Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Kapitalisme Dan Sosialisme

Maxim Rodinson dalam Islam and Capitalism, menyatakan ideologi Islam melahirkan kapitalisme dan menganjurkan sosialisme. Setiap pemilikan harta terutama dalam jumlah besar selalu untuk menjadikan kotor.

2 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IBNU Khaldun, ahli sosiologi abad ke-14 yang termashur itu, bukan seorang pedagang. Ia seorang sarjana dan juga aristokrat. Sebagaimana umumnya orang dengan latar belakang demikian, ia agak memandang rendah kaum saudagar. Demikianlah seperti Plato dan Aristoteles dari Yunani atau pengarang Wulang Reh dari Jawa, pengarang Muqaddimah itu tak menghubungkan pekerjaan berdagang dengan sikap yang jujur. "Ini adalah pekerjaan, di mana seseorang mau tak mau harus menggunakan kecerdikan, tipuan, cekcok, tengkar dan sikap mendesak-desak yang kasar." Menurut Ibnu Khaldun, hanya sedikit orang jujur yang hidup dalam dunia pekerjaan seperti itu. Tapi apa daya. Dunia modern mau tak mau terdiri dari pelbagai lalulintas perdagangan. Negeri yang satu dengan negeri yang lain hidup dari jual-beli yang hasilnya antara lain dimanfaatkan buat kepentingan ilmu, seni, ide-ide dan kadang gaya hidup bersih sejumlah aristokrat rohani. Buku puisi,atau kumpulan fikiran Mao Tse-tung dan Muqaddimah, bahkan Kitab Suci -- juga majalah berisi fikiran sosialis ataupun tasawuf -- pada akhirnya beredar karena kegiatan saudagar kecil atau besar. Sederet seminar para sarjana bisa terjadi berkat, umpamanya saja, maskapai kapal terbang dan pemilik pabrik mesin ketik. Semuanya mencari apa yang disebut oleh Ibnu Khaldun sebagai ribb, atau laba. Maka keuntungan tidak dengan sendirinya menjadi najis. Itu tidak berarti bahwa pragmatisme dunia modern kini dapat menunjang dirinya sendiri, terus-menerus, dengan hati batu. Apa yang terkandung dalam laba? Untuk apa? Apa yang diperoleh dari akumulasi harta? Buat apa? Jawabannya tidak selamanya mudah. Tapi mungkin bukan cuma untuk syarat kosong apabila banyak agama cenderung memberi "tanda bahaya" bagi kekayaan. Jika kita baca seruan memberi zakat hari-hari ini, sebagai cara untuk mensucikan harta, yang dapat dipetik dari sana bukanlah agar untuk selanjutnya harta itu dapat kita miliki sebagai sesuatu yang "sudah suci." Melainkan, bahwa dalam setiap moment pemilikan harta -- terutama dalam jumlah yang besar -- senantiasa terkandung potensi untuk menjadikan kita kotor. Power tends to corrupt .... Nah, kenapa harta tidak? Dalam hubungan itu menarik juga pendapat seorang sarjana Marxis tentang Islam dan kapitalisme. "Keadilan dalam masalah-masalah ekonomi," kata Maxim Rodinson dalam Islam and Capitalism - yang versi Perancisnya terbit tahun 1966 -- "bagi Qur'an terdiri dalam larangan terhadap sejenis perolehan yang amat berlebihan, riba, dan dalam menyerahkan sebagian hasil pajak serta pemberian yang dikumpulkan oleh pemimpin kaum guna membantu si miskin ...." Rodinson bukanlah orang yang mau menyetujui anggapan bahwa Islam adalah ideologi yang melahirkan kapitalisme -- sebagaimana ia juga garuk-garuk kepala untuk mengiyakan bahwa Islam adalah penganjur sosialisme. Dalam kata-kata Muhammad-Saleh Sfia, seorang penulis Timur Tengah yang membahas bukunya itu, Rodinson "menegaskan netralnya suatu ideologi dalam hubungan dengan garis-garis kekuatan yang hakiki dalam evolusi sosial." Tapi taruhlah ajaran agama belurn tentu berpengaruh langsung kepada suatu tata susunan sosial-ekonomi. Toh tak dapat ditolak bahwa ia membisu dari keprihatinan terhadap hasrat memperoleh yang berlebihan. Di zaman ketika Muhammad s.a.w. lahir, di Suriah ada sebuah tulisan oleh seorang Bishop, bernama Jakub dari Saroug. Di sana dikisahkan bagaimana Saitan menangisi hancurnya wibawanya, setelah paganisme hilang dari muka bumi. Tapi ia punya akal untuk memulihkan kekuasaannya. Ia bermaksud memanfaatkan cara peminjaman uang dengan bunga (rebitha, sebuah kata yang berhubungan dengan riba). Para pendeta dan biarawan akan dibujuknya untuk melakukan perbuatan itu. "Dan saya tak peduli," kata Saitan, "bila dengan uang ini si pendeta membeli sebuah kampak buat menghancurkan candi berhala! Sebab rasa cinta kepada emas merupakan berhala yang lebih besar ketimbang berhala yang manapun .... " Ceritera seperti ini bisa berulang dalam semangat Islam, atau Budha atau lainnya, setiap saat orang menyaksikan bahwa harta dihimpun tanpa eling lan waspada.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus