JAKARTA, dulu apalagi kini, bukan surga. Malah, sebuah film komedi nasional, yang dibintangi Pelawak Ateng, Iskak, dan Suroto, menggambarkan Jakarta secara parodi: Ibu Kota Lebih Kejam Dari Ibu Tiri. Tapi gambaran itu tetap saja tak mengurangi hasrat pendatang untuk mengadu nasib di Jakarta. Tempo 20 tahun terakhir, warga Ibu Kota telah membengkak dua kali lipat- menurut catatan Pemda DKI Jakarta: 9,2 juta jiwa di waktu siang dan berkurang sekitar 1 juta orang di waktu malam. Kini Jakarta, dengan masa silam sepanjang 464 tahun, sedang menjenguk ke masa datang. Tapi di depan tampaknya bukan sebuah gambaran yang elok. Pada 1972 saja, dan 35.550 hektare tanah di Jakarta telah terpakai 25.781 hektar. Tak mengherankan bila ada pemeo tentang harga tanah di Ibu Kota: harga hari ini lebih murah dari harga esok. Harga lahan yang tak menentu itu membuat spekulan tanah bermunculan dan main borong di sana-sini. Tahun lalu, misalnya, seorang spekulan tanah di kawasan segi tiga emas Kuningan dikabarkan berani menutup harga sampai Rp 2 juta per meter persegi. Pendek kata, mereka tak boleh melihat tanah kosong atau bangunan kurang bermanfaat langsung ditawar. Maka, tak usah kaget bila kemarin Anda masih bisa lari pagi di perbukitan di sekitar kompleks olahraga Senayan, esok di situ sudah Anda temui pusat pertokoan mewah dengan bangunan menggapai awan. Tempo dua dekade terakhir, Jakarta memang berubah menjadi hutan beton- gedung jangkung menjulang di mana-mana- dan sekaligus mengubur nostalgia kita mengenai banyak hal tentang Jakarta. Wisma Warta, yang terletak di Jalan Thamrin, dibangun bersamaan dengan pelaksanaan Asian Games 1962 di Jakarta, dan pernah jadi tempat penyelenggaraan konperensi wartawan Asia-Afrika, misalnya sudah berubah jadi bangunan Grand Hyatt. Hotel tua Des Indes (terakhir populer dengan sebutan Hotel Duta) di Harmoni telah berganti wujud menjadi pusat pertokoan Duta Merlin. Belum lagi kelak bila jalan layang kereta api Kebayoran Baru-Jakarta Kota jadi dilaksanakan, entah berapa pula bangunan bersejarah yang bakal tergusur. Pembangunan Jakarta memang menuntut pengorbanan sejumlah orang- sayangnya, kebanyakan di antara mereka adalah rakyat kecil. Tapi hasrat untuk dapat memiliki setumpak tanah di Jakarta, apakah itu rakyat kecil apalagi orang kaya, sama menggebu-gebunya. Soalnya, tanah di Jakarta tak lagi semata-mata punya nilai investasi, tapi juga nilai prestisius. Pada ulang tahun Jakarta ke-464 terasa perlu menyorot liku-liku "main" tanah di Ibu Kota- yang makin tersedia sedikit dan makin mahal harganya. Siapa tahu, tanah setumpak yang kini kita huni telah jadi milik orang lain tanpa setahu kita. Herry Komar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini