Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Minimnya perlindungan terhadap anak buah kapal terjadi karena Undang-Undang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia belum memiliki aturan pelaksana.
Diduga ada ego sektoral kementerian dalam urusan tata kelola penempatan pekerja migran, termasuk ABK di kapal asing.
Dua perusahaan di Bogor diduga melakukan perbudakan terhadap ABK di kapal penangkap ikan berbendera Taiwan dan Cina.
JAKARTA – Praktik perbudakan modern pelaut Indonesia di kapal asing yang terus terjadi diduga terjadi akibat lemahnya perlindungan pemerintah terhadap warga negaranya. Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Benny Rhamdani, mengatakan minimnya perlindungan terhadap anak buah kapal (ABK) terjadi karena Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia belum memiliki aturan pelaksana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Benny mengatakan semestinya pemerintah menerbitkan aturan teknis tentang pelindungan buruh migran. “Padahal, menurut amanat undang-undang, rancangan peraturan pemerintah itu diterbitkan paling lambat dua tahun semenjak Undang-Undang Pelindungan Pekerja Migran disahkan,” kata Benny, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Benny menyebutkan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pelindungan Pekerja Migran yang diteken pada April lalu belum bisa dieksekusi. Padahal peraturan pemerintah ini menjamin perlindungan terhadap hak-hak pekerja, penempatan pekerja, perjanjian kerja sama selama penempatan, penerbitan surat izin penempatan pekerja migran, serta berbagai jenis perlindungan lainnya. Peraturan pemerintah itu juga mengatur BP2MI, pemerintah pusat, kantor perwakilan Republik Indonesia, serta pemerintah daerah dan desa sebagai pelaksana pelindungan pekerja migran.
Menurut Benny, penyelesaian kebijakan pelindungan pekerja migran tersendat lantaran adanya ego sektoral di sejumlah kementerian. Beberapa kementerian merasa paling kuat dan ingin mendominasi urusan tata kelola penempatan pekerja migran, termasuk penempatan ABK di kapal asing.
“Seolah-olah ada keinginan cawe-cawe untuk ikut mengurus dan mengatur. Mereka berpikir seperti itu karena tidak mengedepankan kepentingan negara,” ujar Benny.
Ia mengatakan BP2MI sama sekali tidak dilibatkan dalam pembahasan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2021 tersebut. Berdasarkan informasi yang ia peroleh, Kementerian Perhubungan masih menginginkan pengelolaan penempatan buruh migran. Mereka meminta masa transisi peralihan pengelolaan ke Kementerian Ketenagakerjaan berlangsung selama dua tahun.
Selama ini, Kementerian Perhubungan berwenang menerbitkan surat izin usaha perekrutan dan penempatan awak kapal (SIUPPAK). Kementerian Perhubungan juga mengelola penerbitan sejumlah dokumen ABK, seperti buku pelaut dan sertifikat basic training (BST) sebagai pelaut. Sementara itu, Undang-Undang Pelindungan Pekerja Migran mewajibkan pengelolaan dan penerbitan surat izin perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (SIP3MI) dilakukan Kementerian Ketenagakerjaan.
Menurut Benny, sengkarut itulah yang membuat peraturan pemerintah tentang pelindungan pekerja migran ini tak pernah bisa diimplementasikan. Jadi, pemerintah belum bisa memberi perlindungan maksimal kepada ABK yang berlayar di tengah laut, termasuk mengevaluasi dan memantaunya secara berkala.
Bekas kantor PT Rafa Samudera Bahari (Rafa) dan PT Putri Ocean Abadi (POA) di Ragajaya, Bojong Gede, Kabupaten Bogor, 31 Juli 2021. TEMPO/Avit Hidayat
Dua hari lalu, Tempo mengungkap dugaan perbudakan ABK dari Indonesia di kapal pencari ikan berbendera Taiwan dan Cina. Dua perusahaan agensi pengiriman ABK itu adalah PT Rafa Samudera Bahari dan PT Putri Ocean Abadi (POA). Kedua perusahaan ini ditengarai telah memperdagangkan 19 orang pelaut Indonesia untuk bekerja di kapal asing.
Kedua perusahaan itu juga diduga membiarkan praktik penyiksaan ABK di kapal asing serta tidak membayar gaji para pelaut Indonesia yang dipekerjakan di kapal asing tersebut selama 22 bulan. Salah seorang korbannya bernama Andi Saputra, 34 tahun. Warga Bogor, Jawa Barat, ini menderita sakit paru-paru. Gajinya sudah berbulan-bulan tak dibayar. Kondisi serupa menimpa ABK lainnya yang juga dipekerjakan PT Rafa Samudera Bahari dan PT Putri Ocean Abadi di kapal penangkap ikan berbendera asing.
Hingga saat ini, pemilik kedua perusahaan itu belum berhasil dimintai konfirmasi. Tempo sudah mendatangi alamat kedua perusahaan di Bogor, tapi kantor perseroan sudah dalam keadaan kosong.
Juru bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati, belum menjawab permintaan konfirmasi Tempo soal ini. Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah juga belum merespons permintaan konfirmasi Tempo. Saat dimintai konfirmasi, Ida sempat menghubungi Tempo tapi koneksinya terputus. Ida tak merespons lagi ketika dikontak ulang.
Ketua Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Pergerakan Pelaut Indonesia, Imam Syafi’i, mengatakan, sampai saat ini, pelindungan ABK oleh Kementerian Ketenagakerjaan dan BP2MI memang tidak berjalan akibat persoalan birokrasi yang rumit. Pengusaha pengirim ABK masih kebingungan dengan adanya transisi sistem dari rezim SIUPPAK ke SIP3MI.
“Dampaknya, perusahaan yang sudah punya SIUPPAK tapi belum memiliki SIP3MI akhirnya di bandara tidak bisa memberangkatkan ABK, sehingga biaya pengusaha yang dibebankan ke ABK semakin berat,” kata Imam.
Ia mengatakan aturan teknis tentang pelaksanaan SIUPPAK sesungguhnya masih diakomodasi dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Namun sistem SIUPPAK itu tidak terkoneksi dengan mekanisme SIP3MI. Kondisi ini berdampak serius terhadap jaminan pelindungan ABK di atas laut.
“Artinya, potensi perbudakan terus terjadi apabila tidak ada lembaga negara yang mengambil alih melakukan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi demi menjamin keselamatan ABK,” ujar Imam.
Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, mengatakan kasus perbudakan modern ABK di kapal ikan sering terjadi, meski pemerintah Indonesia telah menerbitkan aturan pelindungan buruh migran. “Tapi itu tidak diterapkan dan monitoring-nya lemah sekali terhadap agensi kapal maupun agensi yang mengirim ABK,” kata Anis.
Anis juga menyoroti penegakan hukum yang masih tebang pilih dalam kasus perbudakan ABK selama ini. Ia berpendapat bahwa pemerintah hanya berfokus menangani kasus ABK yang menjadi perhatian publik. Sedangkan kasus perbudakan pelaut Indonesia lainnya terabaikan. “Tindakan pencegahan dan monitoring sama sekali tak pernah dilakukan pemerintah,” katanya.
AVIT HIDAYAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo