SANG prajurit, yang bisa dijadikan sebuah simbol kesederhanaan Indonesia, itu kini telah tiada. Jumat pekan lalu, sosok Letnan Jenderal (Purn.) Sarwo Edhie Wibowo dikebumikan di tanah kelahirannya, Purworejo. Di pemakaman keluarga yang sederhana, yang terletak di tengah perkampungan dan harus dicapai melalui jalan tanah, perjalanan hidup prajurit baret merah ini mencapai ujung akhirnya. Ia dilepas dalam sebuah upacara sederhana, tapi khidmat, yang dipimpin oleh KSAD Jenderal Edi Sudrajat. Ini adalah akhir perjalanan 62 tahun yang penuh warna yang puncaknya, barangkali, terukir hampir seperempat abad silam. Ketika, sebagai komandan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat), almarhum menjadi salah satu tokoh penentu yang menggagalkan pemberontakan G30S-PKI. Demikian pentingnya peran itu, hingga Jenderal (purnawirawan) A.H. Nasution menyebut Mas Sar -- demikian panggilan akrabnya -- sebagai salah seorang king maker Orde Baru. Karena itu, bisa dimengerti jika Kamis dan Jumat pekan lalu itu, rumah almarhum, yang didiaminya selama puluhan tahun, terasa sempit oleh ribuan tamu. Presiden Soeharto dan Ny. Tien, Wapres Sudharmono, para menteri dan pejabat tinggi, semua tampak datang untuk melayat. Bahkan, bagi para anggota RPKAD -- sekarang bernama Komando Pasukan Khusus (Kopassus) -- yang aktif maupun yang telah purnawirawan, acara melayat ini bagaikan reuni yang bernada sedih. Sedih karena seorang prajurit pahlawan mereka telah tiada. "Beliau adalah seorang prajurit sejati, yang selalu memegang janji prajuritnya dengan baik, dan menanamkan rasa patriotisme yang tinggi kepada anak buahnya," kata Mayor Jenderal Faisal Tandjung. Komandan Seskoad ini menjadi anak buah Sarwo Edhie ketika bertugas di Irian Jaya. Penyemaian bibit patriotisme ini tak cuma dilakukan Sarwo Edhie di kalangan tentara, melainkan di semua kalangan, terutama para pemuda. "Mas Sar tak pernah absen hadir dalam acara pendidikan dasar Wanadri sejak berdirinya tahun 1964," kata Iwan Abdurachman, 42 tahun, salah seorang tokoh pendiri kelompok pencinta alam terkemuka dan tertua itu, kepada Riza Sofyat dari TEMPO. Berkat bantuan Sarwo Edhie-lah para pendiri Wanadri menguasai ilmu bertahan hidup di belantara dengan mengikuti latihan komando di Batujajar. Dekatnya Sarwo Edhie dengan generasi muda memang legendaris, terutama bagi para mahasiswa aktivis 1966. "Hubungan yang terjalin antara kita sebagai mahasiswa waktu itu sangat dekat dengan Pak Sarwo," kata Rachmat Witoelar, Sekjen DPP Golkar. "Saya sebagai Ketua Dewan Mahasiswa ITB selalu menjadikan Pak Sarwo Edhie dan RPKAD-nya tempat ngumpet ketika dikejar-kejar PKI. Dia selalu bersikap sebagai kakak, dan mau mendengarkan dan belajar dari tuntutan-tuntutan mahasiswa waktu itu," tambahnya. Dan Sarwo Edhie tampaknya ingin meneruskan tradisi hubungan baik dengan generasi muda sipil ini kepada anak didiknya di militer. Selama menjabat Gubernur Akabri, ia selalu mempromosikan anjangsana antara taruna dan mahasiswa. Sesudah menjadi purnawirawan pun ia meluangkan waktu menggembleng pemuda. Sejak 1984, mantan duta besar di Korea Selatan ini aktif sebagai Ketua Umum Perkumpulan Taekwondo Indonesia. Tegas, disiplin, dan jujur adalah tiga sifat utama yang sangat mewarnai tokoh pengagum Bima ini sejak muda. Kekaguman yang menyebabkannya sejak kecil tahan menonton acara wayang hingga dini hari. Dan sifat Bima yang suka berguru pun lantas ditirunya dalam mendalami ilmu silat. Ilmu yang diperlukannya karena ketika kecil gemar berkelahi. Kegemaran itu, barangkali, yang menyebabkan putra pegawai kantor gadai yang mula-mula ingin menjadi priayi ini mendaftar menjadi Heiho ketika Jepang masuk ke Purworejo. Pemuda mana yang tak tertarik bergabung dengan militer Jepang yang gagah, yang dengan mudah membuat tentara Belanda kocar-kacir? Tapi impiannya menyandang pedang dan bersepatu but mengkilap segera sirna. Sebagai Heiho tugasnya ternyata sekadar memotong rumput dan membersihkan jamban. Maka, Sarwo muda pun kabur untuk memasuki pendidikan calon bintara Pembela Tanah Air (Peta) di Magelang. Ia ternyata berbakat. Sarwo Edhie menjadi salah satu lulusan Shodanco terbaik dan mendapat pedang ketika dilantik. Minat menjadi prajurit Sarwo ternyata tak luntur dengan bubarnya Peta ketika Jepang menyerah pada Sekutu. Terbukti ia kemudian bergabung dengan Achmad Yani dalam kesatuan BKR yang kemudian menjadi bagian dari Divisi Diponegoro. Rasa kesetiakawanan yang tinggi, yang didampingi kepatuhan kepada atasan, bukanlah kombinasi yang mudah beriringan. Tapi kualitas ini sudah dibuktikan Sarwo Edhie ketika masih menjadi komandan kompi dengan pangkat kapten. Karena melindungi anak buahnya yang dianggap indisipliner, Sarwo Edhie rela diturunkan pangkatnya menjadi letnan satu oleh Achmad Yani. Bahkan ia meminta dimahkamahmiliterkan, tapi ditolak atasannya. Sarwo Edhie sempat memperdalam ilmu militer di Amerika Serikat dan Australia, dan sangat aktif menurunkan ilmu yang didapatnya itu kepada anak didiknya. Ia dikenal sebagai pelopor penggunaan teknik terjun bebas untuk operasi militer di Indonesia. "Saya adalah perwira tinggi pertama yang terjun bebas," katanya dalam sebuah wawancara dengan TEMPO. Dan Sarwo Edhie memang membuktikan dirinya bukan cuma jago perang teoretis. Dengan teknik dadakan yang jitu, Sarwo Edhie berhasil memimpin pasukannya merebut lapangan terbang Mapanget, Manado, dari pasukan pemberontak Permesta yang terlatih dan bersenjata lengkap, 1957. Dengan teknik yang mirip, ia mengulangi suksesnya itu ketika merebut Stasiun RRI Pusat dan pangkalan udara Halim Perdanakusuma pada hari-hari menentukan pemberontakan G30S-PKI, 1965. Taktik militernya yang tak memberi kesempatan pihak lawan untuk mengambil napas terbukti manjur dalam mengamankan berbagai daerah rawan di Indonesia, seperti Jawa Tengah, secara cepat. Tapi taktik ini, tampaknya, tak lagi jitu di lapangan nonmiliter seperti politik (lihat Tanda Tanya itu Masih Menganga). Sikapnya yang sangat antikomunis dan terkadang begitu hitam putih kadangkala dianggap agak sumbang di tengah perkembangan masyarakat yang begitu pesat dan majemuk. Sebagai Irjen Deplu, Sarwo Edhie sempat menjadi kepala berita karena mengimbau agar patung "Pak Tani" di Menteng Raya, Jakarta Pusat, dimuseumkan. "Patung itu patung Pak Tani Komunis. Mana ada petani kita sikap angkuhnya begitu? Tidak ada! Di Indonesia mana ada petani yang angkuh? Petani kita sopan-sopan," katanya, Oktober 1982. Ketika itu pendapatnya didukung Menteri P & K Daoed Joesoef dan Dirjen Kebudayaan Haryati Subadio. Tapi Wakil Presiden Adam Malik tak setuju. "Salah sekali jika dikatakan bahwa patung itu berbau kolone kelima," katanya. Alhasil, karya pematung Rusia Manizer itu pun tak jadi digusur. Mei tahun lalu, Sarwo Edhie kembali menjadi berita besar ketika harian Jayakarta mengutipnya mengatakan ada anggota PKI yang menduduki jabatan tinggi di pemerintahan. Tapi ia tak pernah mengungkapkan siapa yang dimaksudnya. Sarwo kembali membuat berita ketika ia resmi mengundurkan diri sebagai anggota DPR. Kepada TEMPO, Sarwo Edhie menganggap pengunduran dirinya itu wajar-wajar saja. "Manusia itu mesti ada up and down. Kalau tidak, hidup ya membosankan," katanya sambil tertawa renyah. Namun, sesudah itu, tampaknya yang dialami mantan Kepala BP-7 ini ternyata lebih banyak down-nya. Itu bermula ketika penderita diabetes dan tekanan darah tinggi ini mengalami stroke, di Bandung, Maret lalu. Saat itu ia berniat menghadiri acara pendidikan dasar Wanadri. Dalam keadaan tak sadarkan diri, Sarwo Edhie segera dibawa ke Jakarta dan dirawat di Metropolitan Medical Centre (MMC) di Kuningan. Dua bulan kemudian ia diterbangkan ke Amerika Serikat untuk mendapat perawatan lanjutan di rumah sakit angkatan darat AS, Walter Reeds di Washington, D.C. Namun, ia tak mendapat banyak kemajuan, dan dibawa kembali ke Jakarta. Belakangan ia dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, tempat ayah tujuh anak ini mengembuskan napas terakhir, Kamis dini hari pekan lalu. Dan dalam upacara mengantarkannya ke tempat terakhir, semangat kesederhanaan Sarwo segera tampak mencuat. Rumah kediamannya yang sederhana dan sudah dihuninya selama puluhan tahun seakan menjadi bukti. "Sejak pertama kali saya datang ke rumah Pak Sarwo, rumah yang sama pula yang saya datangi ketika melayat. Itu antara lain sikap sederhana yang diperlihatkan oleh Pak Sarwo Edhie," kata Menteri Tenaga Kerja Cosmas Batubara kepada TEMPO, bekas salah satu ketua presidium KAMI Pusat, yang pertama bertemu dengan Sarwo pada apel mahasiswa 10 Januari 1966 di kampus UI Salemba. Ketika TEMPO menanyakan masalah rumah ini lima tahun silam, Sarwo menjawab, "Rezeki belum ada untuk bikin rumah pribadi." Bambang Harymurti, Diah Purnomowati (Jakarta), dan I Made Suarjana (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini