IBNU Khaldun, ahli sosiologi abad ke-14 yang termashur itu,
bukan seorang pedagang. Ia seorang sarjana dan juga aristokrat.
Sebagaimana umumnya orang dengan latar belakang demikian, ia
agak memandang rendah kaum saudagar.
Demikianlah seperti Plato dan Aristoteles dari Yunani atau
pengarang Wulang Reh dari Jawa, pengarang Muqaddimah itu tak
menghubungkan pekerjaan berdagang dengan sikap yang jujur. "Ini
adalah pekerjaan, di mana seseorang mau tak mau harus
menggunakan kecerdikan, tipuan, cekcok, tengkar dan sikap
mendesak-desak yang kasar." Menurut Ibnu Khaldun, hanya sedikit
orang jujur yang hidup dalam dunia pekerjaan seperti itu.
Tapi apa daya. Dunia modern mau tak mau terdiri dari pelbagai
lalulintas perdagangan. Negeri yang satu dengan negeri yang lain
hidup dari jual-beli yang hasilnya antara lain dimanfaatkan buat
kepentingan ilmu, seni, ide-ide dan kadang gaya hidup bersih
sejumlah aristokrat rohani. Buku puisi,atau kumpulan fikiran Mao
Tse-tung dan Muqaddimah, bahkan Kitab Suci -- juga majalah
berisi fikiran sosialis ataupun tasawuf -- pada akhirnya beredar
karena kegiatan saudagar kecil atau besar. Sederet seminar para
sarjana bisa terjadi berkat, umpamanya saja, maskapai kapal
terbang dan pemilik pabrik mesin ketik.
Semuanya mencari apa yang disebut oleh Ibnu Khaldun sebagai
ribb, atau laba. Maka keuntungan tidak dengan sendirinya menjadi
najis.
Itu tidak berarti bahwa pragmatisme dunia modern kini dapat
menunjang dirinya sendiri, terus-menerus, dengan hati batu. Apa
yang terkandung dalam laba? Untuk apa? Apa yang diperoleh dari
akumulasi harta? Buat apa?
Jawabannya tidak selamanya mudah. Tapi mungkin bukan cuma untuk
syarat kosong apabila banyak agama cenderung memberi "tanda
bahaya" bagi kekayaan.
Jika kita baca seruan memberi zakat hari-hari ini, sebagai cara
untuk mensucikan harta, yang dapat dipetik dari sana bukanlah
agar untuk selanjutnya harta itu dapat kita miliki sebagai
sesuatu yang "sudah suci." Melainkan, bahwa dalam setiap moment
pemilikan harta -- terutama dalam jumlah yang besar --
senantiasa terkandung potensi untuk menjadikan kita kotor. Power
tends to corrupt .... Nah, kenapa harta tidak?
Dalam hubungan itu menarik juga pendapat seorang sarjana Marxis
tentang Islam dan kapitalisme. "Keadilan dalam masalah-masalah
ekonomi," kata Maxim Rodinson dalam Islam and Capitalism - yang
versi Perancisnya terbit tahun 1966 -- "bagi Qur'an terdiri
dalam larangan terhadap sejenis perolehan yang amat berlebihan,
riba, dan dalam menyerahkan sebagian hasil pajak serta pemberian
yang dikumpulkan oleh pemimpin kaum guna membantu si miskin ...."
Rodinson bukanlah orang yang mau menyetujui anggapan bahwa Islam
adalah ideologi yang melahirkan kapitalisme -- sebagaimana ia
juga garuk-garuk kepala untuk mengiyakan bahwa Islam adalah
penganjur sosialisme. Dalam kata-kata Muhammad-Saleh Sfia,
seorang penulis Timur Tengah yang membahas bukunya itu, Rodinson
"menegaskan netralnya suatu ideologi dalam hubungan dengan
garis-garis kekuatan yang hakiki dalam evolusi sosial."
Tapi taruhlah ajaran agama belurn tentu berpengaruh langsung
kepada suatu tata susunan sosial-ekonomi. Toh tak dapat ditolak
bahwa ia membisu dari keprihatinan terhadap hasrat memperoleh
yang berlebihan.
Di zaman ketika Muhammad s.a.w. lahir, di Suriah ada sebuah
tulisan oleh seorang Bishop, bernama Jakub dari Saroug. Di sana
dikisahkan bagaimana Saitan menangisi hancurnya wibawanya,
setelah paganisme hilang dari muka bumi. Tapi ia punya akal
untuk memulihkan kekuasaannya. Ia bermaksud memanfaatkan cara
peminjaman uang dengan bunga (rebitha, sebuah kata yang
berhubungan dengan riba). Para pendeta dan biarawan akan
dibujuknya untuk melakukan perbuatan itu. "Dan saya tak peduli,"
kata Saitan, "bila dengan uang ini si pendeta membeli sebuah
kampak buat menghancurkan candi berhala! Sebab rasa cinta kepada
emas merupakan berhala yang lebih besar ketimbang berhala yang
manapun .... "
Ceritera seperti ini bisa berulang dalam semangat Islam, atau
Budha atau lainnya, setiap saat orang menyaksikan bahwa harta
dihimpun tanpa eling lan waspada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini