JALAN lintas pulau Padang - Pekan baru - Dumai, merupakan urat
nadi utama hubungan darat di perut Sumatera itu. Apalagi ketika
19 April 1977 lalu, Presiden Suharto meresmikan jembatan beton
sungai Siak. Kehadiran jembatan beton ini, lebih menyemarakkan
suasana lalu lintas di pusat kegiatan ekonomi Riau itu. Per hari
rata-rata 50 salllpai 100 kendaraan berbagai jenis hilir mudik.
Ketika masih jembatan ponton, hubungan kerap macet. Terlebih di
saat-saat sungai Siak meluap. Akibatnya distribusi kebutuhan
arus hubungan kerap tergendala berhari-hari. Makanya, jembatan
beton berukuran 350 x 10 meter itu dianggap bisa mengatasi
problem jembatan ponton yang sudah uzur dan berusia lebih dari
15 tahun.
Bersaing Terus
Cuma yang tetap gembira dan mengeluh bukan tak ada. Bis-bis yang
penuh bermuatan sayur-mayur tetap bergairah. Begitu pula bis-bis
penumpang yang memasang tarip Rp 750 per orang, tetap penuh.
Juga oplet-oplet. Tapi kehidupan taksi umum tampaknya semakin
lesu. "Sulit sekarang eari penulllpang", begitu eerita Sartana
salah seorang supir taksi Pekanbaru - Dumai. Menurutnya, kini
cuma tinggal sekitar 12 buah taksi yang tetap beroperasi ke
jurusan itu. Padahal 2-3 tahun lalu lebih dari 30 buah. Kini
untuk mendapat penumpang, para supir itu harus lihat keluar
masuk penginapan dan hotel-hotel, atau menjemput sampai ke
kampung-kampung. "Jangan harap menunggu penumpang mencari taksi
seperti dulu", lanjutnya. Tak jarang ia terpaksa berangkat hanya
dengan 1 atau 2 penumpang. Padahal dulunya, selain selalu tetap
penuh (4 penumpang) pun sehari bisa 2 kali pulang pergi.
Akibatnya, jadwal keberangkatan taksi-taksi umum itu sekarang
tak bisa dipegang. Kerap terjadi, janji jam 10 berangkat,
tertunda satu dua jam karena sang supir harus keliling mencari
penumpang. Nasib baik kalau dapat, kalau tidak, keberangkatan
terpaksa dibatalkan.
Melempemnya dunia usaha taksi umum ini memang tak terlepas dari
terus bersaingnya kendaraan-kendaraan penumpang. Bis-bis
misalnya, sekarang kelihatan lebih necis dan tak membiarkan
penumpang menumpuk bak ikan kalengan. Sementara tarip tetap
seperempat tarip taksi. Yang lainnya, lesunya kegiatan kata
minyak Dumai, memberi pengaruh yang cukup teruk buat mendapatkan
penumpang taksi terutama mereka yang sedikit parlente dan enggan
naik bis.
Tapi yang tak kalah berat adalah, "Saingan dari taksi-taksi
pribadi" begitu cerita supir-supir taksi umum yang mangkal di
muka Penginapan Internasional Dumai. Jenis yang belakangan ini,
memasang tarip seadanya saja, jauh di bawah taksi umum. Tentu
saja taksi umum kehilangan pasaran. Tak jelas, bagaunana kerja
pengawasan petugas lalu lintas terhadap perkara ini. Sebab
sepanjang jalan minyak 180 km itu rada sulit ditemui pos-pos
pengawasan, baik yang itu bemama Polantas maupun LLAJR.
Tengkorak
Tapi tentu saja perkara rawannya jalan Dumai - Pekanbaru itu
ikut jadi penyebab. Belakangan semakin kerap terjadi tabrakan
atau mobil yang terbalik ke jurang. Sebab jalan yang sekarang
lebih dikenal dengan "kelok seribu" itu, masih tetap mengerikan.
Jumlah rambu lalu lintas saja tak terhitung dan beragam modelnya
agaknya tak banyak menolong. Justru yang bergambar tengkorak,
semakin banyak saja. Memang para supir yang beroperasi di jalan
ini memiliki semacam sertifikat khusus. Tapi melihat grafik
kecelakaan, rata-rata 4 kali seminggu, banyak penumpang
mengeluh: "Kalau tak terpaksa benar, tak bakal liwat jalan ini".
Apakah ini berarti bahwa jalan minyak yang bak dodol itu sudah
semakin rawan saja?
Penumpang-penumpang berhati kecil, tapi berkantong tebal
belakangan menemukan jalur baru yaitu penerbangan perintis
dengan Cassa-212 jurusan Dumai-Pekanbaru pp. Soal cepat tentu
saja. Tapi tarip pun, hanya Rp 3000 lebih mahal dari taksi umum.
Ditambah kejemuan hampir 3,5 jam di kursi taksi menikmati
jurang-jurang menganga, kabel-kabel listrik tegangan tinggi dan
penuh tanda maut itu, bisa dipupuskan. Untung saja tak setiap
hari ada penerbangan perintis jurusan ini, kalau tidak
taksi-taksi umum benar-benar bakal gigit jari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini