Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMILIHAN bupati Kabupaten Bekasi sudah berakhir tiga bulan lalu. Namun iklan berwarna setengah halaman itu masih terpampang di halaman 31 sebuah koran nasional. ”Jangan lupa Pilkada bulan tiga, coblos Nomor Tiga,” begitu terbaca dalam aksara raksasa, mendampingi foto pasangan calon bupati, Memet Rochamat dan Jejen Sayuti.
Mungkin untuk meyakinkan pemilih, dalam iklan bertanggal 9 Maret 2007 itu dipajang pula foto mantan presiden Megawati Soekarnoputri, berdampingan dengan suaminya, Taufiq Kiemas, di sebelah foto pasangan calon bupati. Informasi mengenai calon dicantumkan melingkari gambar, lengkap dengan hasil jajak pendapat tentang jumlah pemilih calon.
Entah lupa atau bagaimana, yang jelas tanggal 8-10 Maret merupakan masa tenang dalam pemilihan Bupati Bekasi saat itu. Sehingga, sebetulnya, iklan tentang peserta pemilu pun tak boleh muncul di media massa. Beruntung, koran itu lolos dari sanksi karena memang belum ada aturan yang jelas mengenai perkara ini.
Namun, mulai tahun depan, media cetak dan elektronik seyogianya berhati-hati. Sebab, pekan lalu, DPR bersama pemerintah telah berembuk membahas larangan pemberitaan atau iklan selama minggu tenang pemilu. Larangan itu tercantum dalam draf RUU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, yang akan dirampungkan November mendatang.
Dalam pasal 103 ayat 3 RUU itu disebutkan, selama minggu tenang, media massa dilarang menyiarkan berita, iklan, rekam jejak peserta pemilu, atau bentuk lainnya yang mengarah pada kepentingan kampanye yang menguntungkan dan/atau merugikan peserta pemilu. Jika ini dilanggar, pemimpin redaksi bisa dipenjarakan minimal tiga bulan dan didenda minimal Rp 1 juta.
Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri Sudarsono Hardjosoekarto mengatakan pasal itu asli usulan pemerintah, setelah mengevaluasi pelaksanaan Pemilu 2004. ”Pasal ini sesuai dengan hakikat masa tenang,” kata Sudarsono. ”Tidak boleh ada berita atau promosi menyangkut peserta pemilu. Yang boleh hanya berita persiapan pemilu.”
Pada pemilihan presiden 2004, misalnya, masa tenang ditetapkan 17-19 September. Namun, pada 18 September, media massa masih ramai memberitakan ujian doktoral calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono di kampus Institut Pertanian Bogor. Begitu pula berita tentang Megawati yang membagikan bantuan kepada penduduk Sragen, Jawa Tengah. ”Dulu memang tidak ada yang mengatur,” Sudarsono menjelaskan.
Sumber Tempo di tim kelompok kerja penyusun RUU Pemilu mengungkapkan, pasal ini dibuat untuk membatasi advertorial atau iklan yang ditulis dalam bentuk opini tentang peserta pemilu. ”Kita hanya ingin mencegah kampanye terselubung di masa tenang,” katanya. Ada juga pertimbangan tentang ketimpangan kemampuan beriklan antara peserta yang kaya dan yang tipis dana. ”Kalau tidak diberi rambu, peserta yang kaya bisa jorjoran beriklan, dan ini tidak adil.”
Sejumlah anggota kelompok kerja di luar pemerintah mengaku tak tahu kapan pasal itu dimasukkan ke draf. Pihak pengelola media berkeberatan dengan pasal itu. Pemimpin Redaksi Harian Indopos Irwan Setiawan berkomentar, ”Tidak perlu dilarang. Yang penting berita berimbang.”
Bahkan, ia menambahkan, pemberitaan pada masa tenang justru bisa memantau kegiatan peserta. ”Apakah mereka berkampanye diam-diam atau tidak saat itu, kan, bisa ketahuan?” kata Irwan, yang mengaku pendapatan dari iklan kampanye sangat berarti. Nilainya bahkan bisa meningkat hingga 100 persen dari pendapatan iklan biasa.
Penolakan juga disampaikan Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu Ferry Mursyidan Baldan. Ia bahkan mengusulkan menghilangkan masa tenang, untuk memberikan banyak kesempatan bagi peserta buat mempromosikan diri kepada pendukungnya. ”Kampanye itu kebutuhan,” katanya. ”Adapun soal kemampuan beriklan, itu bisa diatur Komisi Pemilihan Umum dan Komisi Penyiaran.”
Sunariah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo