Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Soebarjo Tanpa Karet

Gubernur Kal-sel, Soebardjo mengakhiri masa jabatannya & menyerahkan jabatannya kepada Brigjen Mistar Tjokrokoesoemo. hasil karya gubernur soebardjo selama 10 tahun dalam masa jabatannya memuaskan.

29 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELAMA sembilan hari sampai 19 November, Gubernur Kal-Sel Brigjen. Haji Soebardjo Soerosarojo, 52 uhun, memanfaatkan hari-hari terakhir masa jabatannya. Ia keliling 11 kabupaten dan kotamadya untuk berpamitan, setelah 10 tahun memimpin Kal-Sel. Masa jabatan Soebardjo yang kedua habis 18 Oktober lalu dan segera akan digantikan Brigjen Mistar Tjokrokoesoemo, 54 tahun, yang selama lima tahun terakhir menjadi Pangdam X/Lambung Mangkurat, Kal-Sel. Selama bertugas di Kal-Sel, tampaknya Soebardjo cukup puas. Sepuluh tahun lalu, Soebardjo mengawali masa )abatannya yang pertama dengan menanggulangi keadaan ekonomi daerah yang morat-marit. Ketika itu harga karet--sumber keuangan utama Kal-Sel secara tradisional--anjlok. Soebardjo segera menoleh areal persawahan yang luasnya meliputi 300 ribu ha. Celakanya, dari jumlah areal itu hanya 5.000 ha saja yang berpengairan teknis. Selebihnya sawah tadah hujan, tegalan dan sawah pasang-surut. Tak kurang dari empat tahun penuh ia gunakan buat meyakinkan para petani, agar suka menggunakan traktor di sawah-sawah. Semula para petani menolak. "Sapi besi mustahil meningkatkan produksi padi," tutur Soebardjo mengutip para petani. Akhirnya usaha mekanisasi pertanian itu berhasil juga. Dari 350.000 ton produksi padi pada awal masa jabatannya yang pertama, empat tahun kemudian membengkak jadi hampir 600.000 ton. Dan sekarang naik lagi sampai 800.000 ton dari semua areal persawahan yang ada yaitu 300 ribu ha--baik yang berpengairan teknis maupun yang tidak. Di akhir Pelita III nanti, diharapkan produksi itu mencapai 1 juta ton. "Koboi" Dengan produksi 800.000 ton sekarang, Kal-Sel sudah mampu mencukupi kebutuhan pangan dua juta jiwa penduduknya. "Bahkan selama ini kami malah sudah bisa memenuhi sebagian kebutuhan Kal-Tim dan Kal-Teng," kata Soebardjo. Dan Soebardjo nampaknya tak begitu hirau akan hal itu. Ia masih asyik untuk meningkatkan produksi sayurmayur dan daging yang selama ini masih didatangkan dari Ja-Tim. Sejak lima tahun lalu ia bertekad mengatasi kekurangan daging. "Apalagi Kal-Sel bebas penyakit yang biasa menyerang sapi," katanya. Daerah ini memang punya padangilalang seluas 600 ribu ha. Areal yang dianggap baik buat tempat penggembalaan ternak itu kini tinggal separuhnya karena orang mulai banyak beternak sapi. Lima tahun berselang di Kal-Sel terca tat 30.000 ekor sapi, jumlah itu kini menjadi dua kali lipat. Mungkin itu sebabnya di tingkat nasional Kal-Sel terpilih sebagai salah satu daerah pengembangan sapi. Soebardjo sendiri dikenal sebagai peternak besar. Di ranch-nya yang luas di Kampung Imban, ia berhasil membiakkan ribuan ternak dengan kawin-suntik. Seperti halnya dengn produksi padi Soebardjo juga yakin Kal-Sel mampu membantu daging buat Kal-Teng dan Kal-Tim. Kini jejaknya sebagai "koboi" mulai diikuti orang-orang berduit di daerah ini. Itu semua cerita sukses belaka. Soebardjo sendiri tidak menutup-nutupi usahanya yang belum berhasil. Misalnya membimbing petani bertanam cengkih dan lada -- buat menggantikan peranan karet yang merosot. Masyarakat memang menyambut anjuran gubernurnya untuk bertanam cengkih dan lada. "Tapi banyak yang telantar karena petani kurang mampu memeliharanya," tutur Soebardjo. Api di musim kcmarau selalu membakar hutan dan kebun cengkih penduduk Kal-Sel. Api ini pula yang menggagalkan usaha penghijauan, hingga reboisasi yang berhasil hanya sekitar 30%. Soebardjo juga mengakui kegagalannya menyetop perladangan liar, yang antara lain dilakukan dengan membakar hutan pula. Paling tidak ada beberapa warisan Soebardjo di Kal-Sel yang dianggap belum rampung diselesaikannya. Misalnya memanfaatkan Ambang Barito, yang sudah dikeruk dengan biava APBN. Semula ada harapan, setelah mbang Barito dikeruk mampu menumbuhkan industri, terutama untuk melancarkan pengangkutan kayu gelondongan. Belakangan, lima tahun setelah pengerukan, Ambang Barito tidak bisa di manfaatkan. Hampir tak ada kapal-kapal yang keluar-masuk Pelabuhan Trisakti, Banjarmasin, karena tak ada barang yang bisa dibawa dari Kal-Sel. Akibatnya muara sungai besar itu mendangkal lagi akibat timbunan lumpur. Lumpur itu pun cepat mengendap justru karena tak ada kapal lewat. Sekarang jangankan kapal berbobot mati 10.000 ton bobot mati lewat di sana, yang 4.000 saja repot meloloskan diri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus