EDWARD Wilmard Pahala Tambunan, 51 tahun, tampaknya termasuk
gubernur asal ABRI yang sedang disorot. Ia dilantik 12 Juni 1978
lalu, artinya baru 15 bulan menduduki kursinya.
Dalam pemilihan ia memenangkan 27 suara--saingannya hanya 11 dan
2 suara. Ia menggantikan Marah Halinyang sudah 2 kali menduduki
masa jabatannya. Adakah EWP Tambunan dinilai kurang berhasil?
Setidaknya hal itu bisa dilihat dari ucapan Amirmachmud seusai
menemui Presiden Soeharto di Bina Graha 6 September lalu.
"Pembangunan di Sumatera Utara mandek," kata Mendagri, "tapi
daerah itu masih bisa mempertahankan pembangunannya."
Dua minggu setelah itu, 24 September, harian Waspada Medan
memang menulis mengenai adanya sorotan terhadap gubernurnya itu.
Tapi Tambunan sendiri yang juga sudah bertemu Presiden dua pekan
lalu menangkis: "Sejak dari tahun kapan penilaian itu dimulai?"
Maksudnya mungkin masa jabatan yang baru 15 bulan belum layak
dinilai.
Layak atau tidak, agaknya Tambunan sendiri perlu meneliti dulu
keadaan daerahnya memasuki Pelita III, sepeninggal Marah Halim.
Sekedar contoh ketika diajukan nota perhitungan APBD 78/79 pada
31 Maret lalu, terdapat sisa kas Rp 14,9 milyar, sedang tahun
sebelumnya cuma Rp 3 ,6 milyar. Melihat jumlah sisa kas yang
begitu besar, bukankah itu salah satu pertanda melorotnya upaya
pembangunan? Seorang stafnya menyatakan, hal itu "akibat
kelambatan disetujuinya pembangunan suatu proyek dari pusat
hingga anggaran itu tak bisa dicairkan."
Sekwilda
"Belum ada penilaian tentang pelaksanaan pembangunan di Sumatera
Utara dari yang berhak menilai, yaitu DPRD dan atasan," kata
Tambunan seusai bertemu Presiden dua pekan lalu. Penilaian
seperti itu memang belum ada. Tapi selama Tambunan menjadi
gubernur, daerah itu terus-menerus menarik perhatian. Misalnya:
sengketa tanah Siria-ria, disusul bentrokan di Bagan Asahan,
kemudian sengketa tanah lagi antara petani penggarap dengan PNP
IX yang belum juga terselesaikan. Dan yang terakhir tenggelamnya
KM "Bawomataluwo" hadiah Presiden kepada Pemda Sum-Ut.
Selain itu orang juga belum lupa sengketa tanah Gunung Bokor
yang menyeret petani penggarap ke Pengadilan Negeri Tebing
Tinggi yang sidangnya juga belum rampung itu. Lalu disusul
ramainya penunjukan Kol. A. Manan Simatupang sebagai pelaksana
Sekwilda Sum-Ut. Karena dinilai bekas Bupati Asahan itu banyak
meninggalkan persoalan.
Belakangan Tambunan mencoba lagi mcndrop sekwilda untuk
Kotamadya Medan, Tebing Tinggi dan Simalungun. Haji Syarifuddin
yang pernah minta berhenti sebagai Sekwilda Medan tapi ditolak
secara lisan oleh Gubernur Marah Halim, mau diganti oleh Poltak
Panggabean. Poltak yang kini bertugas di kantor gubernur,
disetujui FKP dan F-PDI tapi ditolak FPP. Untuk Simalungun
Tambunan menampilkan J.L. Girsang, yang kini masih Ka Subdit
Medan, tapi belum diproses. Untuk Tebing T inggi, menurut sumber
di Kantor Gubernur "sedang diproses".
Tapi calon Sekwilda Tebing Tinggi tersebut pagi-pagi sudah
ditolak oleh DPRD dari kotamadya yang mendapat Parasamya itu.
Mereka menghendaki calon yang berasal dari kalangan kotamadya
alias mengutamakan jabatan karir. Mereka merencanakan mengirim
delegasi menemui Tambunan. "Saya hanya mengajukan calon sebagai
saran saja," kata Tambunan tentang semua itu.
Tapi setidaknya ada usaha Tambunan membenahi daerahnya. Misalnya
penyelesaian kasus Siria-ria secara adat Selasa siang lalu.
Dihadiri pejabat teras, para anggota DPRD dan masyarakat
Siria-ria, siang itu para tetua adat seperti Boni Siregar
menyerahkan kepala kerbau kepada Tambunan, pertanda permohonan
penduduk untuk dapat mengusahakan tanah.
Sebagai pertanda pemerintah mengijinkannya, Tambunan
menyampaikan ulos possa kepada penduduk yang berhak. Ulos itu
juga dimaksud semacam segel penyelesaian sengketa secara tuntas.
Sebagai rasa terimakasih, penduduk Siria-ria menyerahkan tongkat
kepada Gubernur, dilanjutkan tari-tarian tortor.
Pengakuan hak milik adat itu tercantum dalam SK Bupati Tapanuli
Utara no. 138/KPTS/1979 tanggal 1 Oktober 1979 setelah
mempertimbangkan permintaan penduduk tanggal 26 Agustus 1979.
Penyelesaian itu ditempuh melalui 5 tahap, setelah Tambunan
mengunjungi Siria-ria 13 September lalu.
Pertama-tama, penduduk diberi kesempatan untuk masisungkunan
atau marlangen alias bertanya dalam musyawarah. Setelah ada
kesepakatan, hasilnya disampaikan oleh tetua adat kepada
Domu-domu (mediator) yang menggodok pendapat pemerintah dan
masyarakat. Ini juga disebut tahap osek atau penjajagan.
Tahap ketiga, 26 September, diadakan musyawarah lagi. Di situ
penduduk mohon untuk dapat mengusahakan tanah. Kemudian diminta
pendapat desa tetangga, termasuk Desa Hutagalung Kecamatan
Harianboho. Desa tetangga tidak keberatan. Dan akhirnya upacara
adat penyerahan tanah. "Memang banyak sengketa yang bisa
diselesaikan secara adat," kata Tambunan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini