TRY Sutrisno kini sama seperti Presiden Soeharto. Kedua-duanya jenderal purnawirawan. Sejak Ahad pekan lalu, Try telah dipensiun. Ia bukan lagi anggota Fraksi ABRI di MPR, tapi telah menjadi anggota Golkar dan langsung mendapat nomor anggota 09010000052. Dua jenderal purnawirawan itu, kalau MPR benar memilihnya pekan ini, akan berdiri berdampingan, sebagai presiden dan wakil presiden. Keduanya tak lagi berdiri depan-belakang seperti dua puluh tahun lalu, ketika Try menjadi ajudan Presiden Soeharto. Perkenalan ''dua bintang'' di pentas MPR pekan ini sebenarnya terjadi sejak 21 tahun lalu. Ketika itu, dalam sebuah seminar tentang ''Pewarisan Nilai-Nilai '45'' di Seskoad, Bandung, tahun 1972, Mayor Try Sutrisno tampil memukau. Membawakan ma- kalah berjudul ''Masalah Pewarisan dalam TNI-AD dan Integrasi TNI-Rakyat'', anak muda berwajah segar dan berperawakan gagah itu rupanya cukup tangkas. ''Try sangat tangkas menjawab berbagai tanggapan dari Jenderal Soemitro, Pangkopkamtib ketika itu,'' kata seorang peserta seminar. Penampilan itu pula yang membuat Pak Harto dan mantan wakil presiden Mohammad Hatta yang hadir ketika itu terkesan. Sejak itu, perwira lulusan Atekad 1959 ini mulai naik bintang- nya. Dari Komandan Batalyon Zipur 10, Letkol Try dinaikkan menjadi kepala biro di Suad Mabes Angkatan Darat. Tahun 1974, Try ditarik ke Istana. Sejak itu ia menjadi ajudan presiden. Adalah Letjen Sayidiman Suryohadiprojo, ketika itu sebagai Deputi KSAD, yang mengajukan nama Try sebagai ajudan presiden. ''Latar belakang intelektualnya cukup, lulus dari Seskoad dengan baik, dan tugas sebagai kepala biro pun baik,'' kata Sayidiman. ''Dia kami ajukan juga karena human relationship-nya baik. Itulah memang kekuatannya.'' (TEMPO, 20 Februari 1988). Tak cuma Sayidiman yang mengajukan nama Try. Letjen Tjokropranolo, yang ketika itu menjadi Sekretaris Militer, juga termasuk yang menjaring Try. Kenapa? ''Ketika itu Pak Harto butuh ajudan yang mendalami masalah pembangunan. Dan perwira pembangunan itu adanya kan di Zeni. Makanya Try kami ambil,'' kata Tjokro. Dan ternyata pilihan Sayidiman dan Tjokro tak meleset. Try menjadi ajudan empat tahun, hingga 1978. Dalam periode itu, Try selain pangkatnya naik jadi kolonel juga merasa dididik dan dimatangkan oleh Pak Harto. Berbagai pengalaman kenegaraan besar dialaminya dari dekat pemegang keputusan, yakni Presiden sendiri. Ada buntut peristiwa Malari (1974), atau proses integrasi Timor Timur. Juga proses penyederhanaan partai seperti sekarang ini. Dan Try menganggap bahwa jabatan ajudan presiden sebagai ''masa belajar tersendiri untuk menambah mantapnya proses pematangannya sebagai perwira ABRI''. Tugas itu dianggapnya berat tapi mulia karena menyangkut keamanan dan ketenteraman pribadi presiden dan keluarganya. Ia kemudian memang amat dekat dengan putra-putri Pak Harto sampai saat ini. Dari Istana, Try dikirim ke Bali menjadi Kasdam Udayana (1978). Dari sana ia naik menjadi Panglima Kodam Sriwijaya di Palembang (1979), Pangdam Jaya (1982), lalu diangkat menjadi wakil KSAD (1985). Setelah menjabat KSAD, Try ditunjuk menjadi Panglima ABRI, hanya beberapa hari menjelang Sidang Umum MPR 1988. Dan hubungannya dengan keluarga Cendana tampaknya tetap terbina dengan baik walau bukan lagi menjadi ajudan. Ini terlihat ketika ia dilantik menjadi Panglima ABRI lima tahun lalu. Beberapa putra-putri presiden tampak menyambutnya dengan salam akrab dan ciuman. Namun, tampilnya Try saat ini tak lepas dari temuan Letjen Djatikusumo pada masa lalu, ketika jajaran Angkatan Darat membuka kesempatan studi Atekad (Akademi Teknik AD), tahun 1956. Djatikusuma sendiri (kini telah almarhum), selaku Direktur Zeni, yang menguji calon taruna bernama Try itu. Anak Pakubuwono X dan KSAD pertama itu terkesan dengan postur tubuh Try yang atletis dan pengakuannya bahwa ia berasal dari kalangan rakyat biasa. Djatikusumo yang bertampang tampan itu rupanya memang ingin agar pimpinan militer di masa datang, selain pintar, juga harus berwajah ganteng. ''Pak Djati ketika melihat Try memang langsung menyatakan lulus,'' kata Letjen (purn.) Awet Sara, teman seangkatan Try yang kini menjadi duta besar di Thailand. Makanya, ketika suatu kali Djatikusumo tengah memeriksa 50 taruna Atekad yang diterima dan tak melihat Try, jenderal ningrat dari Solo itu langsung mencarinya. Selama pendidikan, Try termasuk yang menonjol. ''Nilainya paling baik, termasuk dalam diskusi yang menyangkut pemecahan masalah,'' kata Awet Sara. Try juga giat berorganisasi dan sempat menjadi sekretaris senat. Puncaknya, ya memprakarsai seminar ''Pewarisan Nilai 45'' tadi. Try, menurut Awet Sara, dikenal baik hati dan senang membantu. ''Sering Try meminjamkan uangnya, padahal ia sendiri sebenarnya kekurangan,'' katanya. Dan sudah sejak dulu, dia sering mengucapkan kalimah subhanallah, atau semua dikembalikan ke Allah. Sejak kecil, Try anak ketiga dari enam bersaudara dari pasangan Subandi dan Mardliyah hidup seadanya. Try dilahirkan di lingkungan santri. Ayahnya seorang sopir ambulans Dinas Kesehatan Kota Surabaya. Try seorang yang suka tirakat, rajin mengaji, menyapu, dan mengepel mesjid. Ini bisa dimaklumi, mengingat tempat lahirnya, kampung Bandar Genteng Lor yang berimpit-impitan itu, memang dikenal sebagai daerah santri, hingga kini. Selain itu, seperti umumnya anak muda, Try kecil ketika itu juga dikenal sebagai jagoan berkelahi. Ia juga suka main keroncong. Alat musik pegangannya adalah bas. Ketika kecil, kata Chamimah adik kesayangannya, ia suka mendalang di bawah pohon. Wayang dibuatnya sendiri dari daun palem. Di tengah lingkungan dan keluarga seperti itulah Try menjadi sangat taat beribadah. Warna keagamaan menonjol dalam kehidupannya. ''Dan itu berlangsung sampai sekarang,'' kata Chamimah kepada TEMPO. ''Kalau ia datang ke Surabaya, pertanyaan pertama yang diajukan kepada adik-adik dan keponakannya adalah bagaimana amalan ibadahnya,'' kata Chamimah, guru SD Banyuurip dan Kepala TK Masa Putra Bhakti di Surabaya. ''Dan di Jakarta pun, pada bulan Ramadan sekarang ini pun Mas Try sering menjadi imam tarawih di rumahnya, sementara anak-anak, istri, dan penjaganya jadi makmum.'' Dan yang diajarkan ke anak dan istri pun sama seperti yang diucapkan ke orang lain. ''Hidup itu yang pasrah, dan jangan macam-macam,'' katanya suatu ketika. ''Ayah selalu mengatakan agar kami selalu berserah diri pada Tuhan,'' kata Taufik Dwi Cahyono, anak kedua Try yang kini kuliah di jurusan Teknik Penerbangan dan Ruang Angkasa di Universitas Delf, Belanda. Pernah suatu kali mata Cheppy, panggilan kesukaan Taufik Dwi Cahyono, hampir buta terkena petasan. Try, yang ketika itu masih ajudan, memintanya berserah diri kepada Tuhan. ''Kamu baru diambil matamu, belum nyawamu, ibu dan bapakmu,'' kata Cheppy menirukan ucapan bapaknya. Dan rupanya yang turun menolong adalah Pak Harto. Presiden meminta Try agar mata Cheppy dioperasi di Boston, AS. Cheppy kemudian menjadi teman kuliah Mamiek, anak bungsu Presiden, di IPB. Suatu kali, ia ketemu Presiden. ''Pak Harto menanyakan apakah saya ingat ketika operasi mata dulu,'' katanya. Dari situlah, Cheppy menyimpulkan bahwa Pak Harto adalah orang yang penuh kebapakan, ramah, dan penuh perhatian. Sikap itu yang diambil Try untuk contoh bagi anak dan keluarganya. ''Saya merasakan hubungan saya dan Bapak sangat akrab. Seperti seorang sahabat,'' ujarnya. Kalau ngobrol, katanya, dari jam sepuluh malam sampai subuh. Tentang apa saja, termasuk soal pacar Cheppy. ''Jangan kamu anggap sekarang kamu berhadapan dengan ayahmu. Sebagai sesama lelaki, saya orang yang lebih tua dan berpengalaman,'' kata Try yang selalu teringat di benak Cheppy. Ia juga membenarkan bahwa dalam mendidik anak-anaknya, Try sering mengutip ucapan-ucapan Pak Harto yang berisi nasihat. ''Dan ayah selalu menjelaskannya dengan bahasa tubuh, gerakan, hingga kami mengerti,'' katanya. Try memang sering kali menceritakan kepada anak-anaknya tentang keteladanan Presiden Soeharto. Pak Harto digambarkannya sebagai orang yang tenang, selalu menundukkan kepalanya. ''Buat apa kamu jadi doktor kalau tidak berguna bagi masyarakat? Lebih baik jadi tukang bakso,'' kata Try. Try sering mengingatkan anak-anaknya bahwa didikan Pak Harto benar-benar dicernanya. Pak Harto dianggap seperti guru dan orang tua sendiri. Maka, begitu mendengar bapaknya dicalonkan sebagai wakil presiden untuk mendampingi Pak Harto, mereka terutama Cheppy menganggap ayahnya memang disenangi banyak orang. Tentu hal ini membesarkan hati keluarga Try. Seandainya tak jadi? ''Ayah saya seperti dijatuhkan saja,'' katanya. Bagaimanapun, Try tetap merasa diri berada di bawah naungan Pak Harto. Seperti disebut dalam buku Di antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun, menurut Try Sutrisno: ''Pak Harto merupakan figur pemimpin yang paripurna. Ia berani dan bijaksana atas dasar kebenaran.'' Ia tampaknya masih akan banyak belajar dari Pak Harto. Karena Presiden Soeharto, menurut Try, adalah seorang administrator pembangunan yang brilian. Dan mau tak mau, Try mesti mengikuti apa yang telah digariskan Pak Harto. Dan apa yang dikemukakan Try itu kelihatannya bukan sebagai sesuatu yang cuma basa-basi. ''Semua ini mengalir dari suara hati nurani saya. Yang saya yakini merupakan suatu pandangan yang objektif.'' Mengenai pencalonannya sebagai wakil presiden, Try belum mau berkomentar. Mungkin karena fraksi-fraksi setidaknya sampai awal pekan ini belum secara resmi menanyai kesediaannya. ''Ja- ngan nggege mongso (terburu-buru),'' jawabnya. ''Kalau saya mengaku cocok, bisa dianggap ge-er (besar kepala),'' katanya. Pekan ini, Try, 57 tahun, akan maju ke mimbar pelantikan wakil presiden. Syaratnya, tentu asal dikehendaki Pak Harto dan mendapat kata ''setuju'' dari MPR. Sebab, di samping Try, di luaran masih saja berkicau suara burung yang menyebut-nyebut ada nama calon yang lain. Agus Basri, Linda Djalil (Jakarta), Jalil Hakim (Surabaya), Asbari N
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini