DUA hari setelah menyampaikan penjelasan pemerintah mengenai RUU Pendidikan Nasional di DPR, Menteri P dan K Dr. Fuad Hassan menerima wartawan TEMPO Sri Indrayati, Agus Basri, dan Putu Setia di ruang kerjanya. Perbincangan sedikit melebar, tapi Fuad sepakat untuk memulainya dari RUU, karena begitu pentingnya undang-undang yang ditunggu ini. Sejauh mana pentingnya? Kata Fuad: Selama ini kita belum mempunyai undang-undang tentang pendidikan yang menetapkan pengaturan penyelenggaraan pendidikan dalam satu sistem. Peraturan yang berceceran memang ada. Jadi, ini adalah suatu patokan, dan sudah jauh waktunya bagi kita untuk bisa mengatur sistem pendidikan ini sebagai satu sistem pendidikan nasional. Sekali lagi, sistemnya. Jangan timbul kesan, seolah-olah RUU ini menginginkan pengaturan penyelenggaraan pendidikan melembaga dan lembaganya di bawah satu atap, yaitu Departemen P & K. Sekolah kedinasan tetap ada dan tidak diurus Departemen P dan K. Karena sekolah kedinasan itu diadakan untuk memenuhi kebutuhan dinas yang bersangkutan. Kalau kebutuhannya sudah cukup, sekolah itu dihapus. Dalam sistem itu, misalnya, tak mungkin ada SD 4 tahun, akademi 1 tahun. Sedang pengelolaan lembaganya, pengelolaan personalianya bisa saja diatur kemudian. Yang penting, menyeragamkan sistemnya. Tapi dalam satu pasal di RUU ini ada dibenarkan percepatan bagi siswa yang luar biasa. Percepatan itu ada batas-batasnya. Misalnya, SD ditempuh 5 tahun, 'kan cuma kurang setahun. Ini mungkin. Kalau SD ditempuh 3 tahun, mana bisa? Kalau anak itu luar biasa, ia harus ke sekolah luar biasa (SLB). Cuma, P & K belum mampu membikin sekolah untuk anak yang luar biasa pintarnya. Kalau ada swasta yang membikin, boleh. Cuma harus diingat. Gurunya sulit, alat peraganya tak mudah. Lalu jangan lupa, wawasan pembangunan ini, termasuk pendidikan, adalah pemerataan. Wawasan ini membawa konsekuensi yang mempunyai dampak dalam penyusunan prioritas. Misalnya, anak yang luar biasa hebat itu jelas perlu penampungan. Cara yang bagaimana yang memadai dibandingkan dengan kebutuhan pemerataan itu tadi. Begitu pula antara pemerataan dan mutu. Pemerataan melulu akan meninggalkan mutu. Mengejar mutu melulu, meninggalkan pemerataan. Jalan yang ditempuh di departemen ini, bagaimana pemerataan dan mutu bisa diwujudkan bergandengan. Penekanan yang sekarang pemerataan. Tapi mulai GBHN 1988 ini, mutu yang ditekankan. Bagaimana mungkin pemerataan saja menjamin peningkatan mutu? Bagaimana mungkin tuntutan mutu saja bisa menjamin pemerataan? Contohnya, andai kata Sipenmaru dihapus, ujian masuk diserahkan kepada universitas yang bersangkutan. Saya jamin, pasti ada perubahan mutu, dengan ketentuan universitas itu sendiri menentukan standarnya. Tapi bagaimana dengan pemerataan, dengan mutu SMA di daerah dan kota yang gap-nya begitu jauh. Idealnya, mutu baik dan pemerataan terjaga. Dan itu bertahap. Tahun ini, misalnya, Sipenmaru sudah lebih sulit. Bagaimana dengan perguruan tinggi swasta (PTS)? Pertumbuhan PTS saat ini terlalu pesat. Bahkan terlalu berani. Orang yang belum lama diwisuda sudah menjadi dekan. Ada yang gedungnya memprihatinkan. Karena terlalu pesat dan berani ini, sehingga kenyataan yang kita hadapi sekarang ialah urgensi untuk mengusahakan ketertiban. Dikaitkan dengan sistem pendidikan nasional . . .? Bila sistem sudah ditentukan, orang mau membuka akademi, persyaratan harus sesuai dengan akademi. Mendirikan sekolah tinggi, syaratnya harus sesuai dengan sekolah tinggi buat SMA, syaratnya SMA begitu seterusnya. Kalau di luar sistem yang ditentukan UU, tentunya tidak boleh. Tapi saya tak mau mendahului karena UU-nya belum ada. Misalnya, nanti ada Sekolah Menengah Sulap boleh atau tidak ? 'Kan sulit menjawab sekarang. Secara umum, bila ada UU bisa menjadi acuan tentang tindakan apa yang harus dilakukan. Kalau memakai nama kursus? Kalau itu aman. Mau apa saja boleh. Kursus anggrek boleh. Kursus sanggul boleh. Kalau sudah disebut sekolah, jadi lain. Bentuknya harus sekolah, sistemnya harus sekolah. Tentang jenjang M.B.A. yang tak disebut-sebut dalam RUU ini? Ini yang paling sulit. Karera apa? Di antara mereka sendiri tak ada kesamaan. Kurikulumnya tak sama. Jenjang pendidikan tak sama. Dan sebagai sistem, memang belum ada di sini. Karena itu, kita set-up. Dua fakultas ekonomi yang tua di UI dan UGM diberi tugas membuat jenjang magister, agar jadi contoh, inilah sistemnya, inilah modelnya. Rekrutmennya dari S-1, tak asal pengusaha. Bagaimana dengan institut atau perguruan tinggi pemerintah yang di luar P & K, seperti IAIN dan PTIK? Keterkaitan kita hanya pada sistem: satu sistem pendidikan nasional. Misalnya, nama pimpinannya rektor, di bawahnya dekan. Jadi, bukan gubernur seperti di PTIK. Tapi itu nanti, bagaimana diatur oleh UU. Saya tidak bisa mendahului UU. Setelah sistem pendidikan nasional itu diatur, apakah mutu .... Pertanyaan ini selalu muncul di mana-mana. Kenapa, sih, ada pemikiran begitu? UU hanya menertibkan. Hanya menata. Bahwa mutu harus meningkat, itu bukan hanya tergantung UU. Sekarang contohnya Stadion Utama Senayan. Apakah pemain bola akan bermutu kalau stadionnya dibenahi? Belum tentu. Lagi, ada yang bertanya, kalau UU sudah keluar, akan ganti kurikulum. Menteri sekarang tak mau ganti kurikulum, karena menunggu UU. Kenapa ada pertanyaan seperti itu ? Tidak klop. Ini logika yang tidak jalan. Kurikulum akan diganti kalau memang perlu. Kalau tidak perlu, ya, tidak. Barangkali karena masyarakat menunggu kejutan. Selama jadi menteri, Anda belum membuat kejutan, dan itu kadang diartikan juga belum berbuat apa-apa. Biarlah, saya memang tak bikin kejutan. Tapi sebenarnya begini. Kurikulum sekarang memang tidak ada yang perlu diubah. Yang perlu dilakukan bukan perubahan, tapi reparasi. Di SD, misalnya, sedang dilakukan pembenahan-pembenahan. Mana pelajaran yang over dosis, dan mana yang bebannya kelewatan. Begitu pula mata pelajaran titipan. Sudah banyak yang dipangkas, cuma tak diumumkan. Yang lain, misalnya, membenahi fakultas dan jurusan yang jenuh. Yang jenuh itu nomor satu: semua jenis KIP (Keguruan dan Ilmu Pendidikan) baik di IKIP maupun di luar IKIP. Nomor dua: ekonomi. Nomor tiga: hukum. Nomor empat: sospol. Bila ini diteruskan, mau ke mana lulusannya. Jadi, perlu penciutan? Bukan saja penciutan, malahan dihapus pelan-pelan. Atau istilah yang kita pakai penyusutan. Saya tidak mau drastis. Yang sudah jenuh itu sebaiknya disusutkan. Yang langka, misalnya, kimia, biologi, matematika, dikembangkan. Jangan lupa, juga bahasa Indonesia. Guru bahasa Indonesia kurang. Penyusutan itu sudah dilakukan di IKIP. Susah mulanya mereka marah-marah. Tetapi lebih tidak manusiawi bila diterus-teruskan, padahal tidak ada apa-apanya. Sekarang sudah ada pengertian yang baik. Banyak Yang sudah dikerjakan. Saya tak mau ekspose diri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini