Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAJELIS hakim Pengadilan Negeri Surabaya membebaskan dua terdakwa tragedi Kanjuruhan. Mereka adalah bekas Kepala Bagian Operasional Kepolisian Resor Malang, Komisaris Wahyu Setyo Pranoto, dan mantan Kepala Satuan Samapta Polres Malang, Ajun Komisaris Bambang Sidik Achmadi. Tragedi penembakan aparat terhadap penonton sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, itu mengakibatkan 135 orang meninggal dan 96 lainnya luka berat serta 484 luka ringan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua majelis hakim Abu Ahmad Siddqi Amsya menjelaskan bahwa penembakan gas air mata oleh polisi di dalam stadion seusai pertandingan Arema Football Club versus Persebaya itu bukan inisiatif Wahyu. Adapun ihwal Bambang, menurut hakim, bukti ia memerintahkan anak buahnya melontarkan gas air mata bukan penyebab jatuhnya korban. “Tembakan gas air mata tak sampai ke tribun karena terbawa embusan angin,” ujar Abu, Kamis, 16 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam tragedi tersebut, majelis hakim menyebutkan korban jatuh karena penonton panik akibat gas air mata yang ditembakkan polisi. Putusan ini berbeda dengan tuntutan jaksa. Wahyu dan Sidik dituntut tiga tahun penjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka dalam tragedi Kanjuruhan. Jaksa mempertimbangkan langkah kasasi terhadap putusan ini.
Keluarga salah satu korban Kanjuruhan, Isatus Sa’adah, kecewa terhadap putusan hakim. “Mengapa tidak mempertimbangkan hilangnya 135 nyawa?” ucapnya. Ketua Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan, Imam Hidayat, mengatakan banyak kejanggalan sejak awal pengusutan kasus ini. Ia mencontohkan rekonstruksi perkara yang tak menggambarkan tembakan gas air mata ke arah tribun sesuai dengan keterangan saksi ataupun rekaman video hingga rapat yang dilakukan secara terbuka-terbatas.
Temuan itu juga menjadi kesimpulan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta yang menyebutkan ada pihak yang bertanggung jawab serta ada perintah penembakan gas air mata ke lapangan. “Kami tidak heran jika kemudian ada yang diputus bebas, ada yang ringan,” kata Imam.
Periode Kedua Ketua MK
Ketua Mahkamah Konstitusi terpilih, Anwar Usman (kiri) berfoto bersama dengan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi terpilih, Saldi Isra, usai pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2023-2028 di Jakarta, 15 Maret 2023. Tempo/Hilman Fathurrahman W
ANWAR Usman terpilih sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi 2023-2028. Ini periode keduanya sebagai Ketua MK. Ia mengalahkan hakim konstitusi Arief Hidayat yang menjadi pesaingnya. "Pelaksanaan demokrasi di Mahkamah Konstitusi itu luar biasa,” ujar Anwar, Rabu, 15 Maret lalu. Pemilihan ini berlangsung melalui proses tiga kali pemungutan suara.
Sementara itu, Saldi Isra terpilih menjadi Wakil Ketua MK. Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari menyebutkan MK harus waspada atas terpilihnya Anwar. Sebab, Anwar adalah adik ipar Presiden Joko Widodo. “Sebagian kewenangan MK berkaitan dengan presiden,” katanya.
Lagi, Peretasan Media Kritis
LAMAN Project Multatuli diserang setelah media independen itu mengeluarkan laporan perilaku polisi yang serampangan menangani kasus kekerasan seksual di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, pada Selasa, 14 Maret lalu. Laporan itu berjudul "Dua Putri Saya Dicabuli, Saya Lapor ke Polres Baubau, Polisi Malah Tangkap Anak Sulung Saya".
Situs projectmultatuli.org. Tempo/Gunawan Wicaksono
Direktur Eksekutif Project Multatuli Evi Mariani mengatakan serangan digital itu berbentuk pencarian celah yang membebani server pada hari yang sama setelah artikel terbit. Setelah itu, ada pihak-pihak tertentu yang melakukan HTTP flood dengan bot. “Ini bertujuan mengambil alih website Project Multatuli. Karena gagal, serangan berhenti sementara,” tutur Evi.
Esoknya, serangan peretas kembali terjadi. Sejumlah pembaca mengeluhkan website Project Multatuli yang tidak bisa dibuka. Evi mengatakan lembaganya sudah melaporkan peristiwa ini ke Aliansi Jurnalis Independen. Sebelumnya, Project Multatuli juga diserang secara digital karena memberitakan kinerja kepolisian yang tak profesional menangani banyak perkara.
Rektor Udayana Tersangka
KEJAKSAAN Tinggi Bali menetapkan Rektor Universitas Udayana I Nyoman Gde Antara sebagai tersangka dugaan korupsi sumbangan pengembangan institusi (SPI) mahasiswa baru jalur mandiri periode 2018-2022. “Pungutan itu seperti resmi, tapi tidak ada aturannya,” ujar Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Bali Putu Agus Eka Sabana, Senin, 13 Maret lalu.
Rektor Universitas Udayana Bali I Nyoman Gde Antara di Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali, Denpasar, Bali, 13 Maret 2023. Antara/Fikri Yusuf
Kejaksaan juga menetapkan tiga pegawai Universitas Udayana sebagai tersangka kasus ini. Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Bali Agus Eko Purnomo menyebutkan kasus ini merugikan negara sebesar Rp 105,39 miliar dan Rp 3,94 miliar. “Total merugikan perekonomian negara Rp 334,57 miliar,” ucapnya.
I Nyoman membantah pandangan bahwa pungutan SPI tidak memiliki dasar hukum. Ia juga menampik kabar tentang aliran dana penerimaan mahasiswa baru yang disebut jaksa masuk ke rekeningnya ataupun tiga pegawai kampus. “Semuanya mengalir ke kas negara,” katanya.
Wakil Menteri Hukum Dilaporkan ke KPK
INDONESIA Police Watch (IPW) melaporkan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej ke Komisi Pemberantasan Korupsi. IPW melaporkan Edward diduga menerima Rp 7 miliar melalui dua asistennya, Yosi Andika Mulyadi dan Yogi Arie Rukmana. “Uang itu dikirim dalam tiga tahap melalu dua asistennya,” ujar Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso, Rabu, 15 Maret lalu.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 9 November 2022. Tempo/M Taufan Rengganis
Pemberian uang itu bermula dari sengketa kepengurusan PT Citra Lampia Mandiri, perusahaan tambang nikel di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Eddy Hiariej—sapaan Edward—mengatakan akan mengklarifikasi tudingan itu ke KPK. Yogi Rukmana membantah tudingan Sugeng. Yogi kini melaporkan Sugeng ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI dengan tuduhan pencemaran nama.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo