Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Hilangnya Sang Adipati

Sudjiwokusumo dikukuhkan sebagai Pengageng Puri Mangkunegaran yang baru. Gelar Mangkunagoro IX dan sebutan Adipati Ario diputuskan untuk ditiadakan untuk menghindari kesan feodal dan kolonial.

17 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Hilangnya Sang Adipati
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SEBUAH tumpeng kecil diletakkan di tengah meja panjang, di antara rangkaian bunga-bunga sesaji. Ada suara tahlil dan juga asap dupa. Ahad malam pekan lalu itu, 40 hari wafatnya Sri Mangkunagoro VIII diperingati di Dalem Ageng, bangunan induk Puri Mangkunegaran, Solo. Upacara ini sekaligus mengukuhkan Sudjiwokusumo sebagai Pengageng Puri Mangkunegaran yang baru. Jiwokusumo tampil menggantikan ayahandanya yang wafat 3 September silam. Upacara pengukuhan yang disaksikan 400-an tamu, kerabat istana, dan pejabat Kodya Surakarta: ini mengakhiri sebuah teka-teki yang beberapa lama menyelimuti lingkungan istana, sekaligus menandai runtuhnya sebuah tradisi tua. Gelar Mangkunagoro IX tak akan disandang Jiwo. Dan sebutan Adipati Ario tak lagi dianggap perlu. Sebagai Pengageng Puri Mangkunegaran, Jiwo memperoleh sebutan Kanjeng Gusti Pangeran Hario (K.G.P.H.) Mangkunagoro. Sebutan tadi berbeda dengan gelar mendiang ayahandanya: Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario (K.G.P.A.A.) Mangkunagoro VIII. Pada kesempatan itu, Dewan Pinisepuh, yang dibentuk oleh Almarhum Mangkunagoro VIII, dinyatakan telah berakhir masa baktinya. Sebagai penggantinya, dibentuk Dewan Pertimbangan yang beranggotakan 7 orang, diketuai oleh Mayjen (Pur.) Kanjeng Pangeran Hario (K.P.H.) Suryosumarso, kakak ipar Mendiang Mangkunagoro VIII. Perangkat pengelola Puri Mangkunegaran ini makin lengkap dengan hadirnya Gusti Raden Ayu (G.R.A.) Suryohadiningrat, putra tertua Mangkunagoro VIII, sebagai Kepala Rumah Tangga istana. G.R.A. Suryohadiningrat, nama lain dari Retno Satuti Rahadian Yamin, bertugas merawat kehidupan istana dengan segala upacara adatnya. Formasi baru itulah, antara lain, yang termuat dalam sebuah pernyataan resmi Istana yang diberi nama "Renungan Suci bagi Warga Puro Mangkunegaran". Materi "renungan suci" itu tampaknya memang sudah dikonsultasikan, termasuk dengan Presiden. Akhir September lalu, putra-putri Mangkunagoro VIII sowan ke Cendana. Mereka berangkat bersama dari rumah Retno Satuti, di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Pertemuan itu membicarakan soal manajemen baru Mangkunegaran, soal organisasi Istana, umpamanya, tentang rencana menjadikan Mangkunegaran sebagai "cagar budaya", juga kegiatan pariwisata. "Presiden Soeharto menyambut baik program Mangkunegaran," tutur Jiwo. Sebutan atau gelar pewaris istana ternyata tak dipersoalkan. "Presiden tak melarang sebutan Mangkunagoro IX. Semua diserahkan kepada kerabat Mangkunegaran," ujar Retno Satuti. Gelar Adipati pun tak soal. Namun, pihak Istana sendiri agaknya ingin melangkah secara aman. Sebab, ada kekhawatiran gelar MN IX dan adipati bisa mengundang persoalan di kemudian hari. "Kami tak ingin menciptakan kesan yang feodalistis dan kolonialistis," tutur sumber TEMPO di Mangkunegaran. Anggota kelompok "reformis" Mangkunegaran ini rupanya ingin memotong jejak sejarah. "Gelar Mangkunagoro I hingga VIII adalah angka politik dari zaman kolonial," ujarnya, "maka sudah saatnya diperbarui." Tokoh reformis ini ternyata punya rencana jauh ke depan. Pengganti Jiwo nanti, kata tokoh reformis ini, juga tak usah meneruskan tradisi lama, dengan gelar MN X, misalnya. "Saya usulkan sebutannya Jiwo Mangkunagoro," ujarnya. Bagi Jiwokusumo sendiri, urusan angka-angka di belakang nama Mangkunagoro itu tak penting benar. "Angka-angka itu bagi saya bukan soal prinsip," tuturnya. Gelar Adipati Ario, yang biasa digunakan di depan sebutan Mangkunagoro, kini juga dicopot dari pimpinan Mangkunegaran. Adipati Ario, dalam terminologi kerajaan Jawa, punya arti sebagai petinggi militer. "Lha, Mangkunegaran 'kan sekarang tak punya tentara," ujar sumber TEMPO. Gelar itu juga punya makna politik, sebagai sebutan bagi kepala daerah swapraja yang tingkatannya di bawah raja atau sultan. Tanpa sebutan Adipati Ario ataupun MN IX, kini Jiwo merasa tak akan canggung menggantikan posisi ayahandanya. Optimisme ini tak lepas dari restu Presiden atas program-program Mangkunegaran. "Memang, saya jadi lega setelah menghadap Pak Harto dan Bu Tien," kata Jiwo, "sebelumnya, berhari-hari saya gelisah." Begitu pula dengan Retno Satuti. "Hati ini plong rasanya. Segala beban jiwa telah sirna. Saya telah siap mengurus Mangkunegaran," katanya. Namun, tanpa gelar-gelar resmi itu, tidakkah pamor istana akan pudar? Pewarisan takhta di sebuah istana Jawa, sepanjang usia republik ini, baru terjadi di Mangkunegaran. Tiga raja lainnya: Paku Buwono XII di Surakarta, Hamengku Buwono IX, dan Paku Alam VIII, keduanya di Yogya naik takhta sebelum RI lahir. Sunan Paku Buwono, 64 tahun, naik takhta Juli 1944. Paku Alam, 77 tahun, dinobatkan sebagai raja 1937, sedangkan Sri Sultan Hamengku Buwono, 75 tahun, telah menjabat Sultan selama 47 tahun. Apa yang terjadi di Mangkunegaran tentu tak luput dari pengamatan: Kasunanan Surakarta. Munculnya Jiwo sebagai Pengageng Puro tanpa simbol angka dan gelar adipati tak menciptakan suara kontra. "Sebutan apa pun yang dipilih, itu menjadi hak Mangkunegaran sendiri, dan tentu sudah dirembuk," ujar Sunan Paku Buwono XII. Raja ini melihat perkembangan ini sebagai suatu kewajaran. "Dan itu memang pilihan yang terbaik," tambahnya. Prosedur konsultasi agaknya juga akan diikuti oleh Dinasti Paku Buwono untuk menentukan gelar penerusnya di zaman republik sekarang ini. "Tentang gelar, terserah hasil musyawarah kerabat Kasunanan dan restu pemerintah" ujar K.G.P.H. Hangabehi, calon kuat pengganti PB XII. Keadaan di Yogya pun kurang lebih sama: masih diliputi ketidakpastian. Belum ada keputusan resmi, siapa yang akan menggantikan Sri Sultan HB IX, juga PA VIII, apa gelarnya, apa wewenangnya. Namun, yang pasti, dua raja di Yogya ini menginginkan dinastinya berlanjut. "Gelar Sultan Hamengku Buwono akan tetap ada turun-temurun," ujar Hamengku Buwono IX di Padang, bulan lalu. Hanya saja, menurut ancer-ancer Sultan, fungsinya tidak harus sebagai kepala daerah, seperti dijamin UU no. 3 tahun 1950 tentang Daerah Istimewa Yogyakarta, melainkan sebatas sebagai kepala keluarga Kasultanan dengan tugas melestarikan keraton dan peran budayanya. Putut Tri Husodo (Jakarta) bersama Kastoyo Ramelan (Biro Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus