Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
BPS pada Senin, 15 Juli 2024, merilis laporan hasil survei IPAK 2024.
Hasil survei menunjukkan bahwa masyarakat makin permisif terhadap perilaku korupsi.
Berkelindan dengan pelemahan KPK.
PENURUNAN skor Indeks Perilaku Anti-Korupsi atau IPAK pada 2024 menunjukkan bahwa masyarakat semakin permisif terhadap perilaku korupsi. Sikap permisif tersebut timbul akibat banyaknya pejabat yang korupsi dan buruknya tata kelola pemerintahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Danang Widoyoko tak terkejut manakala membaca laporan media di telepon selulernya perihal menurunnya skor IPAK pada 2024 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) ini sudah menduga menurunnya skor IPAK itu dibanding tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, penurunan indeks tersebut merupakan buah dari buruknya perilaku pejabat negara yang acapkali tersandung kasus korupsi. Perilaku koruptif pejabat berkelindan dengan kekuasaan. Masyarakat juga melihat perilaku pejabat melalui dua indikator, yakni pengalaman dan persepsi. “Masyarakat kita maternalistik, cenderung meniru perilaku pejabat,” ujar Danang saat dihubungi Tempo pada Rabu, 17 Juli 2024.
Dengan sifat maternalistik tersebut, kata Danang, semestinya pejabat negara sadar untuk menjadi figur yang lebih baik. Sebab, masyarakat memandang mereka sebagai preseden, entah dalam hal baik maupun sebaliknya. “Tidak mengherankan jika masyarakat permisif terhadap perilaku koruptif. Sebab, pejabat cenderung melegitimasi perilaku tersebut,” ujarnya.
Ilustrasi memberi uang suap. Dok.TEMPO/Kink Kusuma Rein
BPS pada Senin, 15 Juli 2024, merilis laporan hasil survei IPAK 2024. Laporan tersebut menunjukkan skor IPAK 2024 mengalami penurunan ketimbang tahun lalu. Indeks pada tahun lalu mencatatkan skor 3,92, tapi pada tahun ini menjadi 3,85 atau turun 0,07 poin.
Deputi Statistik Sosial BPS Ateng Hartono menjelaskan, pengukuran IPAK dilakukan pada skala 0-5 poin. Semakin tinggi mendekati angka 5, masyarakat dinilai berperilaku semakin antikorupsi. Sebaliknya, mendekati nol menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin permisif terhadap perilaku koruptif.
Survei dilakukan dengan mengacu pada dua dimensi, yakni indeks persepsi dan indeks pengalaman. Dimensi indeks persepsi meliputi persepsi keluarga, komunitas, dan publik. Adapun dimensi indeks pengalaman meliputi pengalaman publik dan pengalaman lainnya. Cakupan survei meliputi perilaku antikorupsi seperti suap, gratifikasi, pemerasan, dan nepotisme.
Menurut Ateng, pada indeks persepsi keluarga terdapat 6 dari 8 indikator yang mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat makin permisif terhadap perilaku antikorupsi. Indikator yang dimaksudkan, Ateng menyebutkan, salah satunya adalah indeks persepsi dalam keluarga manakala seseorang menerima uang tambahan dari pasangannya tanpa mempertanyakan asal-muasal sumbernya. Indikator ini turun sebanyak 3,6 persen dari tahun sebelumnya yang mencatatkan skor 75,58 persen.
Indikator lainnya, persepsi tidak wajar terhadap seseorang yang memanfaatkan hubungan keluarga dalam seleksi penerimaan murid atau mahasiswa baru. Indeks persepsi pada 2024 dengan indikator ini turun 3,38 persen dari skor 75,27 persen pada tahun sebelumnya.
Pada indeks persepsi komunitas, sebanyak 3 dari 5 indikator juga mengalami penurunan. Ateng menuturkan, misalnya, persepsi tidak wajar terhadap kelompok atau lembaga yang menerima hibah tanpa mempertanyakan sumbernya. Indeks pada tahun ini mengalami penurunan 1,96 persen dari capaian skor 85,90 persen pada tahun sebelumnya.
Ateng melanjutkan, penurunan indikator terbanyak terjadi pada indeks persepsi publik. Terdapat 12 dari 14 indikator yang mengalami penurunan pada tahun ini. Persepsi tidak wajar yakni berkolusi ketika membantu orang lain agar diterima pada sekolah tempat tenaga pendidikan bekerja. Indeks persepsi tersebut menurun sekitar 7,02 persen dari tahun sebelumnya yang mencatatkan skor 72,52 persen. "Makin rendah skor indeks persepsi menunjukkan makin permisifnya masyarakat,” ucap Ateng.
Dari sisi indeks pengalaman publik, persentase masyarakat yang membayar uang sesuai dengan ketentuan ketika berurusan dengan layanan publik mengalami penurunan 0,84 persen dari skor pada tahun lalu yang mencapai 83,67 persen.
Indeks pengalaman lainnya yakni dalam konteks masyarakat pernah ditawari hadiah untuk memilih kandidat tertentu dalam pemilihan kepala daerah. Indeks ini secara signifikan meningkat dari 6,17 persen pada 2023 menjadi 46,77 persen pada 2024 atau naik 40,60 persen. “Tapi peningkatan ini bukan peningkatan dalam hal yang baik,” ucap Ateng.
Ateng menegaskan, perlu adanya pendidikan antikorupsi yang lebih masif, terutama kepada petugas dan masyarakat. Hal ini agar masyarakat memiliki kesadaran terhadap antikorupsi dari skala yang paling kecil. “Ini perlu dilakukan karena masih banyak masyarakat yang membayar uang melebihi ketentuan saat mengakses layanan publik,” ujar Ateng.
Dihubungi secara terpisah, pakar hukum tata negara Herdiansyah Hamzah mengatakan bahwa menurunnya skor IPAK tersebut bakal berdampak pada berubahnya pola hidup dan pemikiran masyarakat. Sikap permisif tersebut membuat masyarakat menilai hal yang wajar untuk melakukan tindakan korupsi dalam skala kecil. Misalnya memberi uang tip atau bahkan suap kepada petugas ketika menggunakan fasilitas layanan publik.
Alih-alih menjadi kelompok yang resistan terhadap perilaku koruptif, kata dia, masyarakat malah dipaksa menjadi bagian dari mereka yang melakukan praktik lancung tersebut. Salah satu contoh yakni menerima uang atau barang sebagai imbalan menukar suara dalam kontestasi elektoral.
Menurut Herdiansyah, dampaknya bukan hanya menjadikan masyarakat permisif terhadap perilaku antikorupsi. Masyarakat juga kehilangan hak dan hasrat untuk berpartisipasi dalam membuat kebijakan. Sebab, pejabat terpilih dalam kontestasi elektoral merasa telah membeli suara masyarakat.
Dampak lain dari menurunnya skor IPAK, menurut pengajar di Universitas Mulawarman itu, melanggengnya praktik diskriminatif di ruang-ruang fasilitas layanan publik. Misalnya, kata dia, masyarakat yang mampu membayar uang lebih banyak di luar biaya yang ditentukan cenderung diprioritaskan oleh petugas. Sedangkan mereka yang tidak membayar uang lebih banyak cenderung dilayani dengan sikap biasa-biasa saja. “Ini melanggengnya praktik ketidakadilan,” ucap Herdiansyah.
Berkelindan dengan Pelemahan KPK
Dalam kesempatan terpisah, Staf Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Yassar Aulia mengatakan, menurunnya skor IPAK dan stagnannya indeks persepsi korupsi pada tahun ini berkelindan dengan dilemahkannya Komisi Pemberantasan Korupsi. Pelemahan komisi antirasuah, menurut pegiat antikorupsi ini, berdampak signifikan terhadap cara pandang masyarakat dalam menghadapi perilaku antikorupsi. Masyarakat akan menilai hal yang biasa terhadap melemahnya jerat hukuman bagi koruptor.
Hilangnya independensi KPK setelah disahkannya revisi Undang-Undang KPK pada 2019, kata Yassar, menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum. Walhasil, masyarakat merasa tidak memiliki ketakutan dan tanggung jawab dalam menerapkan budaya antikorupsi. “Dalam kasus pemerasan yang dilakukan mantan Ketua KPK Firli Bahuri, hal ini tentu berdampak pada rusaknya kepercayaan masyarakat terhadap KPK,” kata Yassar.
Danang Widoyoko mengatakan hal senada. Dia menilai pelemahan terhadap KPK menjadi penyebab utama menurunnya kepedulian masyarakat terhadap perilaku antikorupsi. Danang menilai hal lain, misalnya dugaan nepotisme dalam putusan Mahkamah Konstitusi saat pencalonan Gibran Rakabuming Raka dalam kontestasi pemilihan presiden, turut menyebabkan abainya masyarakat terhadap perilaku antikorupsi.
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya melanggengkan jalan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, melaju sebagai wakil presiden dalam kontestasi pilpres. Putusan tersebut diketok Anwar Usman, paman Gibran. Anwar terikat perkawinan dengan Idayati, adik Jokowi.
Menurut Danang, hilangnya kepastian hukum setelah keluarnya putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi menyebabkan masyarakat tak peduli karena tidak ada preseden yang baik untuk ditiru. “Bukan hal yang pelik jika skornya menurun. Toh, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme masih saja terjadi,” ujarnya.
Juru bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 14 Juni 2024. TEMPO/Imam Sukamto
Adapun juru bicara KPK, Tessa Mahardika, mengatakan komisi antirasuah tetap gencar melakukan pendekatan, pencegahan, dan pendidikan antikorupsi kepada masyarakat. KPK juga terus melakukan penindakan untuk memberikan efek jera bagi koruptor.
Dalam pendidikan antikorupsi, KPK terus melakukan berbagai program sosialisasi dan kampanye bagi masyarakat, pemerintahan, serta institusi pendidikan. Pada momentum tertentu, misalnya kontestasi elektoral, Tessa mengatakan, lembaganya gencar melakukan kampanye agar masyarakat tidak menerima uang yang kerap disebut sebagai serangan fajar. KPK juga melakukan berbagai kegiatan pendidikan politik berintegritas lainnya.
Dalam upaya pencegahan, KPK melakukan kajian dan mengukur risiko korupsi di institusi pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah melalui survei penilaian integritas (SPI). KPK juga terus mendorong pejabat negara agar patuh mengisi laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), disertai supervisi pemerintah pusat dan daerah. “Soal perbaikan pelayanan publik, KPK melakukan monitoring melalui instrumen monitoring centre for prevention,” kata Tessa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo