SELAMA sembilan hari sampai 19 November, Gubernur Kal-Sel
Brigjen. Haji Soebardjo Soerosarojo, 52 uhun, memanfaatkan
hari-hari terakhir masa jabatannya. Ia keliling 11 kabupaten dan
kotamadya untuk berpamitan, setelah 10 tahun memimpin Kal-Sel.
Masa jabatan Soebardjo yang kedua habis 18 Oktober lalu dan
segera akan digantikan Brigjen Mistar Tjokrokoesoemo, 54 tahun,
yang selama lima tahun terakhir menjadi Pangdam X/Lambung
Mangkurat, Kal-Sel. Selama bertugas di Kal-Sel, tampaknya
Soebardjo cukup puas.
Sepuluh tahun lalu, Soebardjo mengawali masa )abatannya yang
pertama dengan menanggulangi keadaan ekonomi daerah yang
morat-marit. Ketika itu harga karet--sumber keuangan utama
Kal-Sel secara tradisional--anjlok. Soebardjo segera menoleh
areal persawahan yang luasnya meliputi 300 ribu ha. Celakanya,
dari jumlah areal itu hanya 5.000 ha saja yang berpengairan
teknis. Selebihnya sawah tadah hujan, tegalan dan sawah
pasang-surut.
Tak kurang dari empat tahun penuh ia gunakan buat meyakinkan
para petani, agar suka menggunakan traktor di sawah-sawah.
Semula para petani menolak. "Sapi besi mustahil meningkatkan
produksi padi," tutur Soebardjo mengutip para petani. Akhirnya
usaha mekanisasi pertanian itu berhasil juga.
Dari 350.000 ton produksi padi pada awal masa jabatannya
yang pertama, empat tahun kemudian membengkak jadi hampir
600.000 ton. Dan sekarang naik lagi sampai 800.000 ton dari
semua areal persawahan yang ada yaitu 300 ribu ha--baik yang
berpengairan teknis maupun yang tidak. Di akhir Pelita III
nanti, diharapkan produksi itu mencapai 1 juta ton.
"Koboi"
Dengan produksi 800.000 ton sekarang, Kal-Sel sudah mampu
mencukupi kebutuhan pangan dua juta jiwa penduduknya. "Bahkan
selama ini kami malah sudah bisa memenuhi sebagian kebutuhan
Kal-Tim dan Kal-Teng," kata Soebardjo.
Dan Soebardjo nampaknya tak begitu hirau akan hal itu. Ia
masih asyik untuk meningkatkan produksi sayurmayur dan daging
yang selama ini masih didatangkan dari Ja-Tim. Sejak lima tahun
lalu ia bertekad mengatasi kekurangan daging. "Apalagi Kal-Sel
bebas penyakit yang biasa menyerang sapi," katanya.
Daerah ini memang punya padangilalang seluas 600 ribu ha.
Areal yang dianggap baik buat tempat penggembalaan ternak itu
kini tinggal separuhnya karena orang mulai banyak beternak sapi.
Lima tahun berselang di Kal-Sel terca tat 30.000 ekor sapi,
jumlah itu kini menjadi dua kali lipat. Mungkin itu sebabnya di
tingkat nasional Kal-Sel terpilih sebagai salah satu daerah
pengembangan sapi.
Soebardjo sendiri dikenal sebagai peternak besar. Di
ranch-nya yang luas di Kampung Imban, ia berhasil membiakkan
ribuan ternak dengan kawin-suntik. Seperti halnya dengn produksi
padi Soebardjo juga yakin Kal-Sel mampu membantu daging buat
Kal-Teng dan Kal-Tim. Kini jejaknya sebagai "koboi" mulai
diikuti orang-orang berduit di daerah ini.
Itu semua cerita sukses belaka. Soebardjo sendiri tidak
menutup-nutupi usahanya yang belum berhasil. Misalnya membimbing
petani bertanam cengkih dan lada -- buat menggantikan peranan
karet yang merosot. Masyarakat memang menyambut anjuran
gubernurnya untuk bertanam cengkih dan lada. "Tapi banyak yang
telantar karena petani kurang mampu memeliharanya," tutur
Soebardjo.
Api di musim kcmarau selalu membakar hutan dan kebun cengkih
penduduk Kal-Sel. Api ini pula yang menggagalkan usaha
penghijauan, hingga reboisasi yang berhasil hanya sekitar 30%.
Soebardjo juga mengakui kegagalannya menyetop perladangan liar,
yang antara lain dilakukan dengan membakar hutan pula.
Paling tidak ada beberapa warisan Soebardjo di Kal-Sel yang
dianggap belum rampung diselesaikannya. Misalnya memanfaatkan
Ambang Barito, yang sudah dikeruk dengan biava APBN. Semula ada
harapan, setelah mbang Barito dikeruk mampu menumbuhkan
industri, terutama untuk melancarkan pengangkutan kayu
gelondongan.
Belakangan, lima tahun setelah pengerukan, Ambang Barito
tidak bisa di manfaatkan. Hampir tak ada kapal-kapal yang
keluar-masuk Pelabuhan Trisakti, Banjarmasin, karena tak ada
barang yang bisa dibawa dari Kal-Sel. Akibatnya muara sungai
besar itu mendangkal lagi akibat timbunan lumpur. Lumpur itu
pun cepat mengendap justru karena tak ada kapal lewat.
Sekarang jangankan kapal berbobot mati 10.000 ton bobot mati
lewat di sana, yang 4.000 saja repot meloloskan diri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini