RIBUT perhara tanan di Lingkungan Baranangsiang (Kotamadya Bogor)
belum sepi. Tapi kejadian hampir serupa menimpa penduduk di Desa
Lulut, Kecamatan Cileungsi dan Desa Mampang Depok. Kedua-duanya
di wilayah Kabupaten Bogor. Tapi sebagaimana halnya dengan
kejadian di Baranangsiang, di dua desa yang terakhir ini juga
agaknya tak akan sampai ke pengadilan. Didug karena pihak berwenang
lebih senang menyelesaikannya melalui perdamaian antara pihak-pihak
bersangkutan - puas atau setengah puas.
Kisah di Desa Luiut dan Desa Mampang itu dimulai sejak awal tahun
lalu Ketika itu terdengar desas-desus bahwa tanah mereka akan
dikuasai PT Indocement untuk tempat penyediaan bahan baku bagi
pabrik semen itu. Kegelisahan mulai timbul, lebih-lebih karena
memang letak pabrik semen adi tak jauh dari kedua desa itu. Tapi
satu hal yang cepat-cepat menjadi pegangan penduduk: tanah tak
akan dijual, karena sejak nenek moyang mereka hidup dengan
tanah-tanah itu. Status tanah itu sendiri adalah tanah milik adat.
Desas-desus tadi dengan cepat berkembang. Lalu seperti biasanya
muncul penangguk-penangguk untuk menakut-nakuti penduduk. Maka
tak sedikit di antaranya yang buru-buru menjual tanahnya dengan
harga berapa saja: karena dikatakan tanah itu akan diambil begitu
saja - terutama yang tak memiliki sura-surat lagi. Tapi untung
keadaan serba tiada berketentuan itu cepat-cepat terdengar pihak
kabupaten. Sehingga keluarlah surat keputusan (SK) Bupati Bogor 1
Maret 1977. Isinya. menetapkan ganti rugi tanah di daerah itu
sebesar Rp 75 per-MÿFD.
Tapi ternyata persoalan tak dengan sendirinya selesai: pantaskah
harga begitu, jika sejak dahulu kala penduduk hanya
bermata-pencaharian dari tanah itu? Artinya. dengan harga tadi,
apakah hidup mereka kemudian akan tersarnbung setelah tanah
dilepaskan? Ternyata penduduk merasa berat dan tak mau melepaskan
tanahnya. Namun penangguk-penangguk tetap muncul, berbaju resmi
atau tidak. Dikatakan oleh penangguk-penangguk itu Inisalnya, SK
Bupati 1 Maret 1977 diturunkan justru karena sudah ada kata
mufakat antara pihak pembeli (yang dikuasakan oleh PT Indocement)
dengan penduduk. Ditunjukkan berkas, persetujuan 235 orang penduduk
sebagai hasil rembuk desa yang dipimpin lurah. Sebagian besar
penduduk membantah danya berkas persetujuan itu. Bahkan
disebut-sebut bahwa yang dikatakan rembuk desa itu hanya
bikin-bikinan lurah dan beberapa orang pembantunya. Dalam
konsideran SK Bupati tadi memang tak disebut adanya rembukan tadi.
Tapi nasib sekitar 200 orang penduduk yang tetap ngotot tak mau
menjual tanahnya dan membantah adanya rembuk desa itu agaknya
kurang beruntung juga. Sebab serentak diketahui siapa-siapa mereka
itu, sejumlah oknum petugas pelan-pelan melancarkan tekanan.
Caranya ada yang dengan memanggil penduduk bersangkutan, atau
mendatangi mereka sambil menyodorkan blanko persetujuan. Dan
walaupun si pemilik tetap tak mau melepaskan, petugas-petugas yang
lain tetap juga mengukur tanah itu.
Opstibda ?
Terakhir sekali 13 orang penduduk dipanggil camat ke kantornya.
Panggilan ini banyak ditatsirkan sebagai permulaan penahanan karena
ke-13 orang itu tetap tak mau menjual tanah mereka. Sebab, seperti
dituturkan penduduk kepada- .larawijaya dari TEMPO, 7 orang di
antaranya hanya dapat perkenan meninggalkan kantor kecamatan
setelah pura-pura pamit untuk bersembahyang, lalu kabur. Sedang 6
orang lainnya dapat terhindar dari situ dengan alasan akan berfikir
dulu di rumah tapi kemudian tak ditepati mereka.
Barangkali karena tak tahan dirongrong terus oleh oknum-oknum
petugas, maka 10 Oktober lalu sebanyak 50 orang penduduk (yang
tak mau melepas tanahnya) menandatangani surat undangan kepada
seluruh penerbitan pers di Jakarta. Para wartawan diajak meninjau
desa mereka dan menyaksikan perlakuan yang mereka alami agar
benar-benar mendapat keterangan dari tangan pertama. Bagaimana
Opstibda? Memang sudah terdengar pengusutan pihak ini, terutama
dalam bentuk menyuruh salah seorang penduduk agar membantah berita
di koran-koran - setelah beberapa wartawan mendatangi desa itu
dan mewawancarai penduduk sesuai dengan permintaan ke-50 warga
desa tadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini