GURUH Soekarno Putra berada di depan, dalam mobil pikap. Ia agak tersembunyi. Di belakangnya dua mobil terbuka memajang gambar Bung Karno, dijejali belasan anak-anak muda berbaju merah dan hitam. "Hidup PDI . . .," teriak anak-anak muda itu sepanjang jalan. Yang cewek, melambaikan selendang merah putih, seperti sapu tangan Pramuka. Inilah anak-anak Swara Maharddhika - grup kesenian anak-anak muda pimpinan Guruh. Pada hari terakhir kampanye PDI di Ibu Kota, bulan lalu itu, kelompok Swara Maharddhika (SM) ikut ambil bagian. "Kami datang sebagai pribadi. Mas Guruh nggak nyuruh, dan Swara Maharddhika tetap netral," ujar Sitta Kirana, 20, seorang dari penumpang mobil berkepala banteng itu. Hari itu, mereka seolah mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan simpatinya terhadap Pahlawan Proklamator. "Kami merindukan suasana perjuangan, kami memerlukan tokoh sebagai simbol perjuangan," tutur seorang penumpang mobil bergambar Bung Karno. Anak-anak muda itu berkumpul dan bertolak ke medan kampanye dari rumah kediaman Guruh di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru, Jakarta. Hampir 10 tahun sudah, rumah besar itu dijadikan markas SM, sebelum menyewa markas baru awal tahun ini. Di rumah Almarhumah Fatmawati itu, mereka memperoleh kesempatan mengenal sejarah dan pribadi Bung Karno yang dulu juga dikenal sebagai Bung Besar - sosok tokoh yang tak pernah mereka sangsikan sendiri. "Mas Guruh biasanya memberikan ceramah menjelang latihan," tutur Sitta, Ketua I SM. Dalam kelompok seni yang beridentitas gedongan itu, Guruh tak hanya mengajar menali dan bernyanyi. "Kami juga menekankan pada dua hal, soal moral dan intelektual," ujar Guruh. Dan, dari mana lagi dua hal itu diambil oleh Guruh, bila tidak dari bapaknya? "Saya pikir dari pribadi Bung Karno memang bisa ditarik banyak keteladanan," ujar Guruh. Dari segi intelektual, umpamanya, Bung Karno digambarkan oleh Guruh sebagai pribadi yang mencintai ilmu, menyukai buku. "Dia senang mempelajari ilmu politik untuk dijadikan pegangan dalam mengambil keputusan politik," tutur Guruh. Jadi, menghadapi anggota yang berniat menjadi koreografer, Guruh tak segan menyuruh agar banyak membaca buku tentang tari. "Biar timbul inspirasi untuk mencipta, tidak hanya menyontek, membebek," katanya. Dan moral? "Bung Karno 'kan orangnya bersemangat, mau berkorban dan mengabdi. Ini saya tanamkan pada anak-anak," kata Guruh. Tujuan anak bungsu Bung Karno dari atmawati ini, agar anak didiknya tak hanya berkarya untuk memperoleh uang, nama, dan kedudukan. "Saya inginkan agar anak-anak punya jiwa pengabdian dan cinta tanah air." Pribadi Sockarno boleh dibilang menjadi perbincangan sehari-hari dalam Swara Maharddhika. "Kami dibiasakan untuk melihat Bung Karno secara terbuka, tanpa perlu takut-takut dicap sosialis," ujar Restu Imansari Kusumaningrum, 22 tahun, yang telah berkecimpung delapan tahun ikut kelompok ini. Mahasiswi Arsitektur Landscape tingkat III Universitas Trisakti, Jakarta, ini tak ragu-ragu menyatakan kekagumannya pada Soekarno. "Beliau tokoh yang jujur blak-blakan, terbuka, dan bersemangat," tuturnya. Semangat itu penting, kata gadis yang berkulit kuning bersih ini. "Kapan pun kita harus punya semangat. Semangat tak harus dikaitkan dengan revolusi-revolusian, lho," ujarnya. Tak plak lagi, Bung Karno telah tertanam menjadi tokoh idola di kalangan SM, yang kini beranggotakan sekitar 150 orang. "Karisma dan kemampuan berpidatonya mengagumkan," ujar Sitta. Mahasiswi tingkat I Akademi Komputer Gunadharma ini meragukan catatan sejarah, seperti tertuiis dalam buku sejarah nasional untuk SMP, bahwa Bung Karno mau terima komisi dari sebuah perusahaan asing. "Saya tak percaya. Buktinya, anak-anaknya tak punya apa-apa. Mas Guruh i[u punya apa, sih," katanya polos. Untuk diketahui saja, buku itu sendiri sudah direvisi. Bagi seorang Gatot Krisdianto, ketokohan Bung Karno hingga kini masih belum tergantlkan. "Dia bisa berdiri di atas semua golongan dan merakyat," ujarnya. Dan dengan gagah mahasiswa akademi komputer ini berkeinginan mengamalkan anjuran Bung Karno. Kebenaran penulisan sejarah Bung Karno memang dipersoalkan oleh Guruh. "Bisa dibilang, Bung Karno tidak ditampilkan sebagaimana adanya," ujarnya kesal. Setiap kali ketokohan Soekarno disebut, selalu saja dibareni kata-kata, "Sebagaimana manusia biasa, dia juga punya kesalahan." Menurut Guruh, itu bisa membangkitkan keraguan atas perjuangan Bung Karno. "Seakan tak ada ketulusan dalam menerima jasa beliau," ujar Guruh. "Mengapa tidak seperti kalau menyebut Kartini atau Teuku Umar." Tapi, seberapa jauh Guruh memahami pikiran-pikiran bapaknya? Kalau soal itu, kata Sitta, "Ajaran politik Bung Karno sendiri jarang disampaikan ke kami.' Sitta sendiri mengaku tak tahu-menahu tentang Nasakom, Manipol-USDEK, Demokrasi Terpimpin, ataupun Marhaenisme. Jadi, "Yang kami tahu, ya, sosok pribadinya saja, sebagai seorang pemimpin, seorang intelektual, dan seorang ayah," kata cewek yang tak sungkan-sungkan rmenjawab apa saja ini. "Kalaupun kami menjadikan Bung Karno tokoh idola, 'kan tak harus karena peran politiknya," kata Sitta yang telah empat tahun berguru pada Guruh. Lewat Guruh, Bung Karno menjadi idola para remaja Swara Maharddhika. Dan semangat ini, ini biasa terjadi di kalangan remaja, lalu menyebar ke remaja-remaja yang lain, termasuk di luar Jakarta. Ada juga keinginan Guruh memasukkan semangat yang lain, misalnya semangat kontranekolim, iontrakapitalis, dan semangat marhaen ke benak anak-anak gedongan itu. "Tapi mereka masih terhanyut oleh arus suasana di luar," tambah Guruh. Generasi muda, kini mengalami kesulitan mencari tokoh idola. Maka, seorang Bapak, boleh dikata yang berdiri di depan ketika proklamasi kemerdekaan, seorang yang meninggalkan bekas-bekas misalnya Monas yang tak lagi menjulang - tersaingi gedung-gedung bertingkat - memang mudah singgah di hati mereka. Putut Tri Husodo, Laporan Toriq Hadad (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini