KINI Sarwo Edhie Wibowo telah terbaring tenang di pemakaman keluarga di Ngupasan, Purworejo, Jawa Tengah. Tapi tak gampang untuk segera melupakan prajurit yang satu ini. Begitu banyak, dan begitu dalam, jejak langkah yang ditinggalkannya, sehingga pasti nama bekas Komandan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat, sekarang Kopassus) ini tak bisa dihapus dari catatan sejarah bangsa. Siapa yang bisa menghapus kisah suksesnya dalam penyerbuan Mapanget? Ketika itu, 1957, Sarwo Edhie dan pasukannya berhasil merebut lapangan terbang di Manado, Sulawesi Utara, itu dari tangan pemberontak Permesta. Lalu, bagaimana dengan peranan Sarwo, yang, bersama sepasukan kecil RPKAD, dalam waktu singkat menguasai kembali gedung RRI Pusat Jakarta, 1 Oktober 1965, yang sebelumnya dijadikan pemberontak PKI sebagai corong gerakan? Pasukannya pula yang membebaskan kompleks Halim Perdanakusuma, yang ketika itu jadi markas G30S-PKI. Kemudian, Sarwo bersama RPKAD-nya menghancurkan sisa-sisa gerombolan G30S-PKI di Jawa Tengah. Maka, bisa dimengerti bila Sarwo oleh masyarakat kemudian dielu-elukan sebagai pahlawan. Nama Sarwo Edhie (yang berarti: serba baik/molek) -- si pengagum Bima, tokoh pewayangan yang berani, perkasa, kasar tapi jujur -- pun menjulang. Perjalanan kariernya kemudian membawa ia menjadi Panglima Kodam di Medan, Sumatera Utara, lalu ke Jayapura, Irian Jaya, masih sebagai pangdam. Selanjutnya ia menjabat Gubernur Akabri, dubes di Korea Selatan, dan Kepala BP-7. Kemudian, ia termasuk salah satu dari 1.000 anggota DPR/MPR yang dilantik pada 1 Oktober 1987, mewakili F-KP. Di sini, sekali lagi si Bima ini buat kejutan. Betapa tidak, ketika banyak orang berebutan ingin duduk di lembaga terhormat itu, tiba-tiba Sarwo Edhie malah mengundurkan diri. Secara formal, Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR itu mengirimkan surat pengunduran diri 15 Maret 1988, atau empat hari setelah Sidang Umum MPR usai. Tapi beberapa bulan sebelumnya, sebenarnya, kabar itu sudah beredar di kalangan politisi. Malah menurut Mayor Jenderal (Purn.) Chalimi Imam Santosa, teman dan bekas anak buah Sarwo, sebenarnya 14 hari setelah dilantik menjadi anggota DPR, Sarwo telah menyampaikan permohonan mundur dari DPR. Bagi C.I. Santosa, hal itu merupakan bukti betapa ketatnya Sarwo Edhie memegang disiplin militer. "Ia tetap menjalankan perintah untuk bertugas di DPR, sebab, sesuai dengan aturan militer, perintah apa pun mesti dijalankan. Baru setelah 14 hari di sana, ia mengajukan keberatan," ujar mantan Komandan Batalyon 1 RPKAD itu kepada wartawan TEMPO Diah Purnomowati. Dalam suatu wawancara dengan Muchsin Lubis dari TEMPO, pertengahan April 1988, Sarwo Edhie sendiri membenarkan bahwa sebelum SU-MPR, ia telah menulis surat -- juga bicara langsung -- kepada Ketua Umum DPP Golkar Sudharmono, membicarakan kehendaknya untuk mundur itu. Saat itu, katanya, Sudharmono mengatakan agar keinginannya itu dibicarakan nanti seusai SU-MPR. "Apa saja yang saya bicarakan dengan Ketua Umum DPP Golkar, itu confidential. Secara politis saya tak bisa menjelaskannya," ujarnya saat itu. Akhirnya, 4 Juli 1988, keluar surat keputusan presiden, menarik Sarwo dari DPR, dan Sarwo mengaku merasa sangat plong. Di hari terakhirnya di DPR, 13 Juli 1988, ada acara perpisahan yang amat sederhana di kamar BKSAP, di lantai dua gedung DPR Senayan. Yang hadir sekitar 20 orang, terdiri dari teman-teman dekatnya di DPR, kebanyakan generasi muda. Acaranya pun berlangsung singkat, tak sampai satu jam. Seorang bekas tokoh Angkatan '66 rupanya begitu terharu berpisah dengan Pak Sarwo, lalu menangis di tengah acara. "Lho, Angkatan '66 jangan menangis, dong," tegur Sarwo Edhie. Ujar Sarwo kepada TEMPO, "Pengunduran diri saya ini karena alasan pribadi, dan itu sudah saya pikirkan masak-masak. Hati nurani saya yang mengatakan, saya harus mundur. Ini yang terbaik untuk DPR dan untuk saya pribadi." Sebab, kalau hati nurani itu tak diikutinya, dia bisa sakit. "Kalau saya terus di DPR tanpa bisa berbuat banyak, saya bisa sakit secara fisik". Hal ini sudah dibicarakannya dengan istrinya. "Yang penting jij jangan sakit," kata sang istri seperti ditirukan Sarwo. Tapi sesungguhnya sejak itu pula -- bahkan sampai pekan lalu, setelah Sarwo meninggal -- berkembang tanda tanya besar: mengapa ia mengundurkan diri? Apakah hal itu ada kaitannya dengan sakit -- yang kemudian menyebabkan ia meninggal? Dalam pernyataan resmi yang diberikannya saat itu, dan banyak dikutip media massa, ia mundur karena menilai tenaganya di DPR kurang produktif. "Pada umumnya saya merasa di DPR tidak bisa berbuat banyak. Karena itu, saya merasa lebih baik diganti oleh tenaga yang lebih baik. Dari generasi muda kan banyak," ujarnya saat itu kepada TEMPO. Ternyata, kemudian penggantinya sebagai Ketua BKSAP memang orang muda, Theo Sambuaga, bekas tokoh mahasiswa itu. Betapapun pertanyaan tadi tetap terasa belum terjawab. Menghadapi Pemilu 1987, Sarwo Edhie dicalonkan Golkar dalam daftar urut nomor satu di daerah pemilihan DKI Jakarta. Menurut Brigjen. (Purn.) Achmadi, bekas Ketua DPD Golkar Jakarta, ia mencalonkan Sarwo ketika itu karena melihat bobot intelektual dan kedudukan letnan jenderal purnawirawan itu sebagai Kepala BP-7. "Ada 660 nama yang kami kirimkan ke DPP Golkar," ujar Achmadi kepada TEMPO, pekan lalu. Dari ratusan nama itu, DPP Golkar menetapkan 30 nama untuk calon DKI, dengan Sarwo sebagai calon nomor satu. "Sejak itu beliau sering ikut dalam pertemuan-pertemuan Golkar DKI, untuk menghadapi Pemilu 1987," tutur Achmadi. Sarwo terpilih sebagai salah seorang juru kampanye Golkar. Untuk itu dengan rajin ia kelilingi berbagai daerah Jakarta, mengampanyekan Golkar. Malah ia sempat pula berkampanye di Jawa Tengah. Menurut Achmadi, Ketua DPP Golkar Sudharmono menunjuk Sarwo Edhie sebagai pembicara mewakili generasi senior, ketika DPP Golkar mengadakan perayaan lahirnya Surat Perintah 11 Maret, di Istora Senayan Jakarta, 11 Maret 1987. Pembicara yang lain, Bambang Sulistomo, eks tokoh mahasiswa dan putra Bung Tomo, mewakili generasi muda, lalu Sudharmono sendiri. Dalam acara meriah yang dihadiri sekitar 10.000 kader Golkar itu, Sarwo yang tampil sebagai pembicara kedua berpidato dengan bersemangat dan mendapat sambutan meriah pula dari hadirin. Ia menguraikan kisah penumpasan G30S-PKI, aksi mahasiswa 1966, dan keterlibatannya pada saat itu. Ia juga mengingatkan bahaya laten PKI. "Pak Sarwo berbicara satu jam lebih," ujar seorang tokoh Golkar. "Pak Dhar, yang berbicara setelah Pak Sarwo, cuma kebagian waktu sepuluhan menit," ujar sumber itu. Maka, ada saja yang usil menghubung-hubungkan peristiwa itu dengan urungnya Sarwo menjadi Ketua DPR, jabatan yang konon "dipersiapkan" untuknya. Menyusul, tersebar pula kabar lain, bahwa Sarwo Edhie pernah ditawari Golkar menjadi Ketua F-KP DPR, tapi ditampiknya. Seorang anggota Dewan Pembina Golkar membantah itu. "Setahu saya, dalam pembicaraan elite politik menjelang SU-MPR, nama Sarwo Edhie tak ada dalam nominasi calon Ketua DPR/MPR," katanya. Saat itu, Sarwo Edhie sendiri, dengan agak marah, membantah pengunduran dirinya dari DPR itu ada kaitannya dengan jabatan di lembaga legislatif tersebut. "Hanya PKI yang menganggap saya begitu, karena sejak dulu saya menghantam PKI. Sekarang bisa saja mereka menghantam saya," katanya ketika diwawancarai wartawan TEMPO Tri Budianto Soekarno, di rumahnya, 18 April 1988. Memang banyak orang yang mengenal Sarwo Edhie bukanlah tipe tokoh yang selalu mengharapkan jabatan. "Jelasnya, ia adalah orang yang sepi ing pamrih (tidak punya pamrih)," ujar Achmadi, bekas Ketua DPD Golkar DKI tadi. Itu diperkuat oleh Soekardi, Wakil Ketua DPR dan salah seorang Ketua DPP Golkar, dengan menunjuk betapa sederhananya kehidupan tokoh penting Orde Baru itu. "Kalau ia mau, ia bisa saja dapat fasilitas," kata Soekardi. Ada yang bilang, dengan jabatannya di BKSAP yang mengurusi hubungan DPR dengan parlemen-parlemen di luar negeri, Sarwo merasa kurang berhubungan langsung dengan rakyat, sesuatu yang amat disenanginya selama ini. "Jadi, mungkin saja Sarwo punya unek-unek dan kesal hati karena tak bisa berbuat banyak untuk rakyat," kata C.I. Santosa. Di mata Jenderal (Purn.) Soemitro, Sarwo seorang satria tanpa cacat. Seorang yang loyal pada atasan, dan punya harga diri. Mampu menyamakan kata dan perbuatan, misalnya, dengan konsekuen menjalani hidup secara sederhana. Tapi, menurut Soemitro, Sarwo suka menahan diri dan terkadang tertutup. Ada hal-hal yang tidak ia ceritakan kepada siapa pun. Kalau itu benar, tepatlah kata-kata Soemitro ini, "Hanya Tuhan yang tahu kenapa ia berhenti dari DPR." Tapi kerasnya Sarwo berpegang pada prinsip yang ia anut itu, menurut Kemal Idris, menyebabkan ia selalu dirundung fitnah. "Kepingin jadi presidenlah, yang inilah, itulah," kata Kemal, bekas Pangkostrad. Tentang soal itu, eks tokoh KAMI Liem Bian Koen -- kini lebih dikenal sebagai pengusaha terkemuka Sofyan Wanandi -- punya cerita menarik. Sekitar tahun 1967, ia bersama tokoh KAMI lainnya, Cosmas Batubara, pernah dipanggil Aspri Presiden, Soedjono Humardani (kini almarhum). Soedjono memperlihatkan sebuah petisi yang isinya: secara garis besar tak lagi mempercayai kemampuan Pak Harto sebagai pimpinan nasional, karena itu minta diganti saja dengan Sarwo Edhie. Tertera 10 tokoh kesatuan aksi sebagai penanda tangan petisi, seperti Cosmas Batubara, Zamroni, Liem Bian Koen, Subchan Z.E., Harry Chan Silalahi, David Napitupulu, dan Firdaus Wajdi. "Itu dokumen palsu, sebab setelah tanda tangan saya dan Cosmas dibandingkan dengan tanda tangan yang ada di petisi itu, tak cocok. Jelas, dokumen itu dibuat untuk mengadu domba Pak Harto dengan Sarwo Edhie," ujar Sofyan Wanandi. Menurut Sofyan, karena dokumen itulah muncul isu seolah-olah Sarwo Edhie akan "me-najib-kan" Pak Harto, suatu istilah yang mengingatkan pemimpin Mesir Jenderal Najib yang digulingkan oleh tokoh muda Gamal Abdul Nasser itu. "Secara bergurau kami disebut mau me-najib-kan Soeharto dan me-nasser-kan Sarwo Edhie," tambah Sofyan. Setelah itu segera Liem Bian Koen menemui Sarwo, menyampaikan cerita dokumen palsu itu, dan malamnya, seperti dikatakan Sarwo kemudian kepada Liem, ia menemui Pak Harto. Soal dokumen itu belakangan hilang begitu saja. Sarwo Edhie tahun itu juga pindah ke Medan sebagai Pangdam II Bukit Barisan. Di sana ia disambut hangat oleh para tokoh kesatuan aksi yang saat itu sering bentrok dengan PNI. "Pak Sarwo akrab sekali dengan kesatuan aksi, ia sering datang ke kantor kami," kata M.Y. Effendy Nasution, bekas tokoh kesatuan aksi di Medan. Pada akhir tahun itu juga, Sarwo membekukan PNI di Sumatera Utara, sesuatu yang dinilai oleh banyak pengamat kurang pas dengan sikap pemerintah pusat di Jakarta, yang ingin memperbaiki atau membersihkan PNI dari unsur kiri, bukan melenyapkannya. Sarwo dinilai "naif" di bidang politik. Agaknya, tepatlah apa yang disebutkan seorang pengamat politik yang bergaul dekat dengan Sarwo selama ini, pentas politik bukanlah tempat yang cocok bagi Sarwo. Sebagai seorang kesatria priayi yang selalu ingin menegakkan kebenaran dan keadilan, ia sudah memperlihatkan karier yang cemerlang dalam korps pasukan baret merah. Di sana, di medan pertempuran atau di barak militer, rupanya sosok sang Bima ini lebih punya arti. Amran Nasution, Rustam F. Mandayun, Ahmadie Thaha, dan I Made Suarjana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini