SEBUAH surat terbuka, dengan 17 tanda tangan, beredar luas di Gedung DPR/MPR, Senayan, awal pekan lalu. Surat protes bernada keras itu dibidikkan 17 anggota F-PDI di MPR ke pimpian Fraksi PDI MPR dan dibagikan kepada pers. Isinya, "Hanya koreksi atas pemikiran yang sempat muncul, bukan gugatan. Tapi koreksi kami harus diketahui oleh rakyat," kata Teuku Thaib Ali, 53 tahun, anggota DPR/MPR asal Aceh, yang menjadi penanda tangan pertama surat itu. Thaib Ali mengaku prihatin atas beberapa gagasan yang muncul dalam sidarg-sidang fraksi PDI di MPR. Gagasan itu, antara lain, disampaikan oleh Nico Daryanto, sekjen partai yang kini menjabat Ketua Fraksi PDI di MPR. Nico memang menyusun sebuah paper, sebagai masukan bagi fraksi dalam merumuskan pandangan, yang nantinya akan dibawa oleh Badan Pekerja (BP) IDI ke forum rapat pleno BP untuk menyiapkan rancangan GBHN dan Rantap (Rancangan Ketetapan) MPR. Di situ Nico menyarankan agar pendidikan agama dilepas dari kurikulum TK sampai perguruan tinggi. Tanggung jawab pengajaran agama supaya dialihkan pada jalur pendidikan nonformal: dalam lingkungan keluarga atau organisasi sosial keagamaan. Jalur pendidikan formal, menurut Nico, tidak usah memberikan ajaran tentang perbedaan-perbedaan. "Hendaknya, jalur formal memberikan pelajaran yang bersifat mempererat persatuan dan kesatuan bangsa," tulis Nico. Soal penanggulangan korupsi, usul Nico, juga perlu di-GBHN-kan. Jika perlu, GHBN boleh mengamanatkan sikap tegas antikorupsi: dengan kata-kata konfrontatif atau dengan kampanye besar-besaran mengingat bahaya korupsi yang kian mencemaskan. Namun, pendapat Nico tak seluruhnya diterima fraksi PDI di MPR. Gagasan tentang pendidikan agama itu gugur dalam rapat fraksi. Pada pandangan umum FPDI akhir Oktober lalu tentang sikap antikorupsi, BP PDI hanya mengemukakan perlunya ada kampanye, tanpa usul perlunya sikap konfrontatif. Gagasan Nico, kendati telah ditolak fraksi, ternyata masih membangkitkan ketidakpuasan 17 dari 60 anggota fraksi PDI di MPR. "Pendidikan agama itu harus kita pertahankan tetap masuk kurikulum. Ini sesuai dengan pasal 29 UUD 1945," kata Dudy Singadilaga, anggota DPR/MPR yang merangkap Ketua DPD PDI Jawa Barat. Soal gerakan antikorupsi pun tak perlu konfrontatif dan tak perlu ramai-ramai. Yang diperlukan adalah pendekatan persuasif pada pemerintah. "Kita harus memahami budaya politik Pancasila ini, jangan ngomong seenak perut," ujarnya. Ketua Umum PDI, Soerjadi, tampak ekstrahati-hati menanggapi protes itu. "Sudahlah, ini soal intern partai. Akan kami selesaikan secara kekeluargaan," ujarnya. Pekan lalu, Soerjadi mengundang ke-17 penanda tangan surat protes itu untuk menjernihkan suasana. Kabarnya, setelah pertemuan itu, tiga penanda tangan menarik diri dari keikutsertaannya "mengoreksi" fraksi. Sebuah sumber TEMPO mengatakan, perkara itu sebetulnya adalah sebuah manifestasi konflik lama. Sebagian dari anggota kelompok 17 itu konon kecewa terhadap Soerjadi. Sumber kemangkelan itu, antara lain, adanya SK No. 59 yang dikeluarkan Soerjadi akhir tahun silam. SK itu melarang jabatan rangkap -- jabatan anggota DPR dengan Ketua DPD, atau anggota DPRD I dengan Ketua DPC. Posisi yang kini diduduki oleh tokoh lama PDI seperti Dudy Singadilaga, Thaib Ali, atau Marsoesi. Periode jabatan seorang anggota DPR, menurut ketentuan itu, juga dibatasi maksimum dua kali. Yang terkena pasal ini adalah tokoh lama, seperti Palaunsoeka Achmad Subagyo, dan Kemas Fachroeddin, yang kabarnya harus melepaskan keanggotaan mereka pada Maret 1988. Tapi sinyalemen ini dibantah oleh Thaib. "Koreksi ini kami tunjukkan karena kami cinta partai ini. Kami cinta pemimpin PDI. Tak ada maksud destruktif," ujarnya. Sengketa itu sempat pula dibahas pada pertemuan DPC-DPC PDI se-Jawa Barat yang berlangsung di Cipayung, Bogor, akhir pekan lalu. Sekitar seratus peserta mengajukan keberatan atas gagasan mengeluarkan pelajaran agama itu dari kurikulum sekolah. Alasannya, karena bertentangan dengan tujuan menciptakan manusia seutuhnya. Putut Tri Husodo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini