GAMBAR Bung Karno dan Banteng, tampaknya, menjadi satu selama tiga mmggu masa kampanye lalu. Hampir di seluruh pelosok negeri, di kota dan desa, Bung Karno seakan "hidup" kembali di tengah --terutama - anak-anak muda yang menjadi pendukung utama PDI. PDI menjual Bung Karno? Tcrnyata, tidak. Dalam suatu diskusi di TEMPO, menjelang pemungutan suara, Ketua Umum DPP PDI Soerjadi secara tegas mengungkapkan bahwa partainya tak pernah punya niatan seperti itu. "Secara formal atau informal, PDI tak pernah menginstruksikan untuk membawa gambar Bung Karno," kata Soerjadi. Selama ia berkeliling sebagai juru kampanye utama partai Kepala Banteng itu, hanya di satu tempat dia temukan gambar Bung Karno yang dipasang secara resmi oleh panitia. Ia enggan menyebutkan di mana tempat itu. Ia pun tak mengerti mengapa panitia menampilkan gambar berukuran besar itu. Mungkin, terbawa oleh sekadar kebiasaan, bahwa poster memang mesti besar. Sepanjang pengamatan Soerjadi, foto Bung Karno yang diarak-arak sepanjang jalan kota dan desa itu bukanlah foto baru. "Kalau diperhatikan, hampir semua gambar Bung Karno itu diturunkan dari tembok rumah, atau dari dalam gudang," katanya. Sekjen DPP PDI Nico Daryanto pernah ditanya wartawan mengapa tak melarang massa PDI menggotong gambar presiden RI pertama itu. Nico balik bertanya, "Mengapa dilarang? 'Kan memang tidak ada larangan," kata bekas Ketua Partai Katolik itu. Selain itu, menurut Nico, kiprah anak-anak muda itu - tak sedikit berasal dari keluarga gedongan - adalah suatu fenomena yang menarik untuk jadi obyek penelitian bagi para ahli. Apakah ini merupakan - suatu upaya mereka dalam mencari identitas? Mencari tokoh idola? Menuntut Keadilan? Atau cetusan rasa tidak puas terhadap keadaan sekarang? Atau, suksesnya para pencari pendukung kampanye dengan memanfaatkan pengetahuan anak-anak muda tentang Bung Karno yang tak komplet? Salah seorang Ketua PDI dr. Sukowaluyo menganggap yang dilakukan para remaja itu hanyalah suatu simbol ketidakpuasan terhadap keadaan sekarang. "Kalau keadaan berubah, dan harapan mereka sedikit terpenuhi, maka simbol yang semacam itu tidak lagi mereka butuhkan," ucap bekas tokoh GMKI ini. Kelompok anak muda pengagum Bung Karno, menurut pengamatan Haji Yuslam Badres, Wong Solo yang jadi Ketua DPC PDI di kotanya, bisa dibagi dua. Kelompok pertama, mereka yang berasal dari keluarga PDI atau dulu PNI. Mereka adalah anak-anak yang mengenal Bung Karno dengan baik, "Karena mendapat cerita dari ayah atau kakaknya tentang siapa Bung Karno sebenarnya," kata Ketua Yuslam. Kelompok lainnya, mengenal Bung Karno sekilas saja. "Kalaupun mereka mengelu-elukan Bung Karno, pengenalan mereka terhadap Pahlawan Proklamator itu amat terbatas. Misalnya, mereka tahu Bung Karno itu yang membawakan pidato di depan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, pidato yang akhirnya menjadi cikal bakal dasar negara," ujar Yuslam, 66 tahun, menantu tokoh Masyumi A.R. Baswedan ini. Tokoh daerah ini mengakui terus terang bahwa dalam kampanye yang lalu gambar Bung Karno menjadi ciri PDI. Tapi, katanya, melonjaknya kursi PDI di daerahnya dalam pemilu sekarang - dari delapan kursi (1982) menjadi scbelas kursi - bukan semata karena Bung Karno. Tapi, DPP PDI sendiri punya pandangan lain. "Bung Karno adalah milik bangsa dan bukan milik PDI," tutur Nico Daryanto. Sekjen PDI ini mungkin sedikit basa-basi. Coba tengok, dalam kampanye yang lalu, salah seorang juru kampanye PDI adalah Megawati Soekarnoputri. Mau tak mau lalu timbul citra, Soekarno milik Partai Demokrasi Indonesia. Selain itu, kenyataan bahwa Bung Karno pendiri PNI, partai yang mendominasi PDI, apa boleh buat, pandangan umum melekatkan presiden pertama RI itu dengan partai nomor tiga. Dan, bukankah tanda gambar PDI gambar banteng yang telanjur populer sebagai tanda gambar PNI? Memang ada sedikit beda: banteng PNI mendengus galak, memasang tanduknya, seolah siap tempur. Banteng PDI tampaknya sudah "dibudayakan". Yang bisa menjadikan orang kini sibuk berpikir, bila kemudian ditanyakan, seberapa jauh kini PDI berjalan pada ajaran Bung Karno. Nico menjawab secara tak langsung. "Dalam PDI yang kini sedang dikembangkan adalah identitas demokrasi," tuturnya. Maksud dia, "itulah demokrasi sosial, yang tujuannya mengangkat mereka yang masih menderita. Kini, mlsalnya, 80% rakyat pedesaan belum ikut menikmati hasil pembangunan. Nah, mereka itulah yang diprioritaskan dalam program PDI." Bila konsep itu sama dengan Demokrasi Ekonominya Bung Karno, "itu suatu kebetulan saja." Sewaktu berpidato di depan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, IJuni 1945, antara lain Bung Karno menyatakan ini. "Apakah kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk suatu orang, suatu golongan ? Mendirikan neara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia-Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?" Terbayang sudah satu gagasan pemerataan ekonomi dalam pidato tersebut. Dan kini PDI, memang mencanangkan demokrasi sosial, untuk memerangi "kemelaratan ". Dalam hal ekonomi inilah, kini di PDI ada orang kuatnya. Kwik Kian Gie, 52 tahun, keluaran Sekolah Tinggi Ekonomi Rotterdam, Belanda. Ia bukan cuma seorang ekonom di atas kertas, tapi seorang yang langsung terlibat dalam dunia usaha. Dialah yang langsung menanggapl gagasan pemenntah untuk menswastakan badan usaha milik negara (BUMN). Tapi, yang sekaligus sudah ancang-ancang, bila nanti swasta jadi kuat dan kaya - ini mungkin cerminan PDI-nya - harus pula menyumbang demi pemerataan dan keadilan. Kwik-lah yang siap memberikan korupsi per definitif, hingga pemberantasannya bisa berjalan efektif. Sudah diketahui, batasan yang "luwes" terhadap korupsi, pada akhirnya, menjadikan niat luhur menjadi terantuk-antuk. Tapi, apakah semua ia lontarkan hanya sewaktu hangat-hangatnya kampanye yang lalu, atau itu suatu kebetulan saja ?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini