Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Duel calon Gubernur Jawa Timur 2013-2018 pada 29 Agustus 2013, pekan depan, diprediksi seru. Kubu Soekarwo mesti bertanding ulang dengan Khofifah Indar Parawansa, yang harus ditundukkan dalam tiga putaran dalam pemilihan gubernur pada 2008. Meski Khofifah kali ini kalah start, pertemuan keduanya masih sengit dalam berebut suara di basis massa Nahdlatul Ulama, seperti dalam pemilihan sebelumnya.
Sedangkan kader PDI Perjuangan, Bambang Dwi Hartono dan Said Abdullah, bisa menjadi kuda hitam bila mampu mengkonsolidasi kekuatan nasionalis dan sentimen Madura. Sedangkan Eggi Sudjana, yang maju dari jalur independen, dinilai sebagian kalangan sebagai sekadar penggembira. Berikut ini profil dan rekam jejak para calon menurut penelusuran Tempo.
Pasangan (1): Soekarwo-Saifullah Yusuf (KarSa)
Langka karena Tetap Mesra
Soekarwo-Saifullah Yusuf bisa dibilang duet kepala daerah yang langka di Pulau Jawa, minus Daerah Istimewa Yogyakarta. Pasangan ini masih mesra dan bergandengan untuk bisa meneruskan periode jabatan keduanya. Padahal banyak pasangan gubernur dan wakil gubernur di provinsi lain tak akur. Di DKI Jakarta, Gubernur Fauzi Bowo (2007-2012) kehilangan wakilnya, Prijanto, yang mundur di tengah jalan. Sedangkan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan harus bersaing dengan wakilnya, Dede Yusuf, dalam laga pemilihan periode kedua 2013-2018. Adapun Gubernur Banten Ratu Atut, yang dilantik pada awal 2012, dikabarkan tidak harmonis dengan wakilnya, Rano Karno.
Kemesraan ini, oleh Pakde Karwo, panggilan akrab Soekarwo, diakuinya dengan bangga sebagai keunggulan inkumben. "Saya dan Gus Ipul (panggilan Saifullah) rukun selama lima tahun. Ini bagian dari enam persen (kepala daerah) yang langka," katanya di gedung DPRD Jawa Timur, Senin pekan lalu. "Sementara yang lain cerai, kami tambah lengket kayak prangko."
Soekarwo lahir di Madiun pada 16 Juni, 63 tahun silam. Bapak tiga anak ini adalah birokrat murni. Di pemerintahan, ia pernah menduduki berbagai jabatan, hingga terakhir sebagai Sekretaris Daerah Jawa Timur di era Gubernur Imam Utomo.
Pasangannya, Saifullah Yusuf, juga sangat populer. Keponakan mantan presiden Abdurrahman Wahid ini dikenal pandai bergaul dan merangkul orang. Ia mengawali karier politiknya dengan bergabung ke organisasi GP Ansor dan memimpinnya hingga dua periode, 2000-2010. Dalam Pemilihan Umum 1999, bapak empat anak ini terpilih menjadi anggota DPR dari fraksi PDIP. Waktu itu ia dianggap sebagai lambang aliansi dari Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Ketika hubungan Gus Dur dan Megawati merenggang pada 2001, ia mengundurkan diri dari PDIP dan DPR, lalu bergabung ke PKB.
Pasangan (2) Eggi Sudjana-M. Sihat (Beres)
Dari Pilkada ke Pilkada
Pria berdarah Sunda kelahiran Jakarta, 3 Desember 1959, ini tenar sebagai demonstran. Bapak lima anak yang akrab dipanggil Bang Eggi ini oleh koran Ibu Kota pernah dijuluki "Si Raja Demo". Di era Soeharto, ia pernah memimpin 10 ribu orang berunjuk rasa di Istana menolak Sumbangan Dana Sosial Berhadiah. Pendiri Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia ini juga kerap menggalang demo buruh.
Sejak muda, sarjana hukum Universitas Jayabaya ini punya hobi menentang arus. Misalnya ia berani melawan rezim Soeharto, yang memaksakan asas tunggal. Tatkala banyak orang menghujat gerakan garis keras Laskar Jihad, pada 2001 Eggi malah mendirikan Tim Pembela Muslim dan menjadi koordinatornya. Dosen Universitas Ibn Khaldun, Bogor, ini penjadi pelopor pencabutan Pasal 134 dan 136 KUHP tentang penghinaan Presiden RI.
Sebelum ke Jawa Timur, Eggi pernah mendaftarkan diri sebagai calon gubernur di Jawa Barat pada 2013, tapi kandas saat verifikasi di KPU Jawa Barat. Kini ia lolos di Jawa Timur sebagai calon dari jalur independen setelah mengumpulkan 1.141.641 KTP, atau lebih dari 3 persen jumlah penduduk Jawa Timur.
Pasangannya, M. Sihat, nyaris tak terdengar kiprahnya. Maklum, pria kelahiran Sumenep, Madura, 1 Januari 1950, ini hanya pensiunan pegawai negeri Pemerintah Kota Surabaya. Karier terakhirnya adalah Camat Benowo, Kota Surabaya, dan sebelumnya Camat Sukomanunggal, Kota Surabaya. Ayah dua anak ini mengawali karier sebagai pegawai di Kecamatan Gubeng pada 1968. Lulus Akademi Pemerintahan Dalam Negeri Malang pada 1982, ia menjadi lurah di Pacar Keling dan seterusnya hingga pensiun sebagai camat.
Pasangan (3) Bambang D.H.-Said Abdullah
Target Antara Konsolidasi Banteng
Berbekal sukses memimpin Kota Surabaya selama dua periode, 2002-2010, Bambang Dwi Hartono mencoba peruntungannya sebagai calon Gubernur Jawa Timur. Salah satu pelaku sejarah dalam perlawanan "Kudatuli" ini gemilang menjadikan Surabaya hijau dan tertata. Kudatuli merupakan singkatan kudeta 27 Juli 1996, peristiwa penyerbuan kantor PDI pro-Mega di Jalan Diponegoro, Jakarta, oleh aparat negara beratribut PDI Kongres Medan.
Aktivis pro-Mega kelahiran Tegalombo, Pacitan, 24 Juli 1961, ini maju disorongkan sendiri oleh partainya, PDIP, yang memang lagi percaya diri setelah sukses mengantarkan Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta. PDIP punya proyek rada muluk: memerahkan Jawa-Bali.
Target itu dibuktikan berurutan setelah Jokowi menang di DKI (2012) dan Ganjar Pranowo di Jawa Tengah (2013). Kepada Tempo, Ketua DPP PDIP Maruarar Sirait menyatakan partainya sangat percaya diri mencalonkan kadernya—sekaligus konsolidasi mesin partai—untuk bisa menang dalam pemilihan legislatif dan pemilihan presiden pada 2014. Dengan kata lain, pemilihan gubernur merupakan target antara. Walau kalah di Jawa Barat dan Bali, PDIP menilai kerja kader di bawah teruji solid.
Pasangannya, Said Abdullah, adalah kompatriotnya di PDIP. Said adalah Bendahara DPD PDIP Jawa Timur, sementara Bambang sebagai wakil ketua. Pria kelahiran Sumenep, 22 Oktober 1962, ini sudah dua periode menjadi anggota DPR dari PDIP. Said dianggap memiliki basis massa kuat, khususnya di wilayah Madura dan kawasan tapal kuda, yang meliputi timur Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, Bondowoso, dan Banyuwangi.
Pasangan (4) Khofifah Indar Parawansa-Herman Suryadi Sumawiredja
"Kali Ini Yakin Dilantik"
Khofifah satu-satunya perempuan dan mengklaim sebagai satu-satunya calon gubernur representasi dari kalangan nahdliyin. Kata kunci itu selalu ditonjolkan olehnya dan tim suksesnya dalam setiap kesempatan berkampanye. Ia hampir gagal sebagai calon—sebelum diselamatkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu—gara-gara sengketa dualisme dukungan partai-partai gurem pendukung calon gubernur. Ketua Muslimat NU kelahiran Surabaya, 19 Mei 1965, ini dianggap sebagai lawan terberat inkumben.
Alumnus FISIP Universitas Airlangga ini mulai populer di panggung politik nasional setelah berpidato mengenai sikap Fraksi Persatuan Pembangunan dalam Sidang Umum MPR 1998. Pidato Khofifah itu sangat monumental karena merupakan pidato kritis pertama terhadap Orde Baru dalam acara resmi selevel Sidang Umum MPR. Ia menjadi anggota DPR sejak 1992 dari PPP. Merasa kiprahnya di dunia politik dihantarkan oleh NU, pada masa reformasi Khofifah hijrah ke PKB. Sinar kariernya terlihat semakin terang ketika ditunjuk sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan di era Presiden Abdurrahman Wahid. Hingga kini ia masih dipercaya menjadi Ketua Umum Muslimat NU.
Pasangannya, Herman Suryadi Sumawiredja, adalah purnawirawan jenderal polisi. Alumnus Akademi Kepolisian 1974 ini terakhir menjabat Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur. Kiprahnya cukup fenomenal saat mengungkap kasus kecurangan daftar pemilih tetap dalam pilkada Jawa Timur pada 2008, yang membuat pilkada waktu itu harus diulang hingga tiga putaran. Ia mundur dari kepolisian setelah merasa ada intervensi dalam kasus dugaan pidana pemalsuan daftar pemilih tetap di Madura, yang menetapkan Ketua KPU Jawa Timur Wahyudi Purnomo sebagai tersangka. Herman, yang disebut-sebut sebagai polisi idealis, juga termasuk yang keras mendorong penuntasan dugaan pidana dalam kasus luapan lumpur Lapindo.
Agus Supriyanto, Agita Sukma Listyanti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo