KAlau pak Harto dijuliki B.J Habibie sebagai "profesor" dan ''guru besar''-nya dalam politik, mungkin itu benar. Pengalaman memimpin Indonesia selama 25 tahun, seandainya dibuat tesis, barangkali sudah menghasilkan banyak gelar doktor. Bahkan para pengamat politik dan ekonomi sering ''terkecoh'' dalam menganalisa langkah-langkah Pak Harto untuk memecahkan urusan pelik. Langkah Pak Harto selalu mengandung unsur surprise. Yang juga menonjol, Pak Harto seperti tak pernah kehabisan akal untuk memecahkan berbagai soal yang rumit sekalipun. Pekan ini, dalam usia 71 tahun dan akan genap 72 tahun pada 8 Juni nanti Pak Harto akan memimpin negeri ini untuk keenam kalinya. Presiden Soeharto tentu tak semuda dan sesegar seperti saat menerima kepercayaan sebagai pejabat presiden dari Presiden Soekarno lebih dari 26 tahun silam. Tepatnya pada 20 Februari 1967. Rambutnya memutih. Kerut-kerut di wajahnya kelihatan bertambah. Tapi waktu tak mampu mengubah sikapnya. Dia tetap seorang prajurit yang tak mudah goyah, tak gampang menyerah, selalu bertindak cepat dan tepat. Kurun waktu yang begitu lama juga tak membuatnya berpaling dari rakyat kecil dan petani. Tawanya bisa lepas berderai saat dia berbicara dengan petani. Dia seperti bernostalgia kembali ke masa kecilnya di pedesaan di Yogyakarta. Pada masa kanak-kanak, tahun 1930, Soeharto tinggal di Desa Wuryantoro, Kabupaten Wonogiri. Dia tinggal bersama keluarga Prawirowihardjo, orang tua Sudwikatmono, kini pengusaha ternama. Menurut Sudwikatmono, ibunya adalah adik ayah Pak Harto. ''Pak Harto memang keluarga petani. Ayahnya seorang ulu- ulu, pukul lima pagi sudah kerja membagi air,'' tutur Sudwi- katmono dalam sebuah wawancara dengan Leila S. Chudori dari TEMPO. Soeharto, ketika pindah dari Kemusuk, Godean, di Yogya, ke Wuryantoro, di Surakarta, langsung duduk di kelas tiga sekolah rakyat. Dia selalu menjadi ketua kelas. Soeharto juga pemain sepak bola yang populer. Dia main sebagai bek, tapi sering mencetak gol. Karena, ''Larinya cepat, ototnya keras seperti penjalin (rotan), badannya ulet. Dia berani menyerobot bola, mainnya keras. Dulu memang belum ada aturan seperti sekarang, meskipun sudah ada wasit,'' cerita Warikun, 71 tahun, ayah lima anak dan kakek 14 cucu, yang bermain bersama Soeharto sebagai kiper. Penonton pun memberi semangat. ''Kalau Soeharto main, orang-orang ramai berteriak, 'Ayo, To ... gasak, To, ... gasak ...','' cerita Warikun kepada Kastoyo Ramelan dari TEMPO. Penduduk Wuryantoro yang tinggal di tepi Waduk Gajah Mungkur itu kini membuat gamping (kapur) dan tetap sebagai petani. Di senja hari, Soeharto pergi mengaji. ''Tak menyangka dia jadi presiden. Dia tak pernah punya cita-cita selain menjadi pemain bola dan menjadi tentara. Ceritanya sehari-hari, ya, soal bola dan tentara. Kemudian dia masuk tentara dan saya tetap di sini,'' kata Warikun lagi. Sekali waktu, sebagai presiden, Pak Harto meninjau Desa Wuryantoro, dan Warikun sedang membakar gamping. ''Tiba-tiba dia memanggil saya. Dia bilang, 'Kun, kamu kaya kan, hidupmu baik'. Saya mengangguk,'' kata tetua Wuryantoro ini. Dengan latar belakang pedesaan dan tentara itulah Pak Harto tumbuh menjadi pemimpin bangsa. Watak dan karakternya sebagai anak petani sederhana dan sebagai tentara yang sigap. Sebagai anak petani, Soeharto lebih suka tak menonjolkan diri dan bekerja diam-diam. Maka, kendati telah sukses sebagai Panglima Operasi Mandala yang membebaskan Irian Barat (1962), dan kemudian memegang jabatan sebagai Panglima Kostrad (1963), Soeharto seperti luput dari perhatian. Termasuk ketika pecah Gerakan 30 September 1965 oleh PKI yang menewaskan tujuh jenderal, termasuk Menteri Pangad Jenderal Ahmad Yani. Barangkali seorang pemimpin memang harus lahir dari kondisi krisis. Dia harus berani bersikap pada saat kritis. Ketika negeri terancam tercabik-cabik akibat ulah PKI, Soeharto tampil ke depan. Nono Anwar Makarim, tokoh KAMI di saat awal lahirnya Orde Baru, menggambarkan, ''Pada saat krisis yang dahsyat, Soeharto mengibarkan bendera kepemimpinan. Pada saat keadaan tak menentu, saat orang tak tahu siapa kawan dan siapa lawan, Soeharto unjuk warna, unjuk posisi sejelas-jelasnya. Pada saat orang ragu, dia yakin dan memimpin.'' Soeharto memang tampil memberesi akibat gerakan PKI. Tapi, seperti dijelaskannya dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, dia bukannya ingin merebut jabatan presiden. Dia menulis: ''Saya didorong-dorong di tengah suasana konflik politik untuk tampil ke depan. Ada politikus yang tak sabar akan perubahan dan pergantian pimpinan. Sampai-sampai mengusulkan supaya saya mengoper begitu saja kekuasaan negara. Usul itu langsung saya jawab, ''Kalau caranya begitu, lebih baik saya mundur saja. Cara-cara begitu bukan saja tak baik. Merebut kekuasaan dengan kekuasaan militer tak akan menimbulkan stabilitas yang langgeng.'' Barangkali sikap ini lantaran Soeharto masih melihat Jenderal A.H. Nasution sebagai seniornya di Angkatan Darat dan dianggapnya lebih pantas. Toh suratan sejarah tak bisa dimungkiri. Supersemar (1966) jatuh ke tangan Pak Harto. Setahun kemudian, Februari 1967, Bung Karno menyerahkan kekuasaan kepadanya. Ketika itu jabatan Pak Harto adalah Ketua Presidium Kabinet Ampera dan Menteri Utama Hankam. Dalam bukunya, Pak Harto menggambarkan bagaimana Bung Karno diusulkan agar tetap menjadi presiden. Bung Karno menolak. Dan ia memilih mengalihkan kekuasaan kepada Soeharto. Tulis Pak Harto: ''Bung Karno kemudian menonton wayang dan saya merenungkan beban tugas yang sangat berat.'' Cara Soeharto memperlakukan Bung Karno juga sangat khas Jawa. Ketika Bung Karno bertanya: ''Harto, sebenarnya aku ini akan kamu apakan?'', Pak Harto menyebut falsafah Jawa mikul dhuwur mendhem jero. ''Saya ini anak petani miskin. Tapi ayah saya setiap kali mengingatkan saya agar selalu menghormati orang tua,'' tulisnya. Di kemudian hari, walaupun ada desakan kuat untuk menyidangkan Proklamator RI itu, persidangan itu tak pernah terjadi. Dibandingkan dengan Bung Karno yang namanya dikenal seantero dunia, Soeharto ketika itu terhitung belum ''apa-apa''. Tapi pemimpin baru ini segera bergerak. Jumpa pers pertama kali dibuatnya di Istana Negara. Orang pun lantas terkagum-kagum ketika melihat Soeharto hafal benar angka-angka inflasi, defisit anggaran, dan lainnya. Dijelaskannya, inflasi pada 1965 mencapai 500% dan harga beras naik 900%. Defisit anggaran belanja mencapai 300% dari pemasukan negara. Jika pembayaran utang luar negeri seluruhnya dilakukan pada 1966, itu berarti seluruh pendapatan negara akan dibutuhkan untuk itu. Dalam membuat kebijaksanaan, Pak Harto mendahulukan kebutuhan pokok rakyat, terutama di pedesaan, yaitu beras. Stabilitas ekonomi harus ditegakkan, antara lain dengan membuat agar harga beras stabil. Ide menstabilkan harga beras ini kemudian melahirkan Badan Urusan Logistik. Profesor Timmer dari AS banyak membantu masalah beras ini. Masalah penting lain: menutup utang luar negeri. Soeharto membuka jalur ke Barat untuk mencari pinjaman dan melobi negara blok Timur, yang banyak memberi pinjaman pada zaman Orde Lama, agar menangguhkan pembayaran kembali utang Indonesia. Lobi ke Barat itu kemudian melahirkan IGGI, kelompok negara donor untuk Indonesia. Kalang- an akademisi dirangkul juga. Mulailah ekonomi Indonesia diwarnai oleh pemikiran tim ekonomi Universitas Indonesia yang umumnya lulusan Universitas Berkeley di AS antara lain Widjojo Nitisastro dan Mohammad Sadli. Pada zaman susah begitu, agaknya Pak Harto sadar benar bahwa seluruh potensi pembangunan harus dikerahkan, termasuk dari keturunan Cina. Ketika suasana anti-Cina masih kental, tahun 1967, Soeharto menyerukan agar rakyat tak terjebak melakukan tindakan rasialistis. Dan harus ditarik garis tegas antara Cina warga asing dan Cina warga negara Indonesia. ''Kami serukan kepada warga negara Indonesia keturunan Cina agar tidak menunda-nunda lagi berintegrasi dan berasimilasi dengan masyarakat Indonesia (asli) ...,'' kata Soeharto, seperti dikutip dari buku Anak Desa karya O.G. Roeder. Soeharto juga melihat, sering terjadi bentrokan politik karena partai belum ''satu bahasa''. Padahal, kata Pak Harto, ''Kita punya titik tolak yang sama, yakni tekad Orde Baru untuk melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konse- kuen.'' Akhirnya, dia tiba pada satu kesimpulan dan tekad: bangsa ini harus konsekuen menerima Pancasila sebagai dasar ne- gara, sebagai satu-satunya ideologi. Dalam pembangunan politik, stabilitas politik inilah yang dianutnya sampai sekarang. Dimulai dengan penyederhanaan sistem kepartaian, disusul penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas untuk bernegara dan bermasyarakat. Namun, ada yang menganggap tahap penataan politik ini terlalu pelan. Dan peristiwa Malari yang meletus pada 1974 kembali meneguhkan si- kap Soeharto bahwa stabilitas politik sangat penting. Berbagai ujian dan peristiwa berat itu dapat dilalui Soeharto. Dan ia makin diterima semua lapisan rakyat. Dan ia selalu konstitusional dalam melangkah. Dia terpilih sebagai Presiden melalui MPR hasil pemilu yang sejak 1971 dimenangkan oleh Golongan Karya. Namun, tentu saja masih terdengar suara sumbang bahwa pemilu di sini belum sepenuhnya jujur dan adil. Dalam menjaga konstitusi ini, Pak Harto bisa bersikap ekstrategas. Dan itu dikemukakannya di berbagai kesempatan. Yang paling tegas adalah pernyataan Pak Harto di dalam pesawat DC-10 Garuda dalam perjalanan pulang dari lawatan di Yugoslavia dan Uni Soviet, September 1989. Kepada sejumlah wartawan yang mewawancarainya, mulanya Presiden menjawab soal keterbukaan dan alasan mengapa dia tak harus menjawab semua pertanyaan wartawan. Kata Pak Harto, sudah ada para menteri yang membantunya. Kalau diharuskan menjawab semua soal, kata Pak Harto, ''... bisa mati ngadeg, ha ha ..., bisa mati kaku, begitu.'' Lalu, Pak Harto meneruskan, apakah itu yang dimaui agar kepala negara cepat diganti. Kalau itu yang dikehendaki, lanjutnya, caranya mudah, ganti saja, asal lewat konstitusi. ''Tapi kalau tak lewat konstitusi, saya katakan, saya gebuk. Karena saya ha- rus menertibkan konstitusi. Jangan tanya, seorang pemimpin politik sampai jenderal, saya katakan, saya gebuk, itu tekad saya sejak dulu,'' katanya sembari tertawa keras. Presiden Soeharto juga bisa bertindak tegas tatkala rakyat dianggapnya berada dalam ancaman. Misalnya dengan melonjaknya angka kejahatan pada tahun 1980-an. Di bukunya, Pak Harto melukiskan bahwa ketenteraman negeri terganggu. Rakyat dihing- gapi ketakutan akan ulah para penjahat. Mereka tak cuma merampas, tapi kemudian membunuh korbannya. Ada perempuan yang dirampas, lalu masih diperkosa oleh penjahat, di depan suaminya. Pak Harto memonitor ini semua dari pers. Dia pun bertindak. Tulisnya: ''Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment, tindakan yang tegas. Tegas bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor, dor, begitu saja. Bukan! Tapi yang me- lawan, ya mau tidak mau harus ditembak. Lalu ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy. Supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya.'' Pak Harto tahu persis bahwa tindakan ini bisa mengundang kritik dunia luar, namun dia selalu yakin bahwa tindakan pencegahan tindak kejahatan adalah tindakan terbaik untuk rakyatnya. Angka kejahatan kontan turun drastis. Semua ini menunjukkan satu sifat yang menonjol dari Pak Harto, keyakinan diri yang begitu kuat dalam mengambil keputusan untuk hal yang rawan dan peka. Pernah berkembang isu, keputusan Pak Harto banyak dipengaruhi oleh orang-orang dekatnya, termasuk asisten pribadinya Ali Moertopo dan Sudjono Humardani keduanya sudah almarhum. Tentang Ali Moertopo dan CSIS, Pak Harto menulis bahwa tak benar CSIS dapurnya Pemerintah. Dan tak benar Pemerintah tak bisa mengambil keputusan tanpa Ali. ''Kalau bergantung pada Ali Moertopo, akan berarti setelah Ali Moertopo meninggal, Pemerintah tak bisa berjalan. Kenyataannya, Pemerintah tetap bisa berjalan. Dan saya bisa memimpin,'' tulisnya. Pak Harto memberi contoh ketika Ali keberatan Pemerintah menaikkan harga minyak pada tahun 1967 atau 1968. Disebutnya, Ali sampai menangis di depan Pak Harto agar harga tak dinaikkan, dengan alasan rakyat akan berontak dan Orde Baru jatuh. Pak Harto tetap berpendirian ingin menaikkan harga. Alasannya, orang beli teh botol satu liter saja sanggup membayar Rp 25. Dan membeli gleg-glegan, atau minuman keras, bisa keluar uang Rp 25. Tentang Sudjono Humardani yang orang menyebutnya sebagai penasihat spiritual, Pak Harto berkisah bahwa tak benar Djono lebih tahu soal kebatinan daripadanya. ''Padahal Djono sendiri biasa sungkem pada saya. Ia menganggap saya lebih tua dan lebih mengetahui soal ilmu kebatinan,'' tutur Pak Harto lagi. Ilmu kebatinan bukanlah ilmu klenik, begitu Pak Harto berkata. Ilmu kebatinan adalah cara mendekatkan diri pada Sang Pencipta. O.G. Roeder dalam Anak Desa menuliskan bahwa soal kebatinan ini sering dikaitkan dengan cerita-cerita gaib di luar negeri. Bahkan ada banyak pengedar cerita misteri di kalangan orang asing sehingga seolah-olah ada ketergantungan antara Pak Harto dan sejumlah orang ''sakti''. Contohnya, tulis Roeder, cerita dari seorang cendekiawan terkenal AS yang mengemukakan bahwa Pak Harto pernah diberi hadiah pusaka Majapahit, yakni topeng emas Gajah Mada. Konon, pemberian ini diterima untuk menyenangkan hati si pemberi, namun setelah seribu hari dikembalikan. Juga cerita tentang titipan gong dari Keraton Surakarta yang dimaksudkan untuk disimpan di Istana Negara, guna melindungi negara. Cerita burung itu bilang bahwa kemudian gong tadi juga dikembalikan. Banyak lagi cerita ngawur model begini. Misalnya, dikatakan Presiden Soeharto sering pergi ke Goa Selarong di Jawa Tengah untuk semadi. Roeder juga menulis: ''Pak Harto de- ngan tegas membantah kebenaran cerita itu. Ia tidak pernah ma- suk ke gua itu sejak markas besar gerilyanya dulu ditutup di sana.'' Tapi ada sebuah cerita yang pasti benar, Pak Harto se- ring pergi ke Kepulauan Seribu. Semadi? Bukan, tapi mancing, hobinya sejak dulu. Segala macam mitos dan dongeng memang bertumbuh di sekitar jabatan kepresidenan yang sudah 25 tahun dijabat Pak Harto. Barangkali, memimpin negeri ini adalah panggilan hidup Pak Harto. Namun, seperti kata Profesor Doktor Donald W. Wilson, rektor Pittsburg State University, AS, yang menulis buku tentang Pak Harto berjudul The Long Journey from Turmoil to Self Suffiency, presiden kedua RI ini tak ingin menjadi presiden seumur hidup. Wilson tadinya meramal Pak Harto akan turun di akhir masa jabatannya yang kelima. Dan kalau nanti pada 11 Maret mendatang Pak Harto dilantik MPR, itu berarti ramalan Wilson meleset. Rakyat masih membutuhkan Pak Harto. Ada cerita menarik ketika Wilson mengunjungi Pak Harto pada 1988. Pak Harto bertanya kepadanya, ''Beri tahu saya sampai kapan, menurut Anda, saya harus terus menjabat.'' Wilson diam, tak mampu menjawab. Padahal, dia tahu pasti, yang bertanya bukan berniat menjebaknya atau mempermalukannya. Wilson minta izin untuk menjawab pertanyaan ini setibanya di AS. Pak Harto tersenyum dan berkata, ''Tuan Wilson, Anda kan tak usah khawatir. Saya akan membiarkan Anda meninggalkan negeri ini jika jawaban Anda tak berkenan di hati saya?'' Sebenarnya, kata Wilson, dia tak merasa jeri menjawab pertanyaan itu, tapi bagaimana mungkin saya dapat memberi jawaban yang bermakna? Kesimpulan saya adalah, ''Tuan Presiden, Anda akan tahu kapan waktu yang tepat untuk berhenti.'' Toriq Hadad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini