BISAKAH seorang anggota ABRI memimpin sebuah kekuatan sosial politik? Pertanyaan spontan Mahdi Tjokroaminoto dari F-PP yang menyentak itu muncul Senin malam pekan ini di DPR, tatkala Komisi I DPR mengadakan dengar pendapat dengan Pangab/Pangkopkamtib. Tak cuma itu pertanyaan Mahdi. Ia juga menanyakan kasus helm di Ujungpandang serta kasus disebut-sebutnya nama Pangab Jenderal L.B. Moerdani oleh bekas Menlu PNG Ted Diro sebagai "penyumbang dana" buat partainya. Kepada sekitar 30 anggota Komisi I DPR yang malam itu hadir, Pangab/Pangkopkamtib Jenderal Moerdani memberikan jawaban langsung, bukan tertulis seperti yang biasa terjadi dalam acara dengar pendapat dengan pihak pemerintah. Tentang pertanyaan Mahdi yang pertama, Jenderal Benny mengingatkan para anggota Komisi I pada pasal 28 ayat 1 UU Nomor 20/1982. Di situ disebutkan bahwa ABRI sebagai kekuatan sosial bertindak sebagai stabilisator dan dinamisator, dan bersama kekuatan lainnya memikul tugas dan tanggung jawab untuk mengamankan dan menyukseskan kehidupan bangsa dalam mengisi kemerdekaan. Karena itu, ABRI berdiri di atas semua golongan. "Dengan demikian, anggota ABRI yang berdinas aktif pada dasarnya tidak dijinkan memimpin suatu kekuatan sospol," tutur Pangab tegas. Lain halnya kalau yang bersangkutan sudah pensiun. Itu pun orang tersebut tidak boleh dipaksa. "Namun, jika ia mau, tidak pula ia boleh dihambat." Yang menarik adalah jawaban Pangab atas "Peristiwa Ujungpandang" -- kerusuhan antihelm pada 31 Oktober dan 2 November silam, yang mengakibatkan beberapa mahasiswa tewas. Jawaban Pangab memang ditunggu, setelah beberapa pekan terakhir ini sejumlah perwakilan mahasiswa di beberapa kota menyesalkan cara penanganan peristiwa itu serta meminta Pangab memberikan penjelasan. Penggunaan helm bagi pengendara sepeda motor, baik yang mengemudi maupun membonceng, menurut Pangab adalah demi keamanan para pengendara sepeda motor itu sendiri. Pihak Kepolisian mempunyai data yang cukup bahwa kecelakaan yang menimpa pengendara sepeda motor sebagian besar mengakibatkan cedera serius pada bagian kepala. "Karena itu, merupakan tugas pemerintah untuk memberikan bimbingan dan perlindungan agar pengendara sepeda motor terlindungi bila suatu kecelakaan lalu lintas harus terjadi," ucap Pangab. Secara hukum, peraturan tentang hal itu telah dituangkan dalam suatu SK Menteri Perhubungan, yang berlaku untuk segenap unsur masyarakat di seluruh Indonesia. "Maka, reaksi yang bersifat menentang pemakaian helm secara materiil bertentangan dengan hukum, dan berarti suatu pelanggaran," ujar Benny lebih lanjut. Menurut Pangab, satuan-satuan ABRI dalam menjalankan tugas selalu berpegang pada prinsip dan prosedur tertentu. Yakni, pertama, ABRI akan bertindak tegas demi terpeliharanya kepentingan umum yang lebih luas. "Haruslah disadari bahwa Ujungpandang merupakan salah satu pusat kegiatan kehidupan bangsa Indonesia di bagian timur," katanya. Karena itu, "Tindakan tegas untuk menjamin stabilitas di Ujungpandang, demi terpeliharanya kehidupan yang lebih luas di bagian timur Indonesia ini, harus dilakukan." Lalu ditegaskannya, "Perlawanan terhadap petugas-petugas ABRI berarti pembangkangan terhadap hukum dan kewibawaan pemerintah. ABRI harus bertindak tegas, dan akan terus bertindak tegas atas kasus-kasus serupa itu." Jenderal Benny menilai kasus di Ujungpandang itu sebagai peristiwa yang semata-mata terjadi karena masalah-masalah teknis yang berkembang di lingkungan masyarakat, dan bukan karena sebab-sebab lain yang bersifat mendasar. Ia juga melihat reaksi dan tuntutan mahasiswa di beberapa kota, "Hanya karena belum dipahaminya duduk persoalan yang sebenarnya." Sidartha Pratidina (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini