LELAKI muda, berkulit kuning langsat, itu tampil dengan necis. Ia mengenakan, kemeja lengan panjang, celana dan kaus kaki serta sepatu serba cokelat. Seperti biasa, ia pun tak hirau. Sesekali ia membaca sebuah buku yang bersampul tulisan Arab. Atau menyeka keringat dengan handuk kecil putih bersih. Tapi, lebih sering, ia tersenyum sinis kepada hakim di hadapannya. Sikap terdakwa itu mendadak berubah, ketika Hakim Ketua di sidang Pengadilan Negeri Sleman, Yogya, 13 Februari itu, menjatuhkan vonis 13 tahun penjara. Terdakwa, Irfan Suryahardy, 23, Pemimpin Redaksi Ar Risalah, itu berdiri, dan menjawab lantang. "Pertama-tama ... saya mengucapkan terima kasih pada jaksa, hakim, dan pembela, dengan berakhirnya sidang ini," katanya. "Namun, saya berpendapat, putusan ini benar-benar kejam, zalim, dan aniaya." Hakim segera mengetukkan palunya menghentikan omongan Irfan. Tapi, anak petani dari Lombok Timur itu terus saja nerocos. "Kalau saya benar-benar memusuhi negara Indonesia, hukuman sebesar apa pun kecil bagi saya. Saya lebih rela, dan bergembira, jika saya dijatuhi hukuman mati," katanya. Dua orang petugas CPM segera memeganginya dan membawanya pergi. Setelah memeriksa 22 saksi, di antaranya dua orang dosen UGM, Dr. Amien Rais dan Dr. Kuntowijoyo, hakim berkesimpulan semua tuduhan jaksa terbukti. Irfan, menurut hakim, nyata bersalah melakukan serangkaian perbuatan yang menyelewengkan ideologi negara Pancasila atau negara yang sah. Semua tindakan subversi itu dilakukannya lewat tulisan-tulisannya di buletin Ar Risalah. Inti tulisan itu: mengobarkan semangat revolusi Islam untuk menghancurkan pemerintah yang tidak didasarkan pada Islam. Terdakwa juga terbukti dalam sebuah pengajian yang diselenggarakan di masjid Sudirman, Yogya, menganjurkan agar dasar negara Pancasila diganti dengan Piagam Jakarta. Juga terbukti, Irfan anggota Komando Jihad, dan pengurus Biro Politik Negara Islam Indonesia wilayah Jawa Tengah. Irfan, yang semula menolak didampingi pembela itu, akhirnya divonis 13 tahun penjara, serta membayar ongkos perkara Rp 7.000. Hukuman itu lebih ringan dari tuntuntan jaksa 15 tahun penjara, tapi lebih berat, misalnya, dari H.R. Dharsono yang "kena" 10 tahun, atau Tony Ardie yang "cuma" 9 tahun penjara. Anggota majelis hakim, I.M. Paiman Martorejo, menilai, "Irfan lain dengan H.R.Dharsono. Perbuatan Irfan lebih berat. Irfan terbukti secara sah hendak menggantikan Pancasila dengan syariah Islamiah. Sedang Dharsono, tidak," katanya. Kecuali itu, hakim, katanya, memiliki bukti. "Pada Pemilu mendatang Irfan dengan massanya akan melakukan pemberontakan." Dalam banyak segi, menurut Paiman, Irfan tak dapat dibandingkan dengan bekas Pangdam Siliwangi itu. "Dharsono sudah banyak jasanya bagi negara, maka ia dihukum lebih ringan. Apa jasa Irfan bagi negara? Menjadi warga negara yang baik saja belum. Ia itu tidak ada apa-apanya," kata Paiman. Dibanding Tony Ardie? Adalah hal yang memberatkan hukuman Irfan, menurut majelis hakim, karena ia berbelit-belit. Dan, tak pernah menyesali perbuatannya. Adapun Tony Ardie, seperti diketahui, menyatakan sadar akan kekeliruannya, dan memohon maaf. Jaksa Penuntut Umum, Wisnu Subroto, menyatakan puas dengan putusan hakim. "Hukuman Irfan itu sudah memadai," katanya. Ia, baru akan banding, jika pembela atau Irfan naik banding. "Di sinilah kelak, ucapan Irfan yang menghina Presiden Soeharto itu, saya ajukan sebagai bahan pertimbangan," tambahnya. Irfan sendiri, lulusan Pondok Gontor itu, menyerahkan sepenuhnya kepada sembilan pembelanya. Tapi, "kami tidak akan banding," kata Muh. Iqbal, salah seorang pembela. Karena, pengalaman dari berbagai kasus subversi. "Banding itu malah akhirnya memperberat hukuman terdakwa," katanya. Saur Hutabarat Laporan Yuyuk Sugarman & Aries Margono (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini