PALAPA B2R kini bagai janda kembang. Sekitar tiga tahun lalu satelit itu diturunkan karena meleset dari orbitnya. Kini, sementara masih tersimpan d gudang pembuatnya -- Hughes Aircraft System International (HASI), di El Segundo, California, AS -- banyak pihak berebut meluncurkannya kembali. Ketika Menparpostel A. Tahir menyatakan, pemerintah RI memilih Ariane Space Consortium -- konsorsium ruang angkasa Eropa -- orang menduga itulah keputusan final. Tak tahunya, pernyataan pada 29 September itu empat hari kemudian diralat. Si "janda" B2R ternyata lebih jatuh hati kepada roket Amerika Serikat. Adapun sebabnya, pihak Bank Eksim AS, yang semula menolak menyediakan pinjaman lunak US$ 130 juta, akhirnya menyetujuinya. Bahkan dana yang disediakan lebih besar, yakni US$ 132,5 juta. Inilah dana untuk berjaga-jaga, yang disebut "dana tak terduga". Di balik keputusan itu, kisah si "janda" memang mengasyikkan. Dulu, setelah B2R masuk gudang, sindikat asuransi internasional Lloyd's of London membayar US$ 75,394 juta kepada Perumtel karena peluncuran yang gagal. B2R pun pindah tangan, menjadi milik pihak asuransi, karena begitulah perjanjiannya. Lalu Teresat, sebuah perusahaan AS, yang pertama kali melirik pada barang di gudang itu. Teresat tak cuma mengincar si "janda", tapi juga kembarannya, yaitu Westar VI. Tapi Sattel, sebuah anak perusahaan Elektrindo Nusantara dari Bimantara Group bergerak lebih cepat. Dalam tiga kali pembayaran, terakhir Juni lalu, Sattel akhirnya memiliki B2R seharga US$ 18 juta. Setelah di tangan Sattel inilah pihak Perumtel kembali menginginkan Palapa B2R. Menurut sebuah sumber, "Perumtel menandatangani pembelian Palapa itu dari Sattel, 25 Mei lalu." Besar nilai kontrak adalah sekitar US$ 72 juta, termasuk biaya peluncuran. Perumtel, menurut sumber tadi "Telah membayar panjar sekitar 20%." Celakanya, macetnya program pesawat ulang alik NASA (badan angkasa luar AS) setelah musibah Challenger, Januari tahun lalu, berkepanjangan. Keburu Presiden Reagan menurunkan peraturan, NASA tak lagi boleh melakukan peluncuran satelit komersial. Padahal, Sattel-lah yang berhubungan dengan NASA. Demikian pula soal pinjaman lunak dari Bank Eksim AS seret karena unsur Sattel yang swasta itu. Sementara itu, waktu makin mendesak. Menurut perhitungan Perumtel, Palapa B2R harus sudah diluncurkan pada September 1990, karena usia pakai Palapa B1 diperkirakan habis Oktober 1990. Kontrak Sattel -- Perumtel menyebutkan batas waktu penetapan wahana peluncur bagi B2R, enam bulan setelah kontrak diteken. Artinya, batas itu 25 November. Maka, menengoklah Sattel ke kanan kiri barangkali ada yang berminat pada "janda" kembang itu. Mula-mula didekatilah McDonnell Douglas Astronautic Company (MCDAC), pemilik roket Delta. MCDAC memberikan tarif tinggi. Yakni US$ 51,3 juta. Padahal, taksiran Sattel ongkos itu cuma US$ 26,15 juta. Bandingkan dengan ongkos peluncuran B1 yang lalu oleh NASA yang cuma US$ 9 juta. Sebenarnya ada peluang lain. Yaitu kontrak antara Perumtel dan NASA, yang berbunyi NASA akan meluncurulangkan Palapa B2R jika terjadi kegagalan peluncuran, dengan ongkos istimewa US$ 12-14 juta. Tapi karena NASA kini punya pandangan berbeda, menurut sebuah sumber, kemungkinan itu tipis. Peminat lain tercatat RRC, Uni Soviet, dan konsorsium ruang angkasa Eropa (Ariane Space Consortium). Tapi Uni Soviet langsung dicoret. Menurut sumber TEMPO di departemen luar negeri AS, "Sulit membayangkan satelit buatan AS diluncurkan oleh Uni Soviet." Hal senada, kendati dalam derajat lebih ringan, juga berlaku bagi RRC. Sesuatu yang patut disayangkan sebenarnya, mengingat kedua negara ini menawarkan ongkos peluncuran yang murah, bahkan ada bonus: US$ 40 juta, ditambah meluncurkan kosmonaut Indonesia gratis. RRC menjanjikan biaya 10% di bawah saingannya. Maka, pilihan tinggal pada pihak konsorslum ruang angkasa Eropa, Ariane itu. Kebetulan, tarif peluncuran pun murah, sekitar US$ 48 juta, tambah ongkos angkut satelit dari AS ke pangkalan Ariane di Amerika Selatan sekitar setengah juta dolar. Pihak Ariane pun menyediakan pinjaman lunak sekitar US$ 100 juta. Namun, akhirnya, karena beberapa hal, pemerintah RI tetap memilih jasa AS meski lebih mahal. "Menurut perhitungan kami, keandalan roket Delta mencapai 99% sedangkan Ariane di bawah 40%," kata seorang ahli Perumtel. Sebab yang lain, pihak Prancis tak mau memperhitungkan ongkos pengadaan perangkat keras tambahan yang harus dipasang di Stasiun Pergendali Utama Cibinong. Sebab, sudah telanjur peringkat lunaknya dibuat sesuai dengan perangkat keras milik AS. Juga dikabarkan, Ariane tak mau memberikan kredit untuk membayar keuntungan Sattel. Tak berarti Ariane sudah tersingkir sama sekali, dan kontrak dengan MCDAC mulus berjalan. Masih ada ganjalan, yakni soal asuransi. Rabu pekan lalu Menteri Tahir menyatakan keberatannya atas kebijaksanaan baru yang dikeluarkan NASA. Sudah lazim, dalam peluncuran satelit ada asuransi untuk membayar pihak ketiga yang dirugikan akibat peluncuran. Yang menjadikan keberatan Indonesia, besar tanggungan asuransi itu kini tak terbatas. Dalam peluncuran Palapa B2R pertama kali, premi asuransi kecelakaan peluncuran hanya US$ 75.000, untuk ganti rugi maksimum US$ 500 juta. Berapa premi bila ganti rugi tak terbatas ? Dalam hal ini Ariane cuma membatasi ganti rugi untuk pihak ketiga sekitar US$ 70 juta, hingga premi kecil. Yang menarik, Presiden Ariane Space Consortium, Frederick d'Allest, tetap berkunjung ke Indonesia sesuai dengan jadwal. 6 Oktober lalu. Tentu, ia tak lagi merundingkan soal peluncuran. Tapi ia tak pulang sia-sia. Peluncuran Palapa generasi C, nanti pada 1995, pemerintah RI mengisyaratkan memilih Ariane, "untuk menghilangkan ketergantungan pada teknologi AS". Kecuali nanti ada perubahan-perubahan lagi. Namanya juga bisnis besar, artinya, politik pun tak mungkin ditinggalkan. Bambang Harymurti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini