DINASTI Mataram menyisakan empat kerajaan kecil di Jawa sampai awal abad ke-20 ini. Dua di Surakarta, Kasunanan dan Mangkunegaran, dua lainnya di Yogyakarta, yaitu Kasultanan dan Pakualaman. Di masa penjajahan Belanda dan Jepang, kedaulatan raja-raja Mataram ini praktis berada di bawah dominasi penjajah. Jangan harap raja bisa duduk aman di singgasana tanpa restu pemerintah penjajah. Bahkan, "Yang berhak memberikan gelar kepada raja adalah Gubernur Jenderal," tutur Mr. Kanjeng Pangeran Hario Soedarisman Poerwokoesoemo, penasihat hukum Sultan Hamengku Buwono IX. Langsung atau tak langsung, Belanda ikut mengatur kualifikasi putra makota, bahkan ikut mengatur pemberian gelar-gelar keraton. Tahun 1927, Gubernur Jenderal J.E. Jasper, umpamanya, mengeluarkan peraturan tentang gelar-gelar di lingkungan Kasultanan Yogya. Dalam peraturan yang dikenal dengan nama Rechtblaad 1927 ini ada ketentuan bahwa seorang putra makota Kasultanan diberi gelar Kanjeng Gusti Pangeran Anom. Jika raja wafat, secara otomatis putra makota memiliki hak penuh untuk menggantikan raja, termasuk mewarisi gelar-gelarnya. "Rechtblaad 1927 ini mestinya masih berlaku, karena tak pernah dihapus," kata Soedarisman. Namun, kedua kerajaan ini tak lagi mengikuti Rechtblaad 1927. Buktinya, kendatipun telah memangku jabatan sekitar setengah abad, kedua raja Yogya ini tak jua mengangkat seorang Adipati Anom. Di Surakarta keadaannya sama. Jiwokusumo, misalnya, tak pernah secara resmi diangkat sebagai putra makota. Gelar K.G.P.H., yang dia sandang tak lama setelah kakak sulungnya Radityo meninggal, 1977, bukanlah gelar resmi putra makota. Hangabehi, yang sering disebut sebagai calon pengganti PB XII di Kasunanan, juga tak diangkat secara formal sebagai Adipati Anom. Yang terjadi kemudian, di zaman republik ini, adalah musyawarah kerabat keraton. Jiwo, umpamanya, diangkat sebagai pimpinan kerabat Mangkunegaran berdasarkan rapat keluarga yang dihadiri putra-putri Mangkunagoro VIII dan kerabat dekat. Tradisi keraton memang menjadi kagok ketika berhadapan dengan zaman baru. Pemerintah atau DPR hingga kini belum sempat membuat UU untuk mengatur keraton dan penghuninya. Yang ada cuma UU No. 3 tahun 1950 tentang Status dan Pemerintahan Daerah Gabungan Kasultanan dan Pakualaman. Namun, UU itu pun belum menyentuh seluk beluk kehidupan keraton dan penghuninya tentang gelar, umpamanya. Sesungguhnya, menurut Mr. Soedarisman, pemerintah RI berhak membuat dan memberikan gelar terhadap raja-raja Mataram. Alasannya: dulu pemerintah Hindia Belanda yang memberi dan mengesahkan gelar raja. "Sekarang pemerintah RI-lah yang berhak memberikan, sebab dialah pewaris pemerintah Belanda," ujarnya. Prof. Padmo Wahjono, guru besar hukum tata negara UU, malah berpendapat, generasi penerus di keraton-keraton Jawa itu agar terus memakai gelar leluhurnya. Jiwokusumo, misalnya, dipersilakan menyandang gelar Mangkunagoro IX. "Supaya dia lebih merasa bertanggung jawab terhadap budaya Mangkunegaran," ujarnya. Ahli hukum tata negara itu tak melihat benturan hukum apa pun dengan pemakaian gelar Mangkunagoro IX atau Hamengku Buwono X. "Biar saja gelar-gelar itu digunakan. Toh, di Amerika, yang tak ada kerajaan, punya Henry Ford I dan II," ujar Prof. Padmo menyebut jutawan Amerika itu sambil tertawa. Jika pemberian gelar kebangsawanan itu diatur dan diberikan oleh Presiden, guru besar ilmu hukum ini setuju. "Pasal 15 UUD 1945 menyebut, presiden berhak memberikan gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan," tuturnya. Gelar ternyata tak hanya milik orang Jawa. "Di Minang ada gelar Sutan Dilangit, juga Sutan Bagindo Dirajo. Biarkan saja gelar raja Jawa diteruskan. Ini 'kan melestarikan budaya," kata Prof. Ismail Suny, ahli hukum tata negara UI. Soal gelar itu menurut dia, tak perlu disengketakan. Yang layak dipersoalkan justru UU No. 3 Tahun 1950 itu. Apakah jabatan Sultan HB IX sebagai kepala daerah dan Paku Alam VIII sebagai wakil bisa diturunkan? Menurut Padmo Wahjono, soal ini perlu dikaji lagi. "Jasa Sri Sultan dulu adalah pribadi sifatnya, tak membawa kerajaan," tuturnya. Putut Tri Husodo (Jakarta), Slamet Subagyo (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini