Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Survei: Mayoritas Anggota DPR Abai Ihwal Keragaman

Penelitian ini untuk menekan polarisasi agama dan intoleransi di Indonesia.

6 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Samanera (calon biksu) memberikan penjelasan kepada siswa yang berkunjung ke Vihara Dhammadipa Arama, Batu, Jawa Timur, 2018. TEMPO/Aris Novia Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA - Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta menemukan adanya kecenderungan anggota Dewan Perwakilan Rakyat kurang peduli terhadap isu keragaman dan kebangsaan dalam metode pendidikan agama di Indonesia. Temuan ini terungkap dalam survei yang hasilnya diumumkan di Jakarta, kemarin. Survei ini menemukan, hanya 12,16 persen responden anggota DPR yang menganggap persoalan keragaman dalam pendidikan agama merupakan isu penting.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur PPIM UIN Syarif Hidayatullah, Sirojudin Arif, menyatakan survei juga menemukan hanya 19,46 persen anggota parlemen yang menganggap persoalan kebangsaan dalam pendidikan agama itu penting. "Survei ini menunjukkan tak banyak anggota DPR yang bilang isu keragaman, kebangsaan, dan minoritas itu penting," ucap Sirojudin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia menyatakan, penelitian ini dilakukan terhadap 380 responden dari 575 anggota DPR di Senayan. Survei dilakukan ke semua anggota dari beragam fraksi di DPR sejak 21 Oktober 2019 hingga 17 Desember 2019. Dalam survei itu, PPIM menggunakan empat indikator berkaitan dengan peran negara dalam pendidikan agama di sekolah negeri: indikator laicite atau agama dipandang sebagai urusan privat; netralitas agama; akomodasionis; dan intervensionis atau memberi keistimewaan kepada agama mayoritas untuk mempertahankan dominasi dalam politik.

Sirojudin menyatakan temuan ini kurang menggembirakan di tengah menguatnya intoleransi di Indonesia. Apalagi kasus-kasus intoleransi kerap terjadi di lembaga pendidikan, seperti kasus mewajibkan siswa mengenakan jilbab di Sragen, Jawa Tengah. Padahal, kata dia, seharusnya DPR mampu menjadi lembaga yang merawat keragaman.

Ia juga menyatakan, survei menemukan banyak anggota DPR yang berpandangan intervensionis. Menurut dia, banyak anggota DPR cenderung intervensionis dalam pengadaan buku agama dan pelatihan bagi guru. Artinya, mayoritas anggota Dewan menghendaki agama dan politik tidak dapat dipisahkan. Padahal di Indonesia terdapat banyak agama dan kepercayaan. "Pandangan ini dikhawatirkan berdampak pada pemaksaan kebijakan terhadap siswa untuk mengikuti aturan agama mayoritas," kata dia.

Penelitian juga menemukan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) lebih mengistimewakan satu agama dalam pendidikan agama ketimbang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Menurut hasil survei, PKS cenderung bersikap intervensionis, sedangkan PDIP bersikap netral atau akomodatif. "Dibandingkan dengan responden dari PKS, responden dari PDIP itu punya kecenderungan kurang intervensionis," kata dia.

Guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jamhari Makruf, menjelaskan penelitian ini dilakukan sebagai upaya lembaga pendidikan untuk menekan polarisasi agama dan intoleransi di Indonesia. Terlebih ada kecenderungan persoalan agama kerap meruncing saat terjadi pemilihan umum. "Kami cari siapa yang paling strategis mengubah cara pendidikan di Indonesia, ternyata (di DPR) ada beberapa produk undang-undang bermasalah," ucap dia.

Wakil Ketua Komisi Agama dari Fraksi Partai Golkar, Ace Hasan Syadzily, menyatakan pandangan di DPR tidak sepenuhnya merupakan pandangan pribadi anggota parlemen. Dia menyebutkan survei ini justru menunjukkan identitas masing-masing partai politik di Indonesia. "Semua (anggota parlemen) saya kira setuju pendidikan agama diatur oleh negara, tapi sejauh mana gradasi tingkat pengaturan itu," kata dia.

Ace juga menyatakan partainya berada di posisi tengah dan cenderung tidak intervensionis. Dia menunjukkan, partainya mengkritik Kementerian Agama yang akan menghapus istilah khilafah dan jihad dari kurikulum. Menurut Ace, jika istilah itu dihapus, orang akan mencari pembelajaran khilafah dan jihad dari Google dengan berbagai interpretasi yang dapat menyesatkan. AVIT HIDAYAT | FIKRI ARIGI


Survei: Mayoritas Anggota DPR Abai Ihwal Keragaman

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus