INILAH tahun pahit bagi, antara lain, Menteri Transmigrasi Martono. Soal nya, pertama kali terjadi sejak Pelita I dicanangkan, target transmigrasi dengan sengaja terpaksa diturunkan. Dengan terus terang, Menteri Martono mengungkapkan, prestasi departemen yang dipimpinnya, "tahun ini akan rendah, tidak seperti yang sudah-sudah." Prestasi yang rendah ini apa lagi kalau bukan karena resesi. APBN terpaksa dirancang dengan realistis. Ekornya, anggaran program transmigrasi secara nasional berkurang sangat besar mencapai hampir 44%. Pada tahun anggaran yang lalu mencapai Rp 578,257 milyar. Tapi, anggaran tahun ini, yang berlaku mulai 1 April lalu, hanya Rp 325,4 milyar. Menciutnya dana itu, akhirnya, tentu menjamah lokasi transmigrasi itu sendiri. Seperti yang terjadi di Kalimantan Timur, misalnya. Tahun lalu, untuk provinsi ini tersedia Rp 26,5 milyar untuk 14 proyek. Kini, hanya Rp 4 milyar (2 proyek). Akibatnya, berbagai program terpaksa ditinjau kembali, bahkan ada yang dibatalkan sama sekali. Lebih dari itu, "Terjadi pula rasionalisasi personel," kata Wargito Rahardjo, Kakanwil Transmigrasi Kal-Tim. Lokasi yang dibatalkan ialah proyek Talisayan, Kabupaten Berau, yang rencananya dapat menampung 874 kk. Sebuah lagi di Muara Ancalong, Kabupaten Kutai, untuk 800 kk. "Untung, kedua lokasi itu belum digarap sama sekali," kata Wargito lagi. Kalau tidak, tentulah mubazir. Ada lima lokasi memang yang kini terbengkalai, gara-gara tak ada dana penempatan. Padahal, lahan sudah dibuka, dan rumah bagi transmigran sudah pula dibangun. Berapa banyak seluruhnya? "Belum selesai diinventarisasikan," kata Wargito. Tapi, hasil sementara, lebih 12.000 hektar dan sekitar 644 rumah di lima lokasi, yang kini telantar. Jumlah pekerja di lingkungan transmigrasi pun terpaksa dirampingkan. Selama ini, proyek-proyek transmigrasi di Kal-Tim seluruhnya melibatkan 14 pimpinan proyek, 12 tenaga bantuan dari PU, 5 dari Hankam, serta sekitar 740 tenaga honorer. Tenaga honorer akan diciutkan, personel dari PU dikembalikan. "Yang dari Hankam nanti tinggal dua orang saja, dan dari 14 Pimpro kini tinggal dua orang juga," tambah Wargito. Bagi Menteri Martono, logis jika jumlah Pimpro dikurangi. "Ini proses yang wajar," katanya. Akibat berkurangnya anggaran terpaksa program diciutkan. "Dengan sendirinya ada Pimpro yang tak punya pekerjaan lagi." Bahkan, Departemen Transmigrasi terpaksa mengubah kebijaksanaan. Selama ini, 80% transmigrasi umum yang dibiayai pemerintah, dan sisanya transmigrasi spontan dan lokal. "Transmigrasi spontan akan lebih banyak didorong," katanya. Tapi, lepas dari anggaran yang berkurang tahun ini, kemacetan penempatan transmigran sebenarnya bukan hal baru. Itu juga terjadi di kala pemerintah banyak uang dari rezeki minyak. Kemacetan bisa timbul karena beberapa sebab di antaranya konflik kepentingan dengan Departemen Kehutanan. Misalnya, disebut Menteri Martono sendiri, juga terjadi di Kalimantan Timur. Di provinsi ini ada proyek 80% dibiayai Bank Dunia, dan sisanya dari APBN. Targetnya dalam lima tahun dapat ditransmigrasikan 10.970 kk. Tapi realisasinya setahun paling banter cuma 1.500 kk. Ini macet bukan karena dana. Ketika lahan mau dibuka eh, ternyata hutan itu sudah dikusai pemilik HPH. Terpaksa dibikin perundingan dengan pemilik HPH itu dan Departemen Kehutanan. "Perundingan berjalan lama, dan hasilnya prioritas lebih dulu diberikan kepada pemilik HPH," ujar Martono. Kecuali itu, besarnya dana dalam RAPBN bukanlah cermin realisasi program. Misalnya, hampir saban tahun terdapat Siap bagi program transmigrasi di Kal-Sel. Pada tahun anggaran 1984/1985 sebesar Rp 11 milyar sedang tahun 1985/1986 Rp 8 milyar. Anggaran yang menciut, dengan demikian, boleh jadi lebih realistis, ketimbang yang selama ini direncanakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini