Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Jumat pagi, 26 April 2019, menjelang pukul 08.30, Kepala Sekolah Luar Biasa atau SLB Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam (Yaketunis) Kota Yogyakarta, Andarini Eka memencet tombol alarm di samping pintu kantor kepala sekolah. Suara alarm menguar. Anak-anak tunanetra yang sedang belajar di tiga kelas langsung bereaksi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada siswa yang berdesakan masuk ke kolong meja. Ada yang memegang buku di atas kepala. Ada yang memasukkan kepala ke dalam kardus. Ada juga siswa yang berbaring karena menyandang multiple disability with visual impairment, meliputi difabel netra, wicara, dan autistik.
Andarini kemudian memberi aba-aba. “Ayo, menuju titik kumpul!” ucapnya dengan suara lantang. Sekitar 20 anak perlahan keluar ruang kelas dengan bimbingan para guru yang juga tunanetra. Mereka berjalan sembari melindungi kepala dengan tas atau buku tebal. Pohon belimbing di halaman sekolah menjadi area titik kumpul.
Andarini mengecek satu per satu ruang kelas untuk memastikan tidak ada murid yang tertinggal. Namun di satu ruangan, dia melihat seorang siswa bersama guru yang juga difabel netra. “Kenapa masih di dalam kelas, Bu?” tanya Andarini kepada guru tersebut. “Anaknya enggak bisa jalan. Saya di sini menemani," ucap guru.
Para siswa dan guru SLB Yaketunis Yogyakarta menjalani simulasi gempa pada, Jumat, 26 April 2019. TEMPO | Pito Agustin Rudiana
Andarini langsung membopong Faza keluar ruangan. Guru itu mengikuti. Anak-anak lainnya masih berkumpul di bawah pohon belimbing. Mereka bersendau gurau bersama teman dan gurunya. Andarini dibantu guru yang lain mengabsen muridnya satu per satu. Andarini kemudian memberi aba-aba kepada mereka untuk ke luar sekolah menuju titik kumpul berikutnya.
Para siswa kembali riuh. Mereka berjalan bersama-sama keluar gerbang sekolah, masih dengan tas dan buku di atas kepala. Mereka berjalan sembari berpegangan pada pundak temannya sehingga membentuk deretan ke belakang.
Di sebuah warung roti bakar yang berjarak sekitar 50 meter dari sekolah, mereka berhenti. Di situlah titik kumpul yang disepakati. “Alhamdulillah selamat semua. Istirahat sambil menunggu bantuan dari luar. Kami akan menghubungi orang tua kalian,” kata Andarini. Itu adalah proses simulasi gempa yang digelar SLB Yaketunis Yogyakarta dalam memperingati Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional.
Para siswa dan guru SLB Yaketunis Yogyakarta menjalani simulasi gempa pada, Jumat, 26 April 2019. TEMPO | Pito Agustin Rudiana
Siswi Kelas I Madrasah Tsanawiyah (MTs) Yaketunis Yogyakarta yang turut bergabung dalam simulasi bencana, Farah Mujahiddah Setyaningrum, 14 tahun, mengatakan simulasi ini bermanfaat agar tidak panik saat terjadi bencana.
“Dulu waktu terjadi gempa, saya panik dan lari sampai beberapa kali terpeleset. Kalau ada simulasi seperti ini, saya tahu ke mana harus pergi menyelamatkan diri," ucap Farah yang pernah merasakan gempa pada 2014.
Artikel lainnya:
Mengenal Sindrom Usher Penyebab Tuli dan Buta Secara Bersamaan
Lantaran berasal dari sekolah yang berbeda, Farah dan beberapa teman sesama tunanetra dari MTs menjalani orientasi lingkungan dulu setiba di SLB. Dia dan teman-temannya belajar mengenali lokasi titik kumpul dan lingkungan sekitar ruang kelas. “Yang penting jangan panik," kata Farah.