Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Tambunan, setelah 15 bulan

Penilaian mendagri amirmachmud mengenai pembangunan di sum-ut di bawah gubernur tambunan yang dikatakannya mandeg. keresahan akibat sengketa tanah dan soal droping sekwilda selama ia jadi gubernur.(dh)

13 Oktober 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EDWARD Wilmard Pahala Tambunan, 51 tahun, tampaknya termasuk gubernur asal ABRI yang sedang disorot. Ia dilantik 12 Juni 1978 lalu, artinya baru 15 bulan menduduki kursinya. Dalam pemilihan ia memenangkan 27 suara--saingannya hanya 11 dan 2 suara. Ia menggantikan Marah Halinyang sudah 2 kali menduduki masa jabatannya. Adakah EWP Tambunan dinilai kurang berhasil? Setidaknya hal itu bisa dilihat dari ucapan Amirmachmud seusai menemui Presiden Soeharto di Bina Graha 6 September lalu. "Pembangunan di Sumatera Utara mandek," kata Mendagri, "tapi daerah itu masih bisa mempertahankan pembangunannya." Dua minggu setelah itu, 24 September, harian Waspada Medan memang menulis mengenai adanya sorotan terhadap gubernurnya itu. Tapi Tambunan sendiri yang juga sudah bertemu Presiden dua pekan lalu menangkis: "Sejak dari tahun kapan penilaian itu dimulai?" Maksudnya mungkin masa jabatan yang baru 15 bulan belum layak dinilai. Layak atau tidak, agaknya Tambunan sendiri perlu meneliti dulu keadaan daerahnya memasuki Pelita III, sepeninggal Marah Halim. Sekedar contoh ketika diajukan nota perhitungan APBD 78/79 pada 31 Maret lalu, terdapat sisa kas Rp 14,9 milyar, sedang tahun sebelumnya cuma Rp 3 ,6 milyar. Melihat jumlah sisa kas yang begitu besar, bukankah itu salah satu pertanda melorotnya upaya pembangunan? Seorang stafnya menyatakan, hal itu "akibat kelambatan disetujuinya pembangunan suatu proyek dari pusat hingga anggaran itu tak bisa dicairkan." Sekwilda "Belum ada penilaian tentang pelaksanaan pembangunan di Sumatera Utara dari yang berhak menilai, yaitu DPRD dan atasan," kata Tambunan seusai bertemu Presiden dua pekan lalu. Penilaian seperti itu memang belum ada. Tapi selama Tambunan menjadi gubernur, daerah itu terus-menerus menarik perhatian. Misalnya: sengketa tanah Siria-ria, disusul bentrokan di Bagan Asahan, kemudian sengketa tanah lagi antara petani penggarap dengan PNP IX yang belum juga terselesaikan. Dan yang terakhir tenggelamnya KM "Bawomataluwo" hadiah Presiden kepada Pemda Sum-Ut. Selain itu orang juga belum lupa sengketa tanah Gunung Bokor yang menyeret petani penggarap ke Pengadilan Negeri Tebing Tinggi yang sidangnya juga belum rampung itu. Lalu disusul ramainya penunjukan Kol. A. Manan Simatupang sebagai pelaksana Sekwilda Sum-Ut. Karena dinilai bekas Bupati Asahan itu banyak meninggalkan persoalan. Belakangan Tambunan mencoba lagi mcndrop sekwilda untuk Kotamadya Medan, Tebing Tinggi dan Simalungun. Haji Syarifuddin yang pernah minta berhenti sebagai Sekwilda Medan tapi ditolak secara lisan oleh Gubernur Marah Halim, mau diganti oleh Poltak Panggabean. Poltak yang kini bertugas di kantor gubernur, disetujui FKP dan F-PDI tapi ditolak FPP. Untuk Simalungun Tambunan menampilkan J.L. Girsang, yang kini masih Ka Subdit Medan, tapi belum diproses. Untuk Tebing T inggi, menurut sumber di Kantor Gubernur "sedang diproses". Tapi calon Sekwilda Tebing Tinggi tersebut pagi-pagi sudah ditolak oleh DPRD dari kotamadya yang mendapat Parasamya itu. Mereka menghendaki calon yang berasal dari kalangan kotamadya alias mengutamakan jabatan karir. Mereka merencanakan mengirim delegasi menemui Tambunan. "Saya hanya mengajukan calon sebagai saran saja," kata Tambunan tentang semua itu. Tapi setidaknya ada usaha Tambunan membenahi daerahnya. Misalnya penyelesaian kasus Siria-ria secara adat Selasa siang lalu. Dihadiri pejabat teras, para anggota DPRD dan masyarakat Siria-ria, siang itu para tetua adat seperti Boni Siregar menyerahkan kepala kerbau kepada Tambunan, pertanda permohonan penduduk untuk dapat mengusahakan tanah. Sebagai pertanda pemerintah mengijinkannya, Tambunan menyampaikan ulos possa kepada penduduk yang berhak. Ulos itu juga dimaksud semacam segel penyelesaian sengketa secara tuntas. Sebagai rasa terimakasih, penduduk Siria-ria menyerahkan tongkat kepada Gubernur, dilanjutkan tari-tarian tortor. Pengakuan hak milik adat itu tercantum dalam SK Bupati Tapanuli Utara no. 138/KPTS/1979 tanggal 1 Oktober 1979 setelah mempertimbangkan permintaan penduduk tanggal 26 Agustus 1979. Penyelesaian itu ditempuh melalui 5 tahap, setelah Tambunan mengunjungi Siria-ria 13 September lalu. Pertama-tama, penduduk diberi kesempatan untuk masisungkunan atau marlangen alias bertanya dalam musyawarah. Setelah ada kesepakatan, hasilnya disampaikan oleh tetua adat kepada Domu-domu (mediator) yang menggodok pendapat pemerintah dan masyarakat. Ini juga disebut tahap osek atau penjajagan. Tahap ketiga, 26 September, diadakan musyawarah lagi. Di situ penduduk mohon untuk dapat mengusahakan tanah. Kemudian diminta pendapat desa tetangga, termasuk Desa Hutagalung Kecamatan Harianboho. Desa tetangga tidak keberatan. Dan akhirnya upacara adat penyerahan tanah. "Memang banyak sengketa yang bisa diselesaikan secara adat," kata Tambunan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus