Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Tanah itu rp 75 per m2

Tanah di desa lulut dan mampang, bogor, akan dipakai untuk penyediaan bahan baku pt indocement. penduduk diminta menjualnya dengan harga murah. wartawan di undang untuk melihat yang sebenarnya. (dh)

7 April 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RIBUT perhara tanan di Lingkungan Baranangsiang (Kotamadya Bogor) belum sepi. Tapi kejadian hampir serupa menimpa penduduk di Desa Lulut, Kecamatan Cileungsi dan Desa Mampang Depok. Kedua-duanya di wilayah Kabupaten Bogor. Tapi sebagaimana halnya dengan kejadian di Baranangsiang, di dua desa yang terakhir ini juga agaknya tak akan sampai ke pengadilan. Didug karena pihak berwenang lebih senang menyelesaikannya melalui perdamaian antara pihak-pihak bersangkutan - puas atau setengah puas. Kisah di Desa Luiut dan Desa Mampang itu dimulai sejak awal tahun lalu Ketika itu terdengar desas-desus bahwa tanah mereka akan dikuasai PT Indocement untuk tempat penyediaan bahan baku bagi pabrik semen itu. Kegelisahan mulai timbul, lebih-lebih karena memang letak pabrik semen adi tak jauh dari kedua desa itu. Tapi satu hal yang cepat-cepat menjadi pegangan penduduk: tanah tak akan dijual, karena sejak nenek moyang mereka hidup dengan tanah-tanah itu. Status tanah itu sendiri adalah tanah milik adat. Desas-desus tadi dengan cepat berkembang. Lalu seperti biasanya muncul penangguk-penangguk untuk menakut-nakuti penduduk. Maka tak sedikit di antaranya yang buru-buru menjual tanahnya dengan harga berapa saja: karena dikatakan tanah itu akan diambil begitu saja - terutama yang tak memiliki sura-surat lagi. Tapi untung keadaan serba tiada berketentuan itu cepat-cepat terdengar pihak kabupaten. Sehingga keluarlah surat keputusan (SK) Bupati Bogor 1 Maret 1977. Isinya. menetapkan ganti rugi tanah di daerah itu sebesar Rp 75 per-MÿFD. Tapi ternyata persoalan tak dengan sendirinya selesai: pantaskah harga begitu, jika sejak dahulu kala penduduk hanya bermata-pencaharian dari tanah itu? Artinya. dengan harga tadi, apakah hidup mereka kemudian akan tersarnbung setelah tanah dilepaskan? Ternyata penduduk merasa berat dan tak mau melepaskan tanahnya. Namun penangguk-penangguk tetap muncul, berbaju resmi atau tidak. Dikatakan oleh penangguk-penangguk itu Inisalnya, SK Bupati 1 Maret 1977 diturunkan justru karena sudah ada kata mufakat antara pihak pembeli (yang dikuasakan oleh PT Indocement) dengan penduduk. Ditunjukkan berkas, persetujuan 235 orang penduduk sebagai hasil rembuk desa yang dipimpin lurah. Sebagian besar penduduk membantah danya berkas persetujuan itu. Bahkan disebut-sebut bahwa yang dikatakan rembuk desa itu hanya bikin-bikinan lurah dan beberapa orang pembantunya. Dalam konsideran SK Bupati tadi memang tak disebut adanya rembukan tadi. Tapi nasib sekitar 200 orang penduduk yang tetap ngotot tak mau menjual tanahnya dan membantah adanya rembuk desa itu agaknya kurang beruntung juga. Sebab serentak diketahui siapa-siapa mereka itu, sejumlah oknum petugas pelan-pelan melancarkan tekanan. Caranya ada yang dengan memanggil penduduk bersangkutan, atau mendatangi mereka sambil menyodorkan blanko persetujuan. Dan walaupun si pemilik tetap tak mau melepaskan, petugas-petugas yang lain tetap juga mengukur tanah itu. Opstibda ? Terakhir sekali 13 orang penduduk dipanggil camat ke kantornya. Panggilan ini banyak ditatsirkan sebagai permulaan penahanan karena ke-13 orang itu tetap tak mau menjual tanah mereka. Sebab, seperti dituturkan penduduk kepada- .larawijaya dari TEMPO, 7 orang di antaranya hanya dapat perkenan meninggalkan kantor kecamatan setelah pura-pura pamit untuk bersembahyang, lalu kabur. Sedang 6 orang lainnya dapat terhindar dari situ dengan alasan akan berfikir dulu di rumah tapi kemudian tak ditepati mereka. Barangkali karena tak tahan dirongrong terus oleh oknum-oknum petugas, maka 10 Oktober lalu sebanyak 50 orang penduduk (yang tak mau melepas tanahnya) menandatangani surat undangan kepada seluruh penerbitan pers di Jakarta. Para wartawan diajak meninjau desa mereka dan menyaksikan perlakuan yang mereka alami agar benar-benar mendapat keterangan dari tangan pertama. Bagaimana Opstibda? Memang sudah terdengar pengusutan pihak ini, terutama dalam bentuk menyuruh salah seorang penduduk agar membantah berita di koran-koran - setelah beberapa wartawan mendatangi desa itu dan mewawancarai penduduk sesuai dengan permintaan ke-50 warga desa tadi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus