Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Sebanyak 32 biksu berjalan kaki dari Thailand untuk menjalani ritual Waisak di Borobudur.
Menempuh lebih dari 2.700 kilometer, ini merupakan thudong pertama biksu Thailand ke Indonesia.
Para bhante terkesan oleh keramahan masyarakat yang menyambut mereka di sepanjang jalan.
Perjalanan panjang itu berakhir. Sebanyak 32 biksu itu tiba di tujuan akhir mereka, Candi Borobudur, pada Kamis pekan lalu untuk melaksanakan ritual kirab Waisak pada Ahad, 4 Juni 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini bukan safar biasa. Para bhante tersebut berjalan kaki dari Nakhon Si Thammarat, kota di bagian selatan Thailand, sejak 23 Maret lalu. Mereka menempuh lebih dari 2.700 kilometer melintasi Malaysia, Singapura, Batam, Jakarta, Bekasi, Cirebon, Semarang, Ambarawa, dan Magelang. Pelawatan panjang ini bagian dari ritual thudong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Thudong Internasional Indonesia, Wely Widadi, mengatakan thudong merupakan tradisi yang berlangsung sejak lama. Vihara, yang jadi tempat tinggal bhikkhu, belum ada pada masa Sang Buddha. Dengan demikian, Sang Buddha memberikan kesempatan kepada para biksu untuk mengembara di hutan, gunung, dan gua. "Selama mengembara, mereka mencari dan menemukan berbagai pengalaman spiritual, melakukan meditasi, sekaligus refleksi diri," ujar Wely kepada Tempo di Candi Borobudur, Kamis, 1 Juni lalu.
Di Thailand, para biksu biasa menjalani thudong ke berbagai lokasi, termasuk Nepal dan Timur Tengah. "Kalau ke Indonesia, ini perdana," kata Wely.
Rombongan Bhikkhu Thudong saat menyeberangi Sungai Kaligarang di Kota Semarang, Jawa Tengah, 29 Mei 2023. TEMPO/Jamal Abdun Nashr
Perjalanan menuju Borobodur tak lepas dari peran Bhante Wawan dan Prabu Diaz. Bhante Wawan, yang juga dipanggil Kantadhammo, merupakan warga Cirebon yang memutuskan menjadi biksu sejak enam tahun lalu. Dia sebelumnya merupakan direktur keuangan di perusahaan swasta besar di Indonesia. Adapun Didi Setiadi alias Prabu Diaz adalah Panglima Laskar Macan Ali dari Keraton Cirebon, seorang muslim yang ingin mengamalkan nilai toleransi dan kebinekaan ala leluhurnya.
Setelah terbentur pandemi Covid-19, mereka mematangkan rencana longmarch ini. Bhante Wawan menjadi pemimpin rombongan, sementara Prabu Diaz bersama pengurus thudong internasional mempersiapkan titik-titik persinggahan para biksu di Indonesia.
Wely mengatakan awalnya rombongan terdiri atas 33 biksu dan dua orang penganut Buddha. Di Malaysia, seorang biksu tiba-tiba tersungkur dan harus dilarikan ke rumah sakit. Dokter memintanya beristirahat total sehingga tak dapat melanjutkan thudong. "Panitia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan 32 biksu dan dua umat," ujar Wely.
Sepanjang pelawatan lebih dari dua bulan itu, mereka selalu memulai pada pukul 05.00 dan berhenti pukul 17.00. "Tidak berhenti meski hujan dan panas," kata Wely. Targetnya, setiap hari mereka menempuh 40 kilometer. Sepanjang hari, para biksu hanya boleh makan sekali antara pukul 06.00 dan 12.00, tapi boleh terus minum.
Para biksu hanya boleh mengenakan satu jubah. Mereka mencucinya saat menginap. Namun, untuk urusan sandal, butuh banyak. Wely mengatakan mereka membawa beberapa pasang sandal karet di tas. Namun tiap pasang hanya bisa bertahan maksimal dua hari sehingga harus beli di jalan. "Paling sering karena karet copot dan sol habis," kata Wely.
Pengalaman Para Biksu Thudong
Bhante Wicay, anggota rombongan biksu dari Thailand, terharu bisa mencapai Borobudur. Namun dia lebih terkesan akan keramahan masyarakat Indonesia. Sejak mendarat dengan feri di Batam, lalu terbang ke Bandara Soekarno-Hatta dan melanjutkan dengan jalan kaki dari Tangerang, Wicay dan kawan-kawan tak henti mendapat sambutan masyarakat sekitar. "Mereka selalu tersenyum, memberi kami minum, makan, bahkan uang," kata dia. Perlakuan ini tak mereka dapat di Malaysia, Singapura, bahkan di negara sendiri.
Wicay mengatakan satu alasannya ikut rombongan Bhante Wawan ke Indonesia adalah Borobudur. Seumur hidup, dia hanya melihat candi berusia 1.200 tahun itu dari gambar dan cerita orang. "Kata orang-orang di Thailand, Candi Borobudur begitu megah, besar, dan indah, serta digunakan umat Buddha di seluruh dunia untuk beribadah," ujarnya.
Bhikkhu Thudong berdoa bersama umat Bhuddis setelah beristirahat di Kantor Kecamatan Tugu di Kota Semarang, Jawa Tengah, 28 Mei 2023. TEMPO/Jamal Abdun Nashr
"Ini lebih mengagumkan dari yang orang-orang katakan," kata Wicay, setelah melihat langsung candi dengan luas 2.500 meter persegi dan bertingkat sepuluh itu. Dia menilai Borobudur menyuguhkan suasana berbeda dari kuil lain, yang memungkinkan mereka bermeditasi dengan lebih khusyuk. "Dari sini kita bisa melihat banyak gunung secara bersamaan, sesuatu yang tidak saya temukan di Thailand."
Bhante Nathapong, rekan Wicay, menyampaikan hal senada. Saat diwawancarai, dia baru merampungkan meditasi dan pradaksina dengan mengelilingi Candi Borobudur tiga kali. "Saya salut kepada para wisatawan Indonesia yang menghargai kami saat sedang beribadah. Mereka taat aturan dan tidak berisik," kata Nathapong, yang menggemari jajanan pasar, seperti nagasari dan lepet jagung.
Keterharuan rekan-rekannya membuat Bhante Wawan bangga menjadi tuan rumah. "Mereka terkagum-kagum pada segala hal yang bisa kita temui setiap hari di sini, dari sikap masyarakat, pelayanan, hingga makanan," ujarnya.
ARIMBI HARYAS PRABAWANTI (MAGELANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo