SETELAH Indonesia merdeka, masih perlukah exit permit? Ini dicetuskan bukan oleh orang sembarangan, yang malas mengurus izin ke luar negeri di Imigrasi. Adalah Menteri Kehakiman Ismail Saleh sendiri yang menyangsikan dasar hukum exit permit itu. "Itu dulu digunakan pemerintah Belanda guna mengawasi orang-orang yang tak mereka senangi," kata Menteri. Apa pun alasan Ismail Saleh, soal exit permit ini tampaknya sudah menjadi bagian dari prosedur bepergian ke luar negeri. Bahkan sudah menjadi kegiatan "bisnis". Formulir permohonan exit permit yang berharga Rp 500, misalnya, kalau lengkap dengan pengurusannya, harus dibayar lebih dari itu. Seorang wartawan yang buru-buru hendak ke Singapura bahkan sempat tawar-menawar. Mau minta dua jam selesai, bayar Rp 10.000. Lebih cepat lagi, setengah jam, tarifnya Rp 25.000. Beberapa biro perjalanan pun mengatakan pengurusan exit permit membutuhkan Rp 20.000 sampai Rp 25.000. Tapi di biro lain, di CV Permata di Manggarai Selatan, cuma dipasang tarif Rp 10.000. Agaknya, rendah dan tingginya harga itu bergantung pada seberapa besar biro perjalanan mengambil untung, dan seberapa jauh hubungan mereka dengan "orang dalam". Pihak PT Ista Travel & Tours mengaku mengambil untung Rp 5.000 dari tiap permintaan exit permit -- sepuluh kali harga formulir resminya. Apakah faktor keamanan akan terganggu bila exit permit itu dicabut? Tampaknya inilah yang sebenarnya jadi soal. "Exit permit itu 'kan soal sekuriti, yaitu menyaring WNI yang boleh atau yang tidak boleh pergi ke luar Indonesia," ucap sebuah sumber di Departemen Kehakiman sendiri. Sejauh ini tak jelas adakah alasan keamanan itu menjadi pertimbangan Ismail Saleh ketika mengeluarkan pernyatannya yang berani itu. Namun, yang pasti, usul Menteri Kehakiman ini selayaknya mendapat perhatian. Toh, mereka yang masuk dalam daftar hitam itu, misalnya, bisa dicegat di pelabuhan udara, seperti juga banyak negeri melakukannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini