KELUAR dari ruang pemeriksaan di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu pekan lalu, Abdullah Puteh tetap berusaha menebar senyum. Disergap kamera televisi dan lensa para fotografer yang berebutan, tentulah Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam merangkap penguasa darurat sipil itu tak hendak terlihat sendu. Pukul 20.30 WIB ketika itu.
Hingga lenyap dari pandangan para wartawan yang menunggunya sejak pagi, tak sepatah kata pun Puteh sudi memberi komentar. Padahal inilah kali pertama ia datang memenuhi panggilan KPK untuk diperiksa sebagai tersangka, setelah mangkir pada dua panggilan sebelumnya. Demi menghindari pers, pukul 05.30 ia sudah hadir di kantor di Jalan Veteran III itu. Pemeriksaan baru dimulai pukul 09.00. ?Dia hanya duduk-duduk menunggu kantor dibuka,? kata seorang petugas kebersihan di KPK.
Sepanjang pemeriksaan hari itu, Puteh dicecar 45 pertanyaan. Begitu pula hari berikutnya, yang bahkan berakhir lebih larut. Sampai Jumat lalu, total 113 pertanyaan harus dijawab Puteh. Semuanya sekitar dugaan penggelembungan harga dalam proyek pembelian helikopter Mi-2 merek PLC Rostov buatan Rusia untuk pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Dalam kasus ini, negara dirugikan sekitar Rp 4 miliar.
Belum jelas benar sampai kapan Puteh harus ?berkantor? di KPK. Menurut Eggy Sudjana, yang mendampinginya sebagai penasihat hukum, pemeriksaan masih akan dilanjutkan pekan ini. Lalu, bagaimana Puteh menjalankan tugas-tugasnya sebagai gubernur dan penguasa darurat sipil daerah di Aceh jika sepanjang waktu ia berada di Jakarta?
Satu hal bisa dipastikan: tiada lagi waktu baginya untuk berkeliling Aceh dengan helikopter yang dibeli melalui agen PT Putra Pobiagan Mandiri seharga US$ 1.250.000?atau setara dengan Rp 12,6 miliar?itu. Sebab, selain berurusan dengan KPK, Puteh masih harus bertandang pula ke Markas Besar Polri, yang memeriksanya dalam kasus korupsi lain menyangkut pengadaan generator listrik di Lueng Bata, Banda Aceh, senilai Rp 30 miliar.
Akan halnya mengenai helikopter, usai diperiksa Kamis pekan lalu, Puteh bercerita belalang besi itu dibeli demi kelancaran roda pemerintahan jua. Maklumlah, dalam kondisi darurat, pejabat macam Puteh tak bisa melenggang aman sampai ke pelosok tanpa khawatir akan ancaman Gerakan Aceh Merdeka. Karena itu pula, pembelian heli ini disetujui DPRD Aceh dan dibiayai dengan dana APBD tahun anggaran 2002 sebesar Rp 3,5 miliar, plus sokongan dari 13 daerah tingkat II?masing-masing kebagian tanggungan Rp 700 juta.
Kekhawatiran akan gangguan terhadap fungsi kepala daerah itulah yang mendorong banyak pihak meminta Puteh segera dinonaktifkan sementara dari jabatannya. Pemberhentian juga dimaksudkan untuk mencegah terjadinya hambatan terhadap proses hukum yang sedang berjalan, terkait dengan kewenangan yang masih dimiliki tersangka. Contohnya, pada dua pemanggilan terdahulu, kesibukan sebagai gubernur dan penguasa darurat sipil itu juga yang dijadikan Puteh alasan mangkir.
?Karena itu, Presiden Megawati harus segera memberhentikan Puteh,? kata Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Munarman. Dalam Undang-Undang No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK memiliki kewenangan meminta hal yang sama. Pasal 12 huruf e undang-undang itu menyebutkan, KPK berwenang memerintahkan pimpinan atau atasan tersangka memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya.
Itu sebabnya, Jumat dua pekan lalu KPK berkirim surat kepada Presiden Megawati Soekarnoputri meminta pemberhentian sementara Puteh dari jabatan Gubernur NAD. Surat dengan klasifikasi rahasia itu ditembuskan ke Menteri Koordinator Politik dan Keamanan ad interim, Menteri Dalam Negeri, Ketua DPRD NAD, Panglima Kodam Iskandar Muda NAD, Kepala Polda NAD, dan Kepala Kejaksaan Tinggi NAD.
Diterangkan juga dalam surat itu perihal ketidakhadiran Puteh dalam dua pemanggilan KPK. Sesuai dengan kewenangannya, KPK akan melakukan upaya paksa terhadap tersangka. Menteri Sekretaris Negara, Bambang Kesowo, memastikan presiden telah menerima surat KPK. Tapi, hingga akhir pekan lalu, tak terdengar keputusan. Presiden Megawati ingin bertemu dulu dengan para pimpinan KPK untuk meminta penjelasan. Nah!
Soalnya, kata Presiden, berdasarkan undang-undang, kepala daerah hanya bisa diangkat atau diberhentikan. ?(Istilah) nonaktif itu tidak ada,? katanya kepada wartawan di kediamannya di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat, Selasa pekan lalu. Pernyataan ini memang mengecewakan banyak pihak yang berharap Mega menepati janjinya ketika berbicara dalam sebuah debat di televisi, menjelang pemilu presiden putaran pertama.
Ketika itu, ditanya mengenai kasus Puteh, Mega mengatakan akan segera memberhentikan Gubernur Aceh itu jika KPK menetapkannya sebagai tersangka. Keterangan pembantu dekatnya, Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno, pun tak kalah membingungkan. Suatu kali Hari mengatakan keputusan memberhentikan Puteh ada pada DPRD NAD sebagai badan legislatif yang memilih gubernur. Tapi ternyata sampai kini para wakil rakyat di daerah itu belum melakukan pembahasan.
Akhir pekan lalu, Ketua DPRD Muhammad Yus kabarnya justru ke Jakarta untuk bertemu Menteri Dalam Negeri. TEMPO, yang menghubungi ketua-ketua fraksi di provinsi itu, pun mendapat jawaban mereka menunggu proses yang dijalankan KPK. ?Kami berharap KPK memeriksa dengan jujur dan tanpa tekanan pihak mana pun,? kata Ketua Fraksi Golkar, Azhari Basyar.
Pada kali lain, Hari menyatakan Puteh baru bisa diberhentikan jika telah terdapat keputusan berkekuatan hukum tetap yang menyatakannya bersalah. Terakhir, ia melemparkan tanggung jawab ini kepada presiden. ?Kalau tidak ada keputusan presiden hitam di atas putih, saya sebagai pembantu presiden tidak bisa mengambil langkah,? tuturnya. Karena itu, katanya, dia belum mempersiapkan pengganti Puteh, baik sebagai gubernur maupun penguasa darurat sipil.
Tampaknya, bola memang di tangan Mega. Perkara ini sekaligus menjadi semacam batu ujian baginya di tengah jeda menuju pemilu presiden putaran kedua. Ia bisa menangguk popularitas dengan bersikap tegas, atau sebaliknya menuai cerca karena dianggap tak konsisten dengan janji-janji kampanyenya memberantas korupsi. ?Kita menunggu dan mengawasinya,? kata Koordinator Solidaritas Masyarakat Antikorupsi, J. Kamal Farza.
Pengaitan perkara Puteh dengan strategi kampanye Megawati inilah yang diprotes Pengacara O.C. Kaligis, kuasa hukum Puteh. Bahkan penetapan status tersangka atas Puteh dinilainya tergesa-gesa. ?Sampai hari ketiga pemeriksaan saja belum ada bukti kuat yang menunjukkan Puteh korupsi dalam pembelian helikopter ini,? katanya. Kaligis menantang siapa saja?termasuk mereka yang meminta Puteh diberhentikan?datang ke KPK untuk bersaksi.
Anggapan Kaligis itu dibantah mantan ketua panitia seleksi anggota KPK, Romli Atmasasmita, yang Jumat lalu datang ke Jalan Veteran III. Ia menegaskan, tuntutan pemberhentian Puteh sama sekali bukan persoalan di domain politik, melainkan di wilayah hukum. ?Tersangka bisa menyembunyikan aset dan melakukan tindakan yang menghambat penyidikan,? tuturnya, ?Seharusnya tidak ada lagi pejabat negara maupun penasihat hukum tersangka yang menyatakan itu domain politik.?
Soal politik atau bukan, bagi Koordinator Indonesia Corruption Watch, Teten Masduki, pemberhentian Puteh tak boleh terlalu lama diulur. Ia menawarkan terobosan. Ketimbang menunggu keputusan Megawati yang tak jelas ujungnya, lebih baik KPK mengoptimalkan kewenangannya. ?KPK bisa menggunakan kewenangan seperti tertera dalam Pasal 12 Huruf i Undang-Undang No. 30/2002,? kata Teten kepada Yandrie Arvian dari Tempo News Room.
Dalam pasal itu disebutkan, KPK berwenang meminta bantuan kepolisian atau instansi lain untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang ditanganinya. Kalau jurus ini digunakan, entah bagaimana pula Puteh mempertahankan senyumnya?sekalipun di depan kamera.
Tomi Aryanto, Angelus Tito, Faisal Assegaf, Yura Syahrul, Sapto Pradityo, Yuswardi Suud (Banda Aceh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini