Presiden, tapi sebagai bagian dari rencara pembangunan kawasan Malioboro. Karena Senisono bersebelahan dengan Istana, dan karena Pemda tak mempunyai dana yang memadai, kata Moerdiono, semua keputusannya diserahkan ke pusat. Maka, sejak tahun lalu tiga alternatif pemindahan Senisono direncanakan. Rencana membangun gedung pengganti Senisono dalam benteng Vredeburg diurungkan karena dianggap akan mengubah bentuk asli benteng. Lalu, rencana memakai Gedung KONI di Jalan Trikora juga batal karena gedung itu milik KONI. Jadi, dipilihlah untuk membangun gedung pengganti itu di sekitar benteng Vredeburg. "Jadi, gedung Senisono tidak akan dibongkar sebelum ada penggantinya," ujar Moerdiono pada Linda Djalil dari TEMPO. Menurut Moerdiono, yang Kamis siang pekan lalu sempat menemui Eros Djarot dan Setiawan Djodi selama satu setengah jam, Pemerintah sangat menaruh perhatian pada kebudayaan. Pemerintah terlibat dalam soal Senisono karena dana yang dipakai untuk membangun gedung penggantinya datang dari Banpres. Bangunan yang dipertahankan para seniman Yogya itu, menurut Moerdiono, tidak terawat dengan baik. Jadi, apakah bisa dianggap bangunan bersejarah? Karena itu, Mensesneg tampak geram terhadap komentar Y.B. Mangunwijaya. "Saya heran, sedih sekali, dan mau nangis rasanya, kalau benar Romo Mangun bilang pembongkaran Senisono tidak beradab," katanya. Eros Djarot dan Setiawan Djodi tampaknya puas setelah mendengar penjelasan Moerdiono. "Yang penting, kegiatan seniman tidak vakum, dan gedung tidak akan dibongkar sebelum ada pengganti," kata Djodi. Sedang Eros berpendapat, setelah mendengar penjelasan Moerdiono, ia merasa isu yang sedang berkembang selama ini tidak sesuai apa yang sedang digarap di Jakarta. "Mungkin teman-teman di Yogya akan bereaksi lain kalau sudah ada penjelasan semacam ini," katanya. Syahril Chili, M. Aji Surya dan Sri Wahyuni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini