Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Soeharto Korupsi, Soeharto (Sulit) Diadili

Sebagian besar temuan praktek KKN di sembilan departemen menunjukkan keterlibatan Cendana. Tapi kenapa Soeharto masih sulit diadili?

4 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERINTAHAN Habibie sedang punya gawe besar. Labelnya: pemberantasan KKN. Sebuah pekerjaan penting, tak hanya untuk masyarakat yang sudah lama muak dengan praktek haram itu, tapi juga bagi kredibilitas pemerintahan Habibie sendiri, yang dinilai masih menjadi bagian rezim korup Soeharto. Apakah ini hanya proyek gincu? Selasa pekan lalu, di Istana Merdeka, Jakarta, Menteri Koordinator Bidang Wasbang dan PAN, Hartarto, membantahnya. ''Banyak yang salah tangkap, seolah-olah ini hanya public relation," tegasnya. Hari itu, sembilan menteri dan pejabat tinggi berderetan mengumumkan temuan penelitan KKN di instansinya. Selain Hartarto, mereka adalah Menteri Kehutanan Perkebunan, Menteri Negara Pendayagunaan BUMN, Menteri Perhubungan, Menteri Pertambangan dan Energi, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Negara Agraria/Kepala BPN, Jaksa Agung, dan Kepala BPKP. Hartarto memaparkan berbagai langkah yang telah diambil, dari pencabutan keppres, pembatalan proyek, perundingan ulang, pelimpahan perkara korupsi ke Kejaksaan Agung, hingga pemecatan sejumlah pejabat. Adapun hasil temuannya, total jenderal kerugian negara di delapan instansi pelat kuning itu mencapai Rp 2,8 triliun, dan yang bisa dikembalikan ke negara hanya Rp 345 miliar. Dengan berbagai langkah pemangkasan di atas, uang negara yang berhasil diselamatkan mencapai Rp 9,2 triliun. Ini adalah pengumuman tahap kedua yang mencakup praktek KKN secara menyeluruh. Berbeda dengan pembeberan tahap pertama pada September lalu, yang lebih ditujukan terhadap mantan presiden Soeharto beserta keluarga dan kroninya, kali ini, ''Tidak hanya menyangkut Keluarga Cendana, tapi juga para pejabat dan mantan pejabat lainnya," kata Hartarto. Walau begitu, belalai gurita Cendana melilit erat di hampir semua proyek. Dari proyek-proyek KKN yang dibatalkan Menteri Tanri Abeng saja, misalnya, ada 55 dari total 79 perusahaan (70 persen) yang terkait dengan Cendana. Anehnya, para menteri masih terkesan menutup-nutupi temuan itu. Selain laporan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN dan Menteri Pertambangan dan Energi, tidak ada yang secara jelas menyebutkan nama perusahaannya. Kabarnya, karena ada ''pesan sponsor" dari Presiden Habibie agar nama-nama perusahaan itu, yang banyak terkait ke Cendana, tidak perlu digenjot kencang ke publik. Satu jam sebelumnya, para menteri itu memang melaporkan terlebih dulu hasil temuannya kepada Habibie. Walau hal ini dibantah Hartarto, ''Tidak ada tekanan dari Presiden karena juga ada pencabutan keppres mengenai IPTN." Demikian pula dengan Menteri Tanri Abeng, ''Ketika itu kita hanya melapor dan tidak ada satu pun petunjuk dari Presiden." Dan, soal apakah di pertemuan itu ada penekanan khusus soal proyek Cendana, Tanri cuma menyatakan, ''Tidak secara spesifik. Tapi semua orang tahu banyak kasus ini yang terkait dengan Cendana." Tapi segunung temuan itu rupanya belum juga membawa kemajuan berarti dalam kasus Soeharto. Menurut Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Antonius Sujata, sampai sekarang kasusnya masih dalam tahap penyelidikan. ''Bendahara yayasan dan yang terlibat dalam kebijakan mobnas belum semua diperiksa," jelasnya. Jaksa Agung A.M. Ghalib sendiri mengungkapkan masih akan memanggil beberapa nama lagi, baik mantan menteri maupun bendahara yayasan Soeharto lainnya. Salah satunya adalah Tutut, selaku Bendahara Yayasan Gotong Royong. ''Akan kita lihat, apakah nanti mereka bisa mengarahkan HMS (maksudnya Soeharto) menjadi tersangka atau tidak," jelasnya. Sementara itu, Ketua Gerakan Masyarakat Peduli Harta Negara (Gempita), Albert Hasibuan, menilai bahwa data yang dipaparkan para menteri itu belum lengkap. Terutama, soal siapa yang mendapat keuntungan dari penghisapan harta negara itu, kendati semua orang tahu setiap proyek besar tak mungkin lepas dari jamahan Cendana. Padahal, kalau Kejaksaan Agung menyatakan proses peradilan Soeharto sudah bersifat pro-justicia, pencarian data yang lengkap akan menjadi lebih mudah. ''Kejaksaan bisa memintanya, dan harus dipenuhi oleh departemen mana pun," tegasnya. Ganjalannya, menurut Albert, justru terletak pada Tap MPR No. XI/1998 yang menerapkan asas praduga tak bersalah. Padahal, terhadap kebanyakan pelaku korupsi seperti Soeharto di banyak negara, seperti Malaysia, yang diterapkan adalah asas praduga bersalah. Sehingga, orang yang dalam posisi diduga bersalah harus melakukan pembuktian terbalik. Kalau saja itu terjadi, Soeharto akan lebih mudah diseret ke pengadilan. Karaniya Dharmasaputra, Ahmad Fuadi, Arif A. Kuswardono, Hardy R. Hermawan, Purwani D. Prabandari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus